Kembang Kecubung Karya : SH. Mintardja mjbookmaker by: http://jowo.jw.lt   Bab I   Matahari sudah memanjat semakin tinggi. Sinarnya yang memulai menggatalkan kulit menerpa tanah yang lembab di bawah pohon-pohon kembang yang tumbuh di taman yang asri. Angin yang lembut serasa berbisik lamat-lamat tentang perawan yang sedang berduka, yang sedang duduk diatas sebuah lincak panjang disebelah sebatang kembang soka yang berwarna ungu muda. Biasanya gadis, putera Kangjeng Adipati Wirakusuma, Adipati di Sendang Arum sedang merenungi luka di hatinya. Biasanya ia duduk dan bercengkerama bersama ibundanya, dan kadang-kadang bahkan bersama ayahandanya pula di taman. Kadang-kadang ibundanya sendiri merawa pohon-pohon bunga di taman itu. Bunga Soka, bunga ceplok piring, bunga arum dalu dan yang mendapat perawatan khusus adalah segerumbul kembang melati di sudut taman, yang diberi pagar kayu serta terawat rapi. Tetapi hari itu Ririswari duduk sendiri, meskipun jaraknya tidak lebih darilima langkah, tetapi gadis itu seakan-akan, tidak menyadari kehadiran seorang emban yang duduk mangamatinya. ˜Puteri! emban itu bergeser mendekat. Perawan yang sedang berduka itu tidak bepaling kepadanya. ˜Raden Ajeng Ririswari! Ririswari masih saja berdiam diri. ˜Puteri masih nampak selalu berduka! Ririswari menarik nafas panjang, perlahan-lahan ia berpaling, namun kemudian tatapan matanya kembali menerawang, memandang ke kejauhan. ˜Sudahlah Puteri, jangan memperpanjang duka, biarlah Puteri berusaha menyembuhkan luka itu, hamba tahu puteri, bahwa luka itu tentu terasa sangat pedih, tetapi puteri tidak seharusnya membiarkan dirimu tersiksa oleh duka! ˜Aku tidak dapat segera melupakannya, emban! sahut Ririswari tanpa berpaling ˜ibunda pergi terlalu cepat! ˜Tidak seorangpun dapat mengelak, puteri. Jika Yang Maha Pencipta memanggilnya menghadap, maka kita, tidak dapat mengelak ataupun menunda barang sesaat, kapanpun saat itu dating, siang, malam, pagi dan senja hari pada saat candikala dipajang di langit! ˜Aku mengerti, emban. Nalarku dapat berkata seperti yang kau katakana itu, Tetapi perasaanku sulit aku kendalikan. Kenapa tiba-tiba saja ibunda pergi untuk selamanya! ˜Ampun puteri, jika hamba mengatakan bahwa ibunda memang dikehendaki olah Yang Maha Pencipta kembali kepadanya. Karena itu, kia menyerahkannya dengan ikhlas! ˜Apakah kau dapat berkata seperti itu jika biyungmu yang dipanggil menghadap, emban?, Aku masih ingat ketika dua tahun yang lalu, nenekmu meninggal. Ketika seorang keluargamu daang memberitahukannya kepergian nenekmu itu, maka kau langsung menangis, berguling-guling di tanah tanpa dapat ditenangkan, sehingga akhirnya kau jatuh pingsan. Bukankah saat itu, bahkan ibunda sendiri berusaha menenangkan hatimu. Ibunda juga mengatakan sebagaimana kau katakan kepadaku! ˜Hamba puteri. Tetapi waktu itu, berita meninggalnya nenek hamba itu datang dengan tiba-tiba. Hamba tidak pernah mendengar kabar bahwa nenek sakit. Sepanjang pengetahuan hamba, nenek hamba selalu sehat. Bahkan sebulan sebelumnya, ketika hamba mendapat kesempatan pulang selama tiga hari, nenek masih pergi ke sungai untuk mencuci pakaian. Kemudian, seperti biasanya setiap nenek ke sungai, maka di saat nenek pulang, tentu membawa sebuah batu. Bahkan nenek menganjurkan setiap anggota keluarganya yang pergi sungai, supaya juga membawa sebuah batu sebesar buah kelapa! ˜Batu?! ˜Ya, puteri! ˜Untuk apa?! ˜Dalam setahun, nenek dapat membua bebatur rumah dari bau yang telah kami kumpulkan. Sehari, tiga orang diantara keluarga kami ke sungai, maka kami akan mengumpulkan tiga buah batu sebesar buah kelapa. Bahkan anak-anakpun telah dibiasakan melakukannya pula, yang tentu saja membawa bebatuan yang lebih kecil! ˜Ternyata nenekmu seorang yang cerdik, emban! ˜Ya, puteri, karena itu berita kematiannya sangat mengejutkan! ˜setelah itu, lebih dari setengah ahun kau masih nampak murung! Emban itu terdiam. ˜Emban, Ibunda baru seratus hari yang lalu meninggal! ˜Hamba Puteri! ˜Cintaku kepada ibunda idak akan berakhir disaat ibunda pergi, apabila ibunda terlalu cepat! ˜Puteri, tetapi benar kata orang, bahwa kita jangan terlalu dalam terbenam ke dalam duka, selain bagi ketenangan puteri sendiri, jika kelihatan lebih ceria, akan sangat berpengaruh bagi ayahanda Puteri, bagi Kangjeng Adipati Wirakusuma! Ririswari menundukkan wajahnya. Kangjeng Adipati akan dapat kembali memusatkan perhatiannya kepada tugas-tugas yang diembannya. Tentu kadang-kadang terbersit pula kenangannya terhadap Ibunda Puteri. Tetapi kecerahan wajah Puteri akan menjadi penghiburan yang sangat berarti bagi Kangjeng Adipati. Demikian pula sebaliknya, sehingga akan timbul pengaruh yang baik timbal balik! ˜Emban...?! ˜Hamba Puteri" ˜Kau Pintar emban! ˜Ampun Puteri. Ketika nenekku meninggal, biyung hamba menjadi sangat bersedih sebagaimana hamba. Kami berdua selalu murung. Bahkan setelah hamba kembali ke taman ini. Jika biyung datang menengok hamba, maka kami masih saja menangis bersama-sama mengenang kematian nenek. Ayah hambalah yang menasehati hamba dan biyung hamba agar kami tidak tenggelam ke dalam duka. Jika wajahku cerah, biyung akan terhibur. Sebaliknya jika wajah biyung cerah, aku akan terhibur.! ˜Apakah wajahmu tiba-tiba menjadi cerah?! Emban itu terdiam. Bahkan ia menundukkan wajahnya dalam-dalam. ˜Biyung emban, Aku sadari sepenuhnya bahwa apa yang kau katakana itu benar. Tetapi seperti yang aku katakana, bahwa nalar dan persaanku masih belum sejalan. Aku mengerti semua yang dikatakan oleh seseorang yang mencoba menenangkan hatiku. Menghiburkan agar hatiku menjadi tenang. Tetapi perasaanku ternyata bersikap lain! ˜Raden Ajeng. Itulah yang harus Raden Ajeng usahakan. Keseimbangan antara nalar dan perasaan! ˜Siapa yang mengatakan itu emban?! ˜Orang-orang tua yang mencoba menenangkan hati hamba pada waktu itu, Puteri.! ˜Emban, Bukan maksudku bahwa aku tidak mau mencobanya. Aku sudah mencoba, emban, tetapi ternyata hatiku tidak cukup tegar untuk mengimbangi nalarku! ˜Jika saja Puteri berusaha dengan tidak berkeputusan. Kembalikan persoalannya kepada Yang Maha Kuasa! Raden Ajeng Ririsari tidak sempat menjawab, tiba-tiba saja perhatiannya tertarik kepada suara seruling yang seakan-akan menjerit tinggi. Mengalun bagaikan mengapung diatas angin yang semilir di taman yang asri itu. ˜Kau dengar suara seruling itu, emban? ˜Saatnya anak-anak menggembalakan kambingnya! ˜Dimana mereka menggembala?, Suara itu terlalu dekat, Agaknya suara itu bersumber dari bilik dinding keputren ini! ˜Apakah Raden Ajeng tertarik kepada suara seruling itu?! ˜Suaranya menyenuh hati, emban. Aku ingin tahu, siapakah yang telah meniup seruling itu! ˜Tentu seorang anak yang sedang menggembala, Puteri! ˜Tentu tidak sedekat itu, suara itu terdengar dekat seakan-akan aku dapat menjangkaunya dengan jari-jariku. ˜Suara itu terbawa oleh angin! ˜Emban..! ˜Hamba Raden Ajeng.! ˜Bukalah pintu butulan! ˜Pintu butulan..?! ˜Ya..! ˜Apakah itu diperkenankan...?! ˜Atas perintahku! ˜Akan tetapi hanya dalam keadaan yang sangat penting saja pintu itu dibuka.! ˜Bagiku, suara seruling itu sangat menarik hatiku. Aku merasa perlu untuk melihat. Seandainya yang meniup seruling itu seorang anak gembala, maka alangkah senangnya ayah dan ibunya mempunyai anak yang mampu meniup seruling seperti itu. Dengar emban. Suara seruling itu bagaikan terbang tinggi, melintasi mega yang sedang berarak, menggapai sap-sap langit yang lebih tinggi, sehingga menyentuh bulan yang sedang tersenyum manis.! ˜Angan-angan Raden Ajeng, sebagai seorang perawan yang sedang tumbuh dewasa seperti kembang yang sedang mekar, melambung tinggi menggapai rembulan. Tetapi sekarang siang hari Puteri.! ˜Apakah angan-anganmu tidak pernah melayang-layang bersama awan yang bergerak di langit itu emban..?! ˜Ah.Indahnya mimpi-mimpi perawan yang sedang menginjak dewasa, Karena itu Puteri, lupakan duka yang sedang Puteri sandang,! ˜Karena itu, bukalah pintu butulan itu, emban! Emban itu nampak menjadi ragu-ragu. ˜Aku yang bertanggung jawab, emban. Apalagi hanya sesaat, aku hanya ingin melihat, siapakah yang membunyikan seruling dibalik dinding keputren ini.! Emban itu tidak dapat mengelak lagi, karena itu, maka emban itupun pergi ke pintu butulan, diangkatnya selarak pintu itu, sehingga sejenak kemudian, maka pintu itupun telah terbuka. Ketika Raden Ajeng Ririswari menjenguk keluar dinding Keputren, maka Ririswari itupun terkejut. ˜Kakang Jalawaja..?! Suara seruling itupun terhenti, seorang anak muda yang sedang duduk disebelah pintu butulan itupun bangkit berdiri. Hampir diluar sadarnya, maka Ririswaripun melangkah keluar. ˜Puteri., puteri akan pergi kamana..?! ˜Aku tidak pergi kemana-mana, emban., aku hanya akan berdiri di pintu.! Emban itupun bergeser pula mendekati Ririswari yang sedang berdiri di pintu. Namun emban itu terhenti ketika melihat seorang anak muda yang berdiri termangu-mangu diluar pintu. ˜Kakang Jalawaja., Kenapa kakang berada disini..?! ˜Sudah lama aku duduk disini, Riris, aku tidak berani masuk lewat pintu gerbang.! ˜Kenapa kakang, jika kakang mohon ijin kepada ayahanda untuk menemui aku, ayahanda tentu mengijinkannya! ˜Aku sangsi, Riris. Seandainya aku mohon kepada Kanjeng Adipati, maka aku tentu akan diusirnya! ˜Kau berprasangka buruk terhadap ayahanda! ˜Kau tahu, apa yang akan terjadi dengan ayahku..?! ˜Kenapa dengan paman Reksayuda? ˜Oleh ayahandamu, ayahku telah disingkirkan jauh keluar kadipaten ini! ˜Persoalannya bukan persoalan pribadi, kakang. Aku yakin, bahwa ayahanda akan bersikap baik kepadamu! ˜Aku mengerti Riris..! ˜Tetapi kakang sekarang sudah berada diambang pintu taman. Apakah keperluan kakang?! ˜Jangan tambuh puteri, jangan berpura-pura tidak tahu.! Ririswari menundukkan wajahnya. ˜Riris, aku perlukan datang menemuimu, aku ingin mendengar jawabanmu atas pernyataan yang pernah aku katakana kepadamu! "Kakang Jalawaja.! Suara Ririswari menjadi dalam sekali. ˜Kau tahu, bahwa aku baru saja kehilangan ibundaku! ˜Aku tahu Riris, tetapi bukankah sudah ada jarak waktu sampai hari ini! ˜Tetapi aku masih belum dapat melupakan saat-saat kepergian ibundaku! ˜Kau harus menghadapi kenyataan Riris, sepeninggal bibi, matahari masih beredar di jalurnya. Matahari itu tidak dapat berhenti karena seorang gadis sedang berduka. Aku sudah menyatakan, bahwa aku ikut kehilangan sepeninggal bibi. Bibi sangat baik kepadaku, meskipun bibi tahu, bahwa ayahku adalah seorang yang tidak pantas tinggal di kadipaten ini, tetapi hari-hari akan berlanjut, hidupku dan hidupmu! ˜Aku mengerti, kakang. Duka keluargaku memang tidak dapat menghentikan matahari yang berputar sesuai dengan iramanya sendiri, tetapi aku dapat berlindung dibawah rimbunnya dedaunan untuk menghindari terik sinarnya, hanya untuk sementara di saat hatiku belum siap menerimanya! ˜Sudah berapa kali aku mendengar jawabanmu seperti itu, Riris! ˜Maafkan aku, kakang Jalawaja. Aku tidak berniat melukai hatimu, tetapi aku minta waku! Wajah Jalawaja menjadi tegang, tetapi iapun melangkah sambil berdesis. ˜Aku adalah anak orang buangan, Riris. Aku tidak dapat berkata apa-apa lagi, aku minta diri! ˜Kakang! "Bukankah aku harus menunggu..? Aku akan menunggu Riris. Sampai pada suatu saat hatimu tidak lagi disaput awan kelabu. Meskipun aku tidak tahu, sampai kapan aku harus menunggu! Jalawaja tidak menunggu jawaban Ririswari, iapun kemudian melangkah meninggalkan pintu buntalan taman keputren yang jarang sekali dibuka itu. Ririswari berdiri termangu-mangu, wajahnya nampak muram. Sedangkan matanya berkaca-kaca. Dipandangnya Jalawaja menjauh sehingga hilang dikelokan. ˜Puteri.! Ririswari bagaikan terbangun dari mimpinya yang gelisah ˜Hamba mohon puteri segera masuk kembali ke taman keputren, biarlah hamba yang menutup pintunya. Jika para perajurit yang nganglang melihat pinti ini terbuka, maka mereka tentu akan melaporkannya kepada ayahanda puteri! Ririswari menarik nafas panjang, sambil mengusap peupuknya yang basah. Ririswaripun melangkahi tlundak pintu buntalan. Tetapi langkahnya terhenti, dipandanginya sebatang pohon bunga yang tidak terdapat dalam taman. Berapa kuntum bunga yang bergelantungan didahannya yang kecil. Seakan-akan menunduk bersedih. Ketika Ririswari mendekati pohon bunga itu, embannya menahannya sambil berkata. ˜Jangan Puteri! Ririswari berpaling kepadanya, sementara emban itupun berkata. ˜Itu kembang Kecubung Puteri, kembang yang menyimpan racun yang memabukkan! Ririswari melangkah mundur, namun kemudian iapun segera berbalik, masuk ke dalam taman keputren. Emban itupun segera menutup pintu butulan itu dan menyelaraknya dari dalam, selarak yang terasa berat di tangan emban itu. Sepeninggal Jalawaja, wajah Ririswari menjadi semakin murung. Dengan lembut emban itupun berkata ˜Sudahlah Puteri, marilah., aku persilahkan Puteri pergi ke geladri, mungkin ada sesuatu yang dapat kerjakan disana! Ririswari tidak menjawab, tetapi gadis itupun kemudian berjalan dengan langkah-langkah kecil menuju geladri. ˜Raden Jalawaja tentu akan datang kembali Puteri, Esok atau lusa! berkata emban yang berjalan disamping Ririswari. Tetapi Raden Ajeng Ririswari itu menggeleng, katanya! Tidak segera emban! ˜Aku berani bertaruh, besok suara suling itu tentu akan terdengar lagi! ˜Kakang Jalawaja sekarang tidak tinggal di rumahnya! ˜Ooo.! ˜Kakang Jalawaja sudah beberapa lama tinggal bersama kakeknya di kaki bukit! ˜Jadi.! ˜Jika ia datang kemari, emban, ia telah menempuh perjalanan yang panjang! ˜Puteri, mumpung belum terlalu jauh, apakah hamba diperkenankan menyusulnya.?! ˜Jika kau berhasil menyusul Kakang Jalawaja, apa yang akan kau katakana kepadanya?! Emban itu terdiam, namun kemudian emban itu berdesis ˜Apa saja yang puteri perintahkan.! ˜Sudahlan emban, akupun yakin, bahwa kakang Jalawaja akan kembali, tetapi kapan?! ˜Kenapa Puteri mengusirnya.?! ˜Aku tidak mengusirnya, emban. Aku hanya mengatakan, bahwa aku belum dapat menjawab pernyataannya beberapa waktu yang lalu.! ˜Pernyataan tentang apa Puteri?! ˜Kenapa Kau masih menanyakannya?! ˜Apakah hamba pernah bertanya sebelumnya.?! ˜Ah..! Langkah Ririswari yang kecil-kecil itu menjadi semakin cepat, berlari-lari kecil emban itu yang mengikutinya Ketika keduanya sampai ke geladri, geladri itu nampak sepi. Ketika seorang abdi lewat, Ririswaripun bertanya ˜Dimana Ayahanda?! ˜Di ruang depan, Puteri. Dihadap oleh Raden Ayu Rekasayuda, Ki Tumenggung Jayataruna dan Ki Tumenggung Reksabaya! ˜Bibi Reksayuda ada disini?! ˜Ya, Puteri! ˜Ada apa?! ˜Hamba tidak tahu, Puteri! Ketika abdi itu pergi, Ririswaripun berdesis ˜Aku tidak senang kepada perempuan itu! ˜Kenapa Puteri?! bertanya embannya ˜Tidak apa-apa! ˜Tetapi kenapa Puteri tidak senang kepada Raden Ayu?! Ririswari termangu-mangu sejenak, namun kemudian iapun berkata ˜Aku tidak senang melihat sikapnya, bibi tidak menunjukkan sikap sebagai seorang yang dituakan meskipun ia masih muda. Aku menjadi semakin benci melihat tingkahnya ketika menghadap Ayahanda beberapa waktu yang lalu, justru pada saat ayahanda masih diliputi perasaan duka atas kepergian ibunda! ˜Hamba tidak melihatnya, Puteri! ˜Ia merasa dirinya perempuan yang paling cantik di dunia ini. Jika kau dengar, bagaimana ia manangis dihadapan ayahanda. Tingkahnya yang berlebihan membuatnya menjadi semakin tidak pantas! ˜Kenapa ia menangis? ˜Perempuan itu bicara tentang paman yang masih menjalankan hukuman! ˜Ooo.! ˜Tetapi aku tidak yakin bahwa ia bersikap jujur! Emban itu mengangguk-angguk, namun kemudian iapun berkata! Puteri, sudah lama Puteri tidak menyentuh canting, gawangan dan kain yang sedang dibatik itu. Jika Puteri sempat menyelesaikannya, kain itu sangat berarti bagi Puteri, bukankah beberapa coretan pertama dilakukan oleh ibunda?! Ririswari termangu-mangu sejenak, namum kemudian iapun berkata ˜Ya, emban. Biarlah aku melanjutkannya, kain itu akan dapa menjadi kenangan bagiku, bekas tangan ibunda itu akan aku beri tanda agar aku dapat selalu mengingatnya. Kain itu akan menjadi persembahan kepada ayahanda. Ayahanda menggemari kain batik parang, bahkan ayahanda, yang pada waktu itu ,masih didampingi oleh ibunda, mempunyai kumpulan kain batik dari berbagai jenis parang. Sebagian adalah kain yang dibatik oleh ibunda sendiri! ˜Marilah Puteri, biarlah aku mempersiapkannya! Keduanyapun kemudian pergi ke serambi samping disebelah kiri, emban itu masuk masuk kedalam sebuah sentong yang sempat. Di dalam sentong itu disimpan berbagai peralatan batik serta lembar kain yang masih harus digarap. Ketika gawangan dengan kain yang belum selesai dibatik bargayut di gawangan iu dibawa keluar dari bilik itu, maka Ririswaripun mengusap air matanya yang mengembun. Di luar sadarnya, Ririswari membayangkan ibundanya yang duduk didepan gawangan itu. Sekali-sekali ditiupnya canting yang berisi malam yang cair dan panas, kemudian digoreskannya paruh canting itu pada kain yang tersangkut digawangan. Embannya masih saja sibuk menyediakan anglo kecil, wajan yang sering dipakai oleh Ririswari serta ibundanya mambatik. Kemudian menyalakan api, meletakkan wajan kecil diatasnya serta menaruh malam kedalamnya. Malam yang berwarna cokelat diberi secuil malam yang berwarna putih. Sejenak kemudian, Ririswaripun duduk disebuah bangku dingklik kayu yang rendah disamping wajannya yang berisi malam yang sudah mulai mencair diatas bara api arang kayu metir di anglo kecil. Dicobanya untuk memusatkan pada kain yang sedang dibatiknya. Dalam pada itu, di ruang depan, ayahandanya, Kangjeng Adipati Wirakusuma duduk dihadap oleh Raden Ayu Reskayuda, Ki Tumenggung Jayataruna serta Ki Tumenggung Reksabawa. Terasa ruang depan dalem kadipaten itu diliputi oleh suasana yang tegang. Raden Ayu Reksayuda telah menghadap Kangjeng Adipati Wirakusuma untuk kesekian kalinya. Dengan menahan tangis, Raden Ayu Prawirayuda itu mohon agar diberikan pengampunan bagi suaminya, Raden Tumenggung Wreda Reksayuda yang mendapat hukuman, disingkirkan dan tidak boleh menginjak tlatah Kadipaten Sendang Arum untuk waktulima tahun. ˜Ampun dimas Adipati. Hamba mohon keringanan bagi kangmas Tumenggung Reksayuda! Kangjeng Adipati menarik nafas panjang. ˜Hamba sudah menghadap beberapa kali, dimas Adipati masih belum memberikan kepastian, meskipun dimas sudah berjanji akan mengusahakan keringanan itu! Kangjeng Adipati masih belum memberikan jawaban. ˜Hamba mohon belas kasihan dimas Adipati, dimas tentu tahu, bahwa ketika kangmas Tumenggung Wreda Reksayuda diusir dari Kadipaten Sendang Arum, kami belim lama hidup bersama sebagai suami isteri, Kami baru saja menikah pada wakti itu! ˜Kangmbok.! jawab Kangjeng Adipati ˜Jika keputusan bahwa kangmas Tumenggung Wreda itu harus disingkirkan dari Sendang Arum dijatuhkan, adalah akibat dari sikap dan tindakan kangmas Tumenggung Reksayuda itu sendiri! ˜Hamba tahu, dimas. Kangmas Reksayuda memang bersalah, tetapi bukankah kangmas Reksayuda telah menjalani hukumannya?! ˜Kangmas Reksayuda dihukum tidak boleh memasuki tlatah Kadipaten Sendang Arum selamalima tahun! ˜Hukuman itu sangat berat kangmas Reksayuda yang sudah lebih dari separoh baya itu, dimas! ˜Semuanya itu bukan kehendakku pribadi, kangmbok. Tetapi paugeran dan tatanan di Sendang Arumlah yang menentukan, jika kangmas Tumenggung yang sudah semakin tua itu tidak melakukan kesalahan, maka kangmas Tumenggung tentu tidak akan menanggung akibat yang mungkin dirasakan sangat berat itu! ˜Dimas, apalagi sekarang menurut berita yang hamba dengar, kangmas Tumenggung Wreda sering saki-sakitan, apakah mungkin terjadi, bahwa kangmas Tumenggung tidak lagi sempat melihat terbitnya matahari di Kadipaten Sendang Arum ini?! Kangjeng Adipati Wirakusuma menarik nafas panjang. ˜Dimas, apapun yang harus hamba lakukan, akan hamba lakukan bagi pengampunan kangmas Tumenggung Reksayuda! ˜Baiklah, aku akan membicarakannya kangmbok! ˜Beberapa pekan yang lalu, dimas juga mengatakan akan membicarakannya! ˜Aku sudah membicarakannya, tetapi masih ada beberapa silang pendapat diantara beberapa orang penanggung jawa negeri ini, agar keputusan ang akan kami ambil tidak menimbulkan persoalan di masa depan, maka kami akan membicarakannya lebih dalam lagi! Raden Ayu Prawirayuda mengusap matanya yang basah. Dengan saura yang bergetar iapun berkata ˜Ampun dimas, Jika demikian, hamba akan menunggu. Namun hamba mohon dengan sungguh-sungguh belas kasihan dimas kepadaku dan kepada kangmas Reksayuda, Hamba mohon dimas Adipati memberi kesempatan kepada kami untuk memberikan arti bagi pernikahan kami.! ˜Kami masih memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang dapat dilakukan oleh kangmas Reksayuda seandainya ia benar-benar aku kesempatan untuk pulang! ˜Apa yang dapat dilakukan oleh kangmas Reksayuda yang sudah menjadi semakin tua?, Seandainya dimas mengijinkannya pulang, maka yang dapat dilakukannya tidak lebih dari satu kehangatan keluarga diusianya yang semakin tua! -Baiklah kangmbok, beri kesempatan kepada kami untuk membicarakannya dengan beberapa orang pejabat di Kadipaten ini! ˜Hamba dimas, segala harapan bergayut kepada kebijaksanaan dimas! ˜Aku bersandar kepada kesepakatan para pemimpin di Sendang Arum! ˜Tetapi dimas adalah penguasa tertinggi di Kadipaten ini! Kangjeng Adipati menarik nafas panjang, namun kemudian iapun berkata ˜Baiklah kangmbok, apa yang kangmbok inginkan sudah kamu ketahui, karena itu, biarlah kami membicarakannya. Pada saatnya kami akan memberitahukan kepada kangmbok keputusan yang kami ambil! Raden Ayu Prawirayuda menundukkan wajahnya, sekali-sekali tangannya masih mengusap matanya yang basah. Namun kemudian Raden Ayu Prawirayuda itupun mohon diri. ˜Aku akan memberitahukan kepada kangmbok secepatnya! ˜Terima kasih, dimas, hamba menunggu, siang dan malam hamba berdoa, semoga kangmas Tumenggung Reksayuda segera diperkenankan pulang! Raden Ayu Reksayuda itupun kemudian meninggalkan pertemuan itu. Wajahnya nampak muram, matanya lembab oleh tangisnya yang tertahan-tahan. Namun yang kadang-kadang bendungan itu pecah juga, sehingga air matanya menghanbur keluar. Diruang depan Kadipaten iu Kangjeng Adipati masih dihadap oleh Ki Tumenggung Reksabawa dan Ki Tumenggung Jayataruna. ˜Kakang Tumenggung berdua, bagaimana menurut pertimbangan kalian tentang permohonan kangmbok Reksayuda?. Kalian sudah mendengar sendiri, bukan hanya permohonannya, tetapi juga tangisnya. Apakah kia dapat memaafkan kesalahan-kesalahan kangmas Tumenggung Wreda Reksayuda yang telah berniat membrontak pada waktu itu. Meskipun pembrontakan itu belum nyata dan belum dilakukan, tetapi pembrontakan itu rasa-rasanya sudah disiapkannya.! ˜Ampun Kangjeng Adipati, Jika diperkenankan, hamba akan mengutarakan pendapat hamba! berkata Ki Tumenggung Jayataruna. ˜Katakan Kakang! ˜Jika berkenan di hati Kangjeng Adipati, apakah sebaiknya Kangjeng Adipati menghubungi Kangjeng Adipati Jayanegara di Pucang Kembar. Bukankah Raden Tumenggung Wreda Reksayuda berada di Pucang Kembar. Mungkin Kangjeng Adipati di Pucang Kembar dapat memberikan beberapa pertimbangan. Jika menurut pengamatan Kangjeng Adipati di Pucang Kembar, Raden Tumenggung Wreda Reksayuda bersikap baik dan tidak ada tanda-tandanya untuk melanjutkan niatnya menggeser kedudukan Kangjeng Adipati, maka permohonan Raden Ayu Reksayuda dapat di pertimbangkan! ˜Bagaimana pendapatmu kakang Reksabawa?! ˜Kangjeng Adipai, menurut pendapat hamba, paugeran harus ditegakkan di Sendang Arum. Raden Tumenggung Wreda Reksayuda telah melakukan kesalahan yang sangat berat. Raden Tumenggung telah merencanakan satu pemberontakan untuk menyingkirkan Kangjeng Adipati Wirakusuma. Bahkan tanpa alasan apa-apa selain perasaan iri, bahwa bukan Raden Tumenggung Reksayuda yang menduduki jabatan Adipati Sendang Arum. Raden Tumenggung Reksayuda akan dapat menjadi Adipati menurut darah keturunan jika eyangnya tidak meninggal dalam usia yang masih muda, sebelum sempat menggantikan kedudukan ayahnya, Adipati Sendang Arum sehingga akhirnya Kangjeng Adipati Wirakusumalah yang sekarang memegang jabatan itu. Jika saja Raden Tumenggung Reksayuda itu mempunyai alasan yang mapan, mungkin banyak orang yang dapat mengerti, kenapa ia melakukannya meskipun ia tetap dianggap bersalah. Tetapi yang dilakukan oleh Raden Tumenggung semata-mata berpusar pada kepentingannya sendiri.! ˜Jadi maksud kakang?! ˜Ampun Kangjeng, menurut pendapat hamba, perasaan iri di hati Raden Tumenggung Reksayuda itu tidak akan muda hilang, jika Raden Tumenggung Wreda itu mempunyai alasan tertentu, misalnya tentang ke tataprajaan atau tentang tatanan laku dagang atau persoalan mendasar lainnya, masih dapat diharapkan, bahwa perubahan-perubahan yang terjadi di Kadipaten ini akan dapat memberikan kesadaran baru bagu Kangjeng Raden Tumenggung Wreda. Tetapi jika persolanannya adalah karena iri hati, maka akan sulit dicari kalan pemecahannya.! ˜Bagaiman kesimpulan Kakang?! ˜Ampun Kangjeng, menurut pendapat hamba Raden Tumenggung Wreda Reksayuda harus menjalani hukumannya sesuai dengan keputusan yang sudah dijatuhkan,lima tahun. Sedangkan hukuman itu sampai sekarang baru dijalani selama dua hampir tiga tahun! ˜jadi menurut kakang, kesalahan yang pernah dlakukan oleh kakangmas Raden Tumenggung itu tidak dapat di maafkan?! ˜Setelah waktu hukumannya diselesaikan! ˜Itu namanya bukan pengampunan, bukan pemaafan atas satu kesalahan. Setelah menjalani hukumanlima tahun, hutang kangmas Reksayuda terhadap Kadipaten ini sudah sah. Sudah lunas, tidak ada lagi pengampunan yang diperlukan.! ˜Kangjeng Raden Tumenggung Reksayuda adalah masih berada dalam ;ingkaran keluarga Kangjeng Adipati sendiri. Apa kata orang, jika pengampunan itu Kangjeng Adipati berikan kepada keluarga Kangjeng Adipati sendiri yang terang-terangan telah melakukan kesalahan. Lalu bagaimana pula dengan beberapa orang yang mendukungnya, sehingga harus menjalani hukuman pula. Apakah mereka semua juga harus mendapatkan pengampunan?. Jika tidak, aka apakah hanya kerabat Kangjeng Adipati sendiri yang dapat diampuni kesalahannya?, Karena itu, Kangjeng, menurut pendapat hamba, keputusan yang sudah ditetapkan harus ditegakkan! ˜Kakang! tiba-tiba saja Ki Tumenggung Jayataruna menyela ˜Keputusan berdasarkan paugeran itu bukan kata-kata mati. Bukankah Kangjeng Adipati mempunyai kebijaksanaan yang dapat diterapkan untuk menentukan keputusan baru?! ˜Apakah yang adi maksudkan dengan kebijaksanaan?, Kebijaksanaan seharusnya bukan berarti satu cara untuk menghindari paugeran yang seharusnya berlaku. Kebijaksanaan bukan cara untuk menembus celah-celah tatanan yang sudah ditetapkan. Memang banyak yang mengartikan bahwa kebijaksanaan itu adalah keputusan-keputusan yang diambil untuk melawan paugeran dan tatanan yang berlaku atau bahkan mempergunakan celah-celah paugeran untuk memutihkan tindakan-tindakan yang sebenarnya keliru.! ˜Itu sudah terlalu jauh kakang. Tetapi agaknya kakang tidak percaya kepada kebijaksanaan yang dapat diambil oleh Kangjeng Adipati! ˜Tidak!, sama sekali tidak. Tetapi aku tidak sependapat dengan jalan pikiranmu adi! ˜Cukup!, Aku memang belum mengambil keputusan apakah aku akan memaafkan kakangmas Raden Tumenggung Wreda Reksayuda atau tidak. Tetapi aku setuju untuk mengumpulkan keterangan-keterangan yang dapat dipergunakan sebagai bahan pertimbangan sebelum aku mengambil keputusan. Karena itu, aku perintahkan kakang Tumenggung berdua, Tumenggung Reksabaya dan Tumenggung kakangmas Adipati jayanegara. Kakangmas berdua akan akun perintahkan untuk minta pertimbangan kakang Adipati tentang sikap dan tingkah laku kakangmas Reksayuda selama berada di Kadipaten Pucang Kembar.! ˜Ampung Kangjeng! sahut Ki Tumenggung Reksabawa ˜Apakah Kangjeng Adipati Jayanegara akan bersikap jujur? Mungkin Kangjeng Adipati hanya ingin segera menyingkirkan Raden Tumenggung Reksayuda dari Kadipaten Pucang Kembar! ˜Kenapa kau tidak percaya kepada semua orang kakang?.! justru Ki Tumenggung Jayatarunalah yang bertanya ˜Bukan begitu adi Tumenggung. Tetapi aku hanya memberikan pertimbangan-pertimbangan! ˜Sudah cukup! potong Kangjeng Adipati ˜Aku perintahkan kakang berdua besok pagi pergi ke Kadipaten Pucang Kembar. Mungkin kakang berdua harus bermalam di Pucang Kembar, Karena selain perjalanan yang panjang, belum tentu kakangmas Adipati dapat langsung menerima kalian! ˜Hamba Kangjeng! jawab keduanya hampir berbareng ˜Sekarang aku perkenankan kalian meninggalkan tempat ini! Kedua Tumenggung itupun kemudian mohon diri, mereka harus bersiap-siap, karena besok pagi mereka akan menempuh perjalanan jauh. Ketika keduanya keluar dari gerang dalem Kadipaten, keduanya tidak banyak berbicara. Baru ketika keduanya akan berpisah. Ki Tumenggung Jayataruna bertanya ˜Besok pagi-pagi kita bertemu dimana kakang? ˜Menjelang keberangkatan kita ke Pucang Kembar? ˜Ya..,! ˜Bagaimana jika Adi Jayataruna singgah di rumahku.? Ki Tumenggung Jayataruna termangu-mangu sejenak, namun kemudian iapun menjawab ˜Baik kakang, besok pagi-pagi, sebelum matahari terbit, aku sudah akan berada di rumah kakang! ˜Aku akan siap sebelum matahari terbit! Keduanya kemudian berpisah, Ki Tumenggung Jayataruna berbelok ke kiri, sementara Ki Tumenggung Reksabawa mengambil jalan yang lurus. Demikian keduanya berpisah, maka keduanya menjadi semakin dalam tenggelam kedalam angan-angan mereka masing-masing. Bagi Ki Tumenggung Reksawaba, maka Raden Tumenggung Wreda Reksayuda tidak sepantasnya diampuni. Hanya berdasarkan atas perasaan iri hati, maka Raden Tumenggung Reksayuda telah mempersiapkan pemberontakan untuk menyingkirkan Kangjeng Adipati Wirakusuma. Mungkin, dalam pembuangan, terbersit penyesalan dan bahkan berjanji kepada diri sendiri untuk melupakan perasaan iri hati itu. Tetapi jika Raden Tumenggung Wreda itu sudah berada di rumahnya, maka perasaan itu akan dapat terungkit lagi. ˜Raden Tumenggung Reksayuda adalah seorang yang keras hati, ia seorang prajurit yang baik, yang mumpuni dan disegani oleh banyak orang. Meskipun Raden Tumenggung itu sudah menjadi semakin tua, namum ia masih akan dapat bangkit lagi untuk memimpin sebuah pemberontakan. Raden Tumenggung itu dapat mencari kelemahan-kelemahan yang terdapat di dalam diri kangjeng Adipati Wirakusuma. Sebagai manusia biasa, memang cukup banyak kekurangan dan kelemahan Kangjeng Adipati! berkata Ki Tumenggung Reksabaya di dalam hatinya Ki Tumenggung Reksabaya menarik nafas panjang, Sementara itu Ki Tumenggung Jayataruna yang mengambil jalan lain, telah berangan-angan pula di sepanjang jalan pulang. Yang nampak jelas di angan-angannya justru bukan Raden Tumenggung Reksayuda yang sedang dipersoalkannya dengan Ki Tumenggung Reksabawa. Tetapi yang nampak jelas di angan-angannya adalah justru wajah Raden Ayu Reksayuda yang dimatanya nampak sangat cantik, apalagi jika Raden Ayu itu tersenyum kepadanya. ˜Gila.!! desisnya ˜kenapa perempuan secantik itu harus menikah dengan Raden Tumenggung Reksayuda yang sudah tua?! Ki Tumenggung Jayataruna menarik nafas panjang. Namun kadang-kadang Ki Tumenggung Jayataruna itu tersenyum sendiri. Dalam pada itu, sepeninggal Ki Tumenggung Reksabawa dan Ki Tumenggung Jayataruna, Kangjeng Adipati Wirakusuma telah masuk ke ruang dalam, ketika tercium olehnya bau malam yang dipanasi, maka Kangjeng Adipati itu telah pergi ke serambi. Dipintu Kangjeng Adipati itu berdiri termangu-mangu, Ia melihat puterinya membatik. Embannya yang juga membatik sehelai selendang untuk sekedar menemani Raden Ayu Risirwari, melihat kehadiran Kangjeng Adipati, maka diletakkannya cantingnya, kemudian emban itupun menyembah dengan hormatnya. Ririswsari yang melihat embannya menyembah, segera berpaling, ketika dilihatnya ayahnya berdiri di pintu. Maka Ririswari itupun menyembah pula. ˜Ayahanda, aku akan menyelesaikan batik parang itu. Kelak aku ingin mempersembahkannya kepada ayahanda, meskipun barangkali batikanku tidak terlalu halus, namun aku mohon sekali waktu ayahanda mengenakannya. Tentu saja tidak dalam pertemuan besar dan resmi, tetapi mungkin pada saat-saat bibi Reksayuda menghadap! ˜Bibimu...?! ˜Ya., bukankah sekarang bibi sering menghadap? Dengan tingkahnya yang dibuat-buat serta senyumnya yang berhamburan?! ˜Ah.., Kau Riris, Bibimu datang untuk mohon keringanan hukuman bagi uwakmu, kakangmas Tumenggung Wreda Reksayuda! ˜Apakah ia berbuat dengan jujur ayahanda..?! ˜Jangan berprasangka, Riris, Sekarang lanjutkan saja kerjamu. Aku akan menungumu disini, aku senang melihat kau mulai membatik lagi! ˜Ibunda yang mulai dengan beberapa coretan pada kain itu, ibunda memang minta aku menyelesaikainnya! ˜Kau akan menyelesaikainnya, Riris..?! ˜Ayah benar akan menunggui aku disini?! ˜Ya., aku akan duduk di sebelahmu! ˜Baik, Aku mohon ayahanda duduk di situ selama aku masih duduk membatik! Kangjeng Adipati tertawa. Namun Kangjeng Adipati duduk pula menunggu Ririswari untuk beberapa lama. Dalam pada waktun itu, di keesokan harinya, sebelum matahari terbit, Ki Tumenggung Jayataruna seperti yang direncanakan sudah berada di rmah Ki Tumenggung Reksabawa. Ki Tumenggung Reksabawapun telah siap pula untuk berangkat. Namun Ki Tumenggung Reksabawa masihn sempat mempersilahkan Ki Tumenggung Jayataruna untuk duduk sejenak di Pringgitan. ˜Mium minuman yang hangat dahulu, adi Tumenggung jayataruna.! ˜Terima kasih kakang, baru saja aku minum dan bahkan makan pagi, sebelum berangkat! ˜Kalau begitu, kita dapat berangkat sekarang! ˜Mari kakang, mumpung masih pagi! Ki Tumenggung Reksabawakemudian minta diri kepada Nyi Tumenggung yang mengantarnya sampai di tangga pendapa ˜Tidak duduk dahulu, adi Tumenggung.?! bertanya Nyi Tumenggung kepada Ki Tumenggung Jayataruna ˜Terima kasih, Nyi, kami akan menempuh jarak yang pajang, mumpung masih pagi! Keduanya kemudian meninggalkan regol halaman rumah Ki Tumenggung Reksabawa. Kuda merekapun segera berlari kencang selagi jalan masih belum terlalu ramai, meskipun demikian, satu dua orang telah berada di jalan menuju ke pasar. Namun mereka telah memadamkan obor blarak yang mereka bawa, karena langit sudah terang meskipun matahari belum terbit. Kedua Tumenggung itupun memacu kuda mereka melintasi bulak-bulak panjang di pagi hari yang dingin, embun masih menitik dari ujung dedaunan yang temelung keatas jalan yang mereka lalui. Dikejauhan terdengar kicau burung liar yang bangkit dari tidurnya ketika langit menjadi kemerah-merahan. Tidak banyak yang dipercakapkan kedua orang Tumenggungitu di sepanjang jalan. Mereka menyadari, bahwa ada perbedaan pendapat diantara mereka tentang kemungkinan pengampunan terhadap Raden Tumenggung Wreda Reksayuda. Karena itu, maka jika keduanya berbicara diantara mereka, maka yang mereka bicarakan adalah persoalan-persoalan yang lain, yang tidak menyangkut kemungkinan pengampunan Raden Wreda Reksayuda. Ketika kemudian matahari terbit, mereka sudah berada agak jauh dari Kadipaten, mereka tidak saja melintasi bulak-bulak pajang, tetapi mereka juga menerobos padukuhan-padukuhan besar dan kecil. Melewati padang-padang rumput danpadang perdu di pinggir utan yang lebat. Matahari yangn semakin tinggi sinarnya mulai menggigit kulit. Semakin lama sinarnya manjadi semakin terik, sehingga keringat merekapun mulai membasahi pakaian mereka. ˜Kuda-kuda kita mulai letih kakang! berkata Ki Tumenggung Jayataruna. ˜Ya.adi, aku merasakannya! ˜Bkan hanya kuda-kuda kita! Ki Tumenggung Reksabawa tertawa, katanya ˜Kita juga mulai haus! Keduanya sepakat untuk berhenti di sebuah kedai yang terhitung besar dan ramai di kunjungi orang, dekat sebuah pasar yang nampaknya sedang pasaran, sehingga orang-orang yang berjualan agaknya tidak termuat lagi di dalam pasar. Jalan di depan pasarpun menjadi sempit, karena orang-orang yang berjualan di sebelah menyebelah jalan. Sejenak kemudian, keduanya telah berada di dalam kedai itu. Kepada seorang yang bertugas, kedua orang Tumenggung itu menyerahkan kuda mereka untuk diberi minum dan makan secukupnya. ˜Pasar itu masih ramai saja di tengah hari! desis Ki Tumenggung Reksabawa! ˜Hari ini hari Soma Mancawarna, Ki sanak! berkata pelayan yang siap melayani mereka berdua. ˜Hari pasaran.?! ˜Ya.pasar ini adalah pasar yang teramai diantara bebarapa pasar yang ada di sekitar tempat ini! ˜Pasar ini pasar apa namanya, Ki sanak?! ˜Pasar Patalan, karena pasar ini berada di kademangan Patalan! ˜Ooo..! Ki Tumenggung Reksabawa mengangguk-angguk ˜Bukankah kita tidak untuk pertama kalinya melewati pasar ini, kakang?! ˜Ya.tetapi akubari tahu sekarang namanya. Pasar patalan karena pasar ini berada di Kademangan Patalan! Keduanya kemudian memesan makanan dan minuman sambil memberi kesempatan kuda-kuda mereka beristirahat. Diluar pengetahuan mereka, empat orang yang juga di dalam kedai itu telah memperhatikan keduanya. Menilik makanan yang dipesan, sikap serta pakaian mereka, juga kuda-kuda mereka serta kelengkapannya, keduanya adalah orang yang berada. Di hari-hari pasaran, kadang-kadang memang ada orang yang sengaja memperhatikan orang-orang yang hilir mudik di pasar itu. Mereka memperhatikan orang-orang yang dianggapnya memiliki uang atau barang-barang berharga. Saudagar-saudagar orang-orang yang membawa banyak uang setelah menjual barang-barang berharga merka. Tetapi kadang-kadang saudagar-saudagar kaya tidak hanya sendiri atau dua orang tiga orang pergi ke pasar. Tetapi kadang-kadang mereka membawa beberapa orang upahan untuk melindungi mereka jika mereka harus berhadapan dengan penjahat. Meskipun demikian, kadang-kadang ada juga orang yang sombong atau lengah, sehingga akan dapat menjadi mangsa orang-orang yang berlaku jahat. Agaknya kedua orang berkuda itu tidak mengetahuiya. Mereka hanya datang berdua saja. Ketika pelayan kdai itu menyerahkan pesanan mereka, pelayan itu bertanya perlahan-lahan ˜Ki sanak berdua, belum pernah ke pasar ini?! ˜Kami pernah lewat jalan ini! jawab Ki Tumenggung Jayataruna. Apakah Ki sanak tadi juga pergi ke pasar Patalan?! ˜Tidak, kami hanya lewat. Kebetulan saja pasar ini ramai sekali karena hari ini adalah hari pasaran. Bukankah biasanya setelah tengah hari pasar menjadi semakin sepi..? ˜Ya.Ki sanak, orang-orang dan saudagar-saudagar dari jauh hari ini berdatangan. Mereka menjual bermacam-macam barang, tetapi ada juga mereka yang membeli berbagai macam barang untuk dijual kembali! ˜Tengkulak.?! Ya..! Ki Tumenggung Jayataruna mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba pelayan itu berbisik ˜Hati-hati dengan empat orang yang duduk di sebelah tiang itu, Ki sanak.! Kedua Tumenggung itu berdesis hampir berbareng ˜Kenapa..?! ˜Mereka sering melakukan kejahatan, tetapi jangan berpaling sekarang! ˜Terima kasih atas keteranganmu Ki sanak! Pelayan itupun kemudian berkata lebih keras !Sebaiknya Ki sanak berdua singgah di pasar itu untuk melihat-lihat! ˜Kami agak tergesa-gesa! jawab Ki Tumenggung Jayataruna. Ketika pelayan itu perpgi, Ki Tumenggung Jayatarunapun berdesis ˜Mudah-mudahan mereka tidak menggangu perjalan kita! ˜Agaknya kita akan luput dari perhatian mereka. Yang mereka perhatikan adalah para saudagar ataun orang-orang yang baru saja menjual barang-barang berharga di pasar yang sedang pasaran itu! ˜Darimana mereka tahu, sedangkan mereka duduk-duduk saja disitu? ˜Tentu ada orang lain yang mengamati para pedagang dan orang yang aganya dapat mereka jadikan korban mereka di pasar itu! Ki Tumenggung Jayataruna tertawa, Ia sedang mentertawakan pertanyaannya sendiri. Namun kedua orang Tumenggung itu sama sekali tidak menjadi gelisah, mereka makn dan minum dengan tenang sambil beristirahat serta memberi kesempatan kuda-kuda mereka beristirahat pula. Bab 2 Tanpa menarik perhatian, keduanya sempat melihat empat orang yang disebut oleh pelayan kedai itu, empat orang yang nampaknya memang garang. Wajah mereka nampak gelap. Pakaian mereka dan cara duduk mereka yang memang nampaknya tanpa dilambari unggah-ungguh justru karena mereka berada diantara banyak orang. Nampaknya pemilik kedai dan pelayan-pelayannya merasa tidak senang akan kehadiran keempat orang itu. Tetapi mereka tidak dapat mengusirnya, karena keempat orang itu tidak berbuat apa-apa di kedai mereka. Beberapa saat kemudian, kedua Tumenggung itu melihat dua orang memasuki kedai itu langsung menuju ke tempat empat orang yang berwajah gelap itu duduk. Dengan hati-hati Ki Tumenggung Reksabawa memperhatikan kedua orang yang baru masuk itu. ˜Aku tidak mendapat kesempatan untuk melihat apa yang mereka lakukan! Desis Ki Jayataruna yang kebetulan duduk menyamping. Jika ia terlalu sering berpaling, maka keempat orang itu tentu akan semakin memperhatikannya pula. ˜Keduanya menggeleng-gelengkan kepala mereka! desis Ki Reksabawa ˜Mungkin mereka tidak menemukan orang yang dapat mereka jadikan korban di pasar itu! ˜Mereka tentu akan mencari korban disini! ˜Apakah kita kelihatan seperti saudagar yang kaya raya yang membawa banyak uang..? Pembicaraan mereka terhenti lagi, mereka melihat dua orang yang nampaknya orang-orang berada ditilik dari sikap dan pakaian mereka, namun mereka datang bersama empat orang yang lain, yang menuntun kuda. Selain kuda mereka masing-masing, mereka juga menuntun dua ekor kuda yang agaknya milik dua orang yang baru masuk terdahulu. Tiba-tiba saja Ki Jayataruna memberi isyarat kepada pelayan kedai itu untuk datang kepadanya. Demikian pelayan itu datang, maka Ki Jayataruna telah memesan dua mangkuk minuman, dawet cendol. ˜Aku..! Tetapi Ki Jayataruna memutus kata-kata Ki Reksabaya perlahan-lahan ˜Aku memerlukan keterangannya! Ki Reksabaya mengangguk-angguk sambil tersenyum. Ketika pelayan itu datang sambil membawa pesanannya, Ki Jayataruna sempat bertanya ˜Siapa yang baru datang bersama beberapa orang itu? ˜Ki Saudagar, pedagang perhiasan emas berlian, setiap hari pasaran ia tentu datang untuk menjual dan membeli perhiasan-perhiasan! ˜Apakah orang itu tidak tahu, bahwa ada empat orang penjahat disini? ˜Mereka yang sudah saling mengenal, penjahat manapun tidak akan mengganggunya, keduanya berilmu tinggi serta selalu dikawal oleh orang-orang upahan yang berilmu tinggi! Ketika pelayan itu kemudian pergi, maka Ki Reksabawapun berkata ˜Nampaknya mereka memperhatikan kita, jika tidak ada sasaran yang lain, agaknya kiat mendapat perhatian mereka! ˜Jika demikian, maka kita dapat berbangga, bahwa penampilan kita mirip orang kaya! sahut Ki Jayataruna sambil tertawa. Ki Reksabawapun tertawa pula, di kedai itu mereka sempat melupakan perbedaan pendapat mereka tentang Raden Tumenggung Wreda Reksayuda. Beberapa saat kemudian, maka Ki Reksabawa berkata ˜Marilah kita meneruskan perjalanan! ˜Bagaimana dengan Ki Saudagar?! Ki Jayataruna justru bertanya. ˜Nampaknya keduanya sudah mengenal keempat orang itu, mereka saling mengangguk. Bahkan seorang pengawal Ki Saudagar mengangkat tangannya sampai ketelinganya! Ki Jayataruna itupun kemudian beringsut sambil bangkit berdiri ˜Marilah kita meneruskan perjalanan! ˜Dawet Cendol ini sudah terlanjur di pesan! ˜He.?! ternyata Ki Jayataruna duduk kembali, keduanya masih menghirup dawet cendol yang mereka pesan, meskipun mereka tidak menghabiskannya. Ki Reksabawalah yang kemudian membayar harga makanan dan minuman mereka, sambil tesenyum Ki Reksabawa berdesis ˜Aku tidak berniat menyuap adi, agar adi menyesuaikan diri dengan sikapku! Ki Jayataruna justru tertawa. Keduanya kemudian meninggalkan kedai itu setelah minta diri kepada pelayan dan pemiliknya. ˜Bagaimana dengan kuda-kuda kami?! bertanya Ki Jayataruna kepada pemilik kedai itu. ˜Silahkan memberi upah langsung kepada amak yang memberi makan dan minum kuda-kuda Ki Sanak itu! Demikianlah setelah memberikan upah kepada anak muda yang merawat kuda-kuda mereka selama beristirahat serta memberika makan dan mimum itu, maka keduanya segera meninggalkan kedai itu. Mereka tidak dapat melarikan kuda-kuda mereka, karena jalan yang terlalu ramai di depan pasar, meskipun matahari sudah melewati puncak langit. Namun setelah mereka meninggalkan keriuhan jalan di depan pasar itu maka kuda itupun segera berlari kencang. Demikian mereka memasuki bulak panjang di depan mereka, Ki Reksabawa berpaling kebelakang. ˜Mereka tidak mengejar kita! Ki Jayataruna itu mengerutkan dahinya, katanya ˜Itu satu penghinaan! ˜Kenapa.?! ˜Dengan demikian mereka tidak menghargai panampilan kita! ˜Maksud adi?! ˜Mereka manganggap bahwa kita bukan orang kaya atau orang yang membawa banyak uang! Ki Reksabawa tertawa, namum Ki Jayatarunapun tertawa pula. Kuda-kuda merekapun berlari semakin kencang di tengah bulak yang sepi. Namun tiba-tiba keduanya terkejut, beberapa puluh patok dihadapan mereka, disebuah simpang empat di tengah-tengah bulak itu, nampak beberapa orang sambil berdiri sambil memegangi kuda mereka. ˜Edan.! geram Ki Reksabawa ˜Ternyata mereka memotong jalan pintas! ˜Apakah mereka yang tadi berada di kedai itu?! ˜Agaknya demikian! ˜Nah., itu baru sikap yang wajar! ˜Apa yang wajar?! ˜Penilaian yang tepat, mereka memang sepatutnya menghargai penampilan kita yang lebih bergaya dari orang-orang lain di kedai itu, sehingga kita pantas untuk dianggap orang kaya dan memiliki barang-barang berharga yang pantas dirampok di perjalanan! ˜Pendirian kita memang banyak berbeda adi! ˜Menurut kakang? ˜Aku lebih senang dianggap tidak mempunyai uang dan benda-benda berharga, tetapi yang sebenarnya aku adalah orang yang kaya raya, dari pada sebaliknya! Ki Jayataruna tertawa, katanya ˜Ya.Jalan pikiran kita memang berkebalikan! ˜Tetapi siapapun kita berdua, nampaknya kita memang akan kehilangan banyak waktu! Ki Jayataruna mengerutkan dahinya, katanya ˜Ya.. itulah yang membuat aku menyesal, kita akan kehilangan banyak waktu! Yang berdiri di simpang empat itu ternyata tidak empat orang, tetapi dua orang yang menyusul masuk ke dalam kedaipun ada bersama mereka pula ˜Berhenti Ki Sanak!! berkata seorang yang bertubuh tinggi tegap, berwajah gelap dan bahkan nampak bekas gores luka di keningnya. Ki Reksabawa dan Ki Jayatarunapun telah meloncat turun dari kudanya dan langsung mengikat kudanya pada sebatang pohon turi di pinggir jalan. Dengan demikian, maka Ki Reksabawapun meloncat tutun pula, serta mengikat kudanya disebelah Ki Jayataruna. Keenam orang yang menghentikan kedua Tumenggung itu justru termangu-mangu sejenak melihat sikap Ki Jayataruna. Baru kemudian orang yang bertubuh dengan baju yang terbuka didanya, sehingga nampak bulu-bulu yang tumbuh didanya itu bertanya. ˜Siapakah kalian berdua yang sudah berani melewati daerah kekuasaan kami tanpa ijin? ˜Kalian tidak usah berbicara yang melingkar-lingkar, kalian tidak usah berbicara tentang daerah kuasa kalian, karena semuanya itu hanyalah omong kosong, bahkan seperti celoteh badut-badut yang berusaha mengungkit tawa penontonnya. Katakan saja bahwa kalian adalah sekelompok penyamun. Nah.kebetulan, kami adalah pedagang-pedagang perhiasan, emas, intan, berlian, batu-batu bertuah dan wesi aji di pasar Patalan dan tempat langganan-langganan kami, kami membawa uang banyak sekali serta sisa perhiasan yang masih ada beberapa kotak kecil. Nah., katakan bahwa kaliankan merampok semuanya itu! ˜Anak iblis!! geram pemimpin perampok yang bertubuh raksasa itu. ˜Siapakah sebenarnya kalian?! ˜Sudah aku katakan, Aku mempunyai apa saja yang paling pantas untuk dirampok termasuk kuda-kuda kami! Paraperampok itu justru termangu-mangu, bahkan ada diantara mereka yang menjadi ragu-ragu untuk berurusan dengan kedua orang itu. Dalam pada itu, Ki Reksabawa berkata ˜Ki Sanak, kami berdua tergesa-gesa, karena itu, jangan ganggu perjalanan kami, minggirlah, kami akan lewat, sebaiknya kita tidak saling menganggu! ˜Persetan dengan kalian berdua, kami memang tidak berminat lagi merampok kalian, karena aku yakin, kalian tidak punya apa-apa, kalian hanyalah orang-orang yang berlagak dengan pakaian dan kelengkapan kuda yang baik. Tetapi semua hanya sekedar untuk menutupi kekurangan kalian. Mungkin kalian telah mencari pinjaman pakaian dan kuda beserta kelengkapannya, atau bahkan kalian telah mencuri kuda-kuda itu de tangah perjalanan kalian! ˜Kalian telah menyinggung perasaan kami! geram Ki Jayataruna ˜Kalian harus merampok kami, setidak-tidaknya kalian menginginkan kuda-kuda kami, atau pendok kerisku yang terbuat dari emas ini! ˜Aku tidak percaya bahwa pendok kerismu terbuat dan barangkali timangmu itu terbuat dari emas, Aku yakin, bahwa semua itu hanya dilapisi dengan emas yang sangat tipis diluarnya! ˜Kau telah merendahkan kami, saudagar terkaya di daerah kami. Jangan banyak bicara. Kalian harus langsung ke persoalannya, merpampok kami berdua! ˜Kenapa kalian menginginkan kami merampok kalian?! ˜Kami mempunyai alasan untuk membunuh kalian berenam! Pemimpin perampok yang bertubuh raksasa itu menggertakkan giginya. Dipandanginya Ki Jayataruna dengan mata yang bagaikan membara oleh kemarahan yang membakar jantungnya. ˜Kau sangat memuakkan Ki Sanak. Aku telah kehilangan seleraku untuk merampok kalian berdua. Tetapi sekarang timbul adalah nafsuku untuk membunuh kalian! ˜Bagus.! sahut Ki Jayataruna ˜Niatmu untuk membunuh kami, dapat kami jadikan alasan untuk membunuh kalian, karena kami sekedar berusaha melindungi diri sendiri! Pemimpin kelompok penyamun itupun segera memberi isyarat kepada kawan-kawannya yang segera mengikat kuda-kuda mereka pada batang-batang pohon yang ada di pinggir jalan itu. ˜Kita akan bertempur apapun alasan kalian! berkata Ki Jayataruna Ki Reksabawa menarik nafas panjang, ia memang tidak akan dapat mengelak dari pertempuran yang bakal terjadi, tetapi ia tidak setuju dengan sikap Ki Jayataruna yang sengaja memancing pertempuran. ˜Marilah kakang! berkata Ki Jayataruna ˜Orang-orang ini memang harus dihapuskan dari tanah tercinta ini! ˜Sebelum kalian mati, sekali lagi aku bertanya, siapakah kalian berdua ini! ˜Siapapun kami, kalian tidak perlu tahu, apalagi sebentar lagi kaliankan mati, sehingga tidak ada gunanya kalian mengenal nama-nama kami! ˜Setan alas! geram orang yang bertubuh raksasa itu ˜Bunuh mereka berdua! ˜Perintah yang manis, tetapi perintah itu berlaku juga bagi kami berdua untuk membunuh kalian! Kata-kata Ki Jayataruna terputus, seorang diantara para penyamun itu meloncat menyerangnya. Tetapi Ki Jayataruna sudah bersiap sepenuhnya itu masih sempat mengelak. Bahkan sambil melenting, kakinya terayun mendatar menyambar dagu orang itu. Orang itu terlempar beberapa langkah dan jatuh bergulingan. Namun dengan tangkasnya orang itupun segera meloncat bangkit. Tetapi Ki Jayataruna tidak sempat membunuhnya, orang yang bertubuh raksasa itu telah menyerangnya pula. Sementara itu, para penyamun yang lainpun telah berloncatan pula, Ki Reksabawa harus menghadapi tiga orang diantara mereka, sedangkan Ki Jayatarunapun bertempur melawan tiga orang pula. Sejenak kemudian, di samping bulak panjang yang sepi itu telah terjadi pertempuran yang sengit. Dua orang Senapati bertempur menghadapi enam penyamun yang bengis. Beberapa saat kemudian, para penyamun itu telah mengeluarkan senjata-senjata mereka. Pedang, parang, golok dan kapak. Sedangkan untuk melawan senjata-senjata yang berbahaya itu, kedua orang Tumenggung itupun telah menarik pedang mereka, bahkan Ki Jayataruna elah menggenggam pedang di tangan kanan, dan keris di tangan kiri. Semakin lam pertempuran itupun menjadi semakin sengit.Para penyamun itu telah mengerahkan kemampuan mereka, meskipun pemimpin mereka mengatakan, bahwa ia tidak lagi berselera untuk merampok, tetapi yang dimiliki oleh kedua orang itu tetap menarik perhatian para penyamun, setidak-tidaknya mereka akan mendapatkan dua ekor kuda yang baik. Karena itu, para penyamun itupun telah berusaha untuk benar-benar membunuh kedua orang yang lewat itu. Bahkan pemimpin mereka yang bertubuh raksasa iut, telah berniat untuk dengan cepat menghentikan perlawanan orang yang dianggapnya sangat memuakkan itu. Namun ternyata kedua orang itu adalah orang-orang yang berilmu tinggi, bahkan para penyamun itupun kemudian mulai merasakan kesulitan menghadapi ilmu pedang lawan-lawan mereka. Ki Jayataruna bertempur bagaikan angin pusaran, tubuhnya seakan-akan tidak menyentuh tanah, berloncatan, berputaran dengan gerak menghentak-hentak. Bahkan tiba-tiba saja seorang diantara ketiga lawannya itu berteriak dambil mengumpat. Ujung pedang Ki Jayataruna menyentuh bahu kirinya, sehingga dibahunya itu telah menganga luka yang memanjang. Namun orang itu tidak ingin menghindar dari arena, meskipun darah telah mengalir dari lukanya, namum orang itupun segera bergeser kembali mendekati Ki Jayataruna. Tetapi sebelum orang itu memasuki lingkaran pertempuran, seorang lagi kawannya meloncat surut untuk mengambil jarak. Ternyata orang itu telah terluka di lengannya. Sehingga goresan telah mengoyak lengannya itu. Bukan ujung pedang Ki Jayataruna, tetapi keris di tangan Ki Jayataruna itulah yang menggores lengan. Orang yang bertubuh raksasa itu menggeram, kapak di tangannya terayun-ayun mengerikan Tetapi jantung Ki Jayataruna sama sekali tidak tergetar oleh ayunan kapak lawannya, bahkan Ki Jayataruna telah menangkis ayunan kapak itu dengan pedangnya. Ketika benturan terjadi, terasa getar yang kuat menggoyang genggaman tangan raksasa itu, sehingga dengan serta-merta orang itu meloncat surut. Tangan pemimpin penyamun itu merasa pedih, benturan itu mengisyaratkan, bahwa lawannya memilki tenaga yang sangat besar, meskipun tubuh orang tidak sebesar tubuhnya sendiri, namum agaknya tenaga dalam orang itu sangat tinggi. Dengan demikian, maka pemimpin penyamun itu menjadi lebih berhati-hati, apalagi kedua orang kawannya telah terluka. Namun ketika Ki Jayataruna mulai melibatnya dalam pertempuran, maka pemimpin penyamun itu menjadi kebingungan. Dua orang kawannya yang terluka, tidak terlalu banyak dapat berbuat. Bahkan tiba-tiba saja seorang diantara mereka terpelanting. Luka telah menganga di dadanya. Ketika orang itu jatuh terlanting di tanah, maka ia tidak lagi bergerak, darah telah tertumpah dari lukanya. Ki Jayataruna tertawa, sementara itu kedua orang lawannya menjadi ragu-ragu. Namun Ki Jayataruna tidak membiarkan mereka, serangan-serangannya telah datang lagi membadai. Ketika pemimpin penyamun itu mengayunkan kapaknya dengan sekuat tenaga mengarah ke leher Ki Jayataruna, Ki Jayataruna sama sekali tidak berusaha menghindar, tetapi dengan sepenuh tenaga pula Ki Jayataruna telah membentur kapak orang itu. Benturanpun telah terjadi dengan kerasnya, ternyata bahwa tenaga Ki Jayataruna yang dilambari dengan tenaga dalamnya, jauh lebih besar dari tenaga pemimpin penyamun itu. Sehingga dalam benturan itu pemimpin penyamun itu tidak mampu menahan kapaknya, sehingga kapak itu telah terlempar dari tangannya. Tetapi pemimpin penyamun itu tidak sempat memungut senjatanya, Ki Jayataruna telah menjulurkan keris di tangan kirinya. ˜Cukup adi! Terdengar Ki Reksabawa berteriak. Tetapi Ki Jayataruna tidak menghiraukannya. Ujung kerisnya itu kemudian menghunjam di dada pemimpin penyamun itu mengoyak jantungnya. ˜Adi Tumenggung! terdengar terdengar suara Ki Reksabawa bergetar, tetapi suara itu hilang di telan suara ketawa Ki Jayataruna. ˜Kau bunuh lawan-lawanmu, di..?! ˜Mereka pantas mati, kakang! jawab Ki Jayataruna yang menjadi justru bertanya ˜Bagaimana dengan lawan-lawan kakang?! ˜Mereka sudah tidak berdaya, tetapi aku tidak merasa perlu untuk membunuh mereka! Ki Jayataruna justru tertawa, katanya ˜Kakang adalah seorang Tumenggung yang terlalu baik hati! ˜Biarlah mereka mengabarkan kepada kawan-kawan mereka, bahwa tidak selamanya orang-orang yang lewat itu pantas untuk mereka jadikan korban! ˜Terserah kepada kakang, tetapi mereka justru akan mendendam! ˜Betapapun jahatnya seseorang, tetapi tentu tepercik juga meskipun banyak sepeletik terang di hatinya! ˜Ki Jayataruna itu menggeleng, katanya ˜Tidak ada harapan untuk berubah bagi orang-orang itu, tetapi baiklah, marilah kita melanjutkan perjalanan! Ki Reksabawa berpaling kepada tiga orang lawannya yang sudah tidak berdaya, dengan nada datar iapun berkata ˜Ingat, bahwa disini kau telah dikalahkan, tetapi aku tidak membunuh kalian sekarang, tetapi lain kali, jika kita bertemu lagi, maka tidak akan ada ampun bagi kalian! Ketiga orang itu tidak menjawab, tetapi mereka masih saja berdesah menahan sakit pada luka-lukanya. Sejenak kemudian, maka Ki Reksabawa dan Ki Jayataruna itu sudah melanjutkan perjalanan mereka. Mereka memacu kuda mereka semakin kencang agar mereka sampai segera di Kadipaten Pucang Kembar. Tetapi waktu mereka berdua telah banyak tersita, karena itu, Ki Jayatarunapun berkata ˜Waktu yang hilang, masih belum seimbang dengan nyawa serigala-serigala lapar itu! ˜Sudahlah, bukankah dengan demikian kuda-kuda kita sempat beristirahat! ˜Tetapi kuda-kuda kita baru saja beristirahat di kedai itu! Ki Reksabawa tersenyum, katanya ˜Kau nampaknya masih mendendam! ˜Mereka berniat membunuh kita, benar-benar membunuh, kenapa kita masih harus berbaik hati?! ˜Jika kita membunuh mereka semuanya, kita akan tertahan lebih lama lagi, karena kita harus menguburkan mereka, tetapi jika masih ada yang hidup diantara mereka, biarlah mereka mengubur kawan-kawannya yang telah kau bunuh itu! Ki Jayataruna tidak menjawab, tetapi sikapnya memang berbeda dengan sikap Ki Reksabawa, bahkan kemudian Ki Jayatarunapun bergumam ˜Kali ini sikap kita juga berbeda! ˜Bukankah tidak ada salahnya kita berbeda sikap?, asal kita menyadarinya serta menanggapinya dengan dewasa! ˜Ya.! Ki Jayataruna mengangguk-angguk, Kedua orang berkuda itu masih saja mamacu kudanya, semakin lama semakin dalam mamasuki tlatah Pucang Kembar. Tetapi ketika mereka hampir sampai di depan pintu gerbang Kadipaten Pucang Kembar, langit sudah menjadi suram. ˜Apakah mungkin kita menghadap Kangjeng Adipati sekarang, kakang?! ˜Agaknya memang tidak, adi Tumenggung, tetapi meskipun demikian, kita akan mencobanya! Beberapa saat kemudian, keduanya telah berhenti di depan pintu gerbang dalem Kadipaten, ketika mereka menyampaikan niat mereka untuk menghadap Kangjeng Adipati kepada prajurit yang bertugas, maka lurah prajurit itupun berkata ˜Kami tidak tahu, apakah Kangjeng Adipati berkenan menerima tamu pada saat seperti ini, biarlah aku sampaikan permohonan Ki Tumenggung berdua kepada Ki Tumenggung Prangwandawa, Narpacundaka yang bertugas saat ini! ˜Terima kasihn Ki Lurah! ˜Kami persilahkan Ki Tumenggung berdua menunggu! Lurah prajurit itupun menemui Ki Tumenggung Prangwandawa untuk menyampaikan permohonan kedua orang Tumenggung dari Sendang Arum untuk menghadap Kangjeng Adipati Jayanegara dari Pucang Kembar. ˜Dari Sendang Arum.?! bertanya Ki Tumenggung Prangwandawa. ˜Ya, Ki Tumenggung! ˜Baiklah, aku akan menyampaikannyan kepada Kangjeng Adipati, apakah Kangjeng Adipati dapat menerimanya sekarang atau tidak, nampaknya Kangjeng Adipati masih ingin istirahat bersama keluarganya! Ki lurah itupun kemudian menunggu Ki Tumenggung Prangwandawa yang akan menyampikan permohonan dua orang Tumenggung dari Sendang Arum untuk menghadap. ˜Apakah keperluan mereka?! bertanya Kangjeng Adipati ketika Ki Tumenggung Prangwandawa menyampaikan permohonan itu. ˜Hamba belum sempat menemui mereka Kangjeng! ˜Mereka baru saja datang dari Sendang Arum?! ˜Ya.! ˜Baiklah, siapkan sebuah bilik pengianapan bagi mereka, setelah mandi dan berbenah diri, aku akan menerima mereka! ˜Malam ini Kangjeng?! ˜Ya.., Justru untuk kawan berbincang setelah makan malam, aku minta Ki Tumenggung Prangwandawa ikut menemui mereka! ˜Hamba Kangjeng! ˜Sekarang, temui mereka dan persilahkan mereka beristirahat sebentar, bahkan untuk mandi dan berbenah diri. Dengan demikian, setelah mereka mendapatkan kesegarannya kembali, kita dapat berbincang dengan tubuh yang segar hati yang terang! ˜Apakah Kangjeng berniat untuk makan malam bersama para tamu dari Sendang Arum?! ˜Tidak, persilahkan mereka makan di geladri, Bukan aku tidak mau makan bersama mereka, tetapi justru mereka akan merasa segan, sehingga mereka akan kehilangan selera. Ki Tumenggung sajalah menemui mereka makan malam, setelah itu, aku akan menerima mereka di serambi! ˜Hamba Kangjeng! Sejenak kemudian, maka Ki Tumenggung Prangwandawa itu telah menemui Ki Tumenggung Reksabawa dan Ki Tumenggung Jayataruna yang menunggunya di gardu para prajurit yang bertugas, sementara seorang abdi telah menyiapkan sebuah bilik bagi mereka berdua, di gandok sebelah kanan dalem Kadipaten Pucang kembar. ˜Silahkan kakang Tumenggung berdua beristirahat lebih dahulu, mandi dan berbenah diri, gandok sebelah kanan sudah dibersihkan, bukankah kakang Tumenggung berdua akan bermalam disini! ˜Jika diperkenankan adi Tumenggung! ˜Tentu, dengan demikian pertemuan kakang berdua dengan Kangjeng Adipati tidak dalam suasana tergesa-gesa! ˜Terima kasih Adi! ˜Setelah mandi dan berbenah diri, maka kakang Tumenggung berdua akan menjadi segar kembali. Hati kakang berdua juga akan menjadi terang! Demikianlah, maka Ki Tumenggung Prangwandawa itupun telah mengantarkan kedua orang tamunya ke gandok. Seorang prajurit membawa mereka kuda dua orang Tumenggung dari Sendang Arum itu ke belakang dan diserahkan kepada abdi yang mengurus kuda Kangjeng Adipati. Malam itu setelah mandi, berbenah diri dan makan bersama Ki Tumenggung Prangwandawa, Ki Tumenggung Ki Reksabawa dan Ki Tumenggung Jayataruna telah dipersilahkan pergi ke serambi. ˜Marilah kakang, Kangjeng Adipati akan menerima kakang berdua, di serambi setelah Kangjeng Adipati makan malam! ˜Terima kasih, adi Tumenggung! Diantar oleh Ki Tumenggung Prangwandawa, keduanyapun kemudian telah berada di serambi, mereka masih harus menunggu Kangjeng Adipati yang masih berada di serambi itu. ˜Silahkan duduk dahulu, kakang berdua, aku akan menghadap Kangjeng Adipati! ˜Silahkan Adi! Ketika Kemudian Ki Tumenggung Prangwandawa masuk ke ruang dalam untuk menyampaikan kepada Kangjeng Adipati, bahwa kedua orang tamu dari Sendang Arum sudah menunggu di serambi, maka Ki Tumenggung Ki Reksabawapun berkata ˜Adi Jayataruna, aku minta nanti Adi sajalah yang menyampaikan persoalannya kepada Kangjeng Adipati! ˜Ah. Bukan begitu kakang, bukankah kakang lebih tua dari aku, bukan hanya umurnya, tetapi juga kedudukan kakang?! ˜Tetapi adilah yang memahami masalahnya, aku takut kalau apa yang aku katakan nanti, aku bumbui dengan sikap pribadiku terhadap Raden Tumenggung Reksayuda! ˜Bagaiman sebenarnya sikap kakang terhadap Raden Tumenggung Wreda itu?! ˜Aku menganggap bahwa belum saatnya Raden Tumenggung itu diperkenankan kembali ke Sendang Arum, kakang Adipati di Sendang Arum belum pernah dengan bersungguh-sungguh meneliti sikap jiwa Raden Tumeggung Wreda Reksayuda. Perasaan iri itu, apa benar-benar sudah dapat disingkirkan dari hati Raden Tumenggung, apalagi bahwa Raden Tumenggung itu merasa berhak untuk menduduki jabatan tertinggi di Sendang Arum, Raden Tumenggung Wreda tentu menganggap bahwa hak itu tidak akan terhapus oleh keadaan apapun, bahkan setelah ia di singkirkan dari Sendang Arum untuk waktulima tahun! ˜Karena itu, kakang tidak setuju jika Raden Tumenggung itu diberi pengampunan dan mendapat kesempatan untuk kembali ke Sendang Arum.! ˜Ya.! ˜Dengan demikian, maka Raden Ayu Reksayuda itu akan tetap menjadi janda, atau setidak-tidaknya seperti seorang janda! ˜Apa maksudmu adi..?! ˜Maaf, kakang, aku tidak bermaksud apa-apa! Pembicaraan mereka terhenti, Ki Tumenggung Prangwandawapun memasuki serambi itu, sambil duduk di sebelah Ki Reksabawa, iapun berkata ˜Sebentar lagi, Kakang Adipati akan hadir di serambi ini! ˜Terima kasih adi Tumenggung! desis Ki Reksabawa, lalu katanya kepada Ki Jayataruna ˜Adi sajalah yang menyampaikan masalahnya! Ki Jayatarunapun tersenyum sambil mengangguk ˜Baik, Kakang! Sejenak kemudian, maka Kangjeng Adipatipun telah memasuki serambi, sambil tersenyum Kangjeng Adipati berkata ˜Selamat datang di Pucang Kembar kakang Tumenggung berdua! ˜Terima kasih atas perkenan Kangjeng Adipati menerima kami berdua! Ki Jayatarunalah yang menjawab ˜Apakah Ki Tumenggung sudah sempat beristirahat serta berbenah diri?! ˜Sudah Kangjeng, kami sudah sempat mandi dan berbenah diri dan bahkan makan malam di Kadipaten Pucang Kembar, sekali lagi kami mengucapkan terima kasih! ˜Tentu terlalu sederhana dibandingkan dengan Kadipaten Sendang Arum! ˜Tidak, Kangjeng, kami mendapatkan segala-galanya jauh lebih baik dari apa yang ada di Sendang Arum! Kangjeng Adipati tertawa. ˜Ki Tumenggung berdua! berkata Kangjeng Adipati kemudian, ˜Jika kalian sempat beristirahat, maka sekarang kita dapat berbincang-bincang dengan leluasa, tidak tergesa-gesa dan hati kitapun tidak lagi buram karena tubuh yang letih! ˜Kami sudah menjadi segar kembali, Kangjeng! ˜Nah, sekarang katakan keperluan Ki Tumenggung berdua! ˜Ampun Kangjeng Adipati, Kami berdua menghadap Kangjeng Adipati Jayanegara di Pucang Kembar atas perintah Kangjeng Adipati di Sendang Arum. Pertama untuk menyampaikan salam taklim Kangjeng Adipati Sendang Arum kepada Kangjeng Adipati Jayanegara di Pucang Kembar! ˜Aku terima dengan senang hati, Ki Tumenggung, jika besok Ki Tumenggung berdua kembali ke Sendang Arum dan menghadap Kangjeng Adipati, sampaikan salam taklimku pula! ˜Hamba Kangjeng Adipati! jawab Ki Jayataruna pula! ˜Selanjutnya, pokok persoalan yang harus kami sampaikan kepada Kangjeng Adipati adalah persoalan yang menyangkut Raden Tumenggung Wreda Reksayuda yang sekarang berada di Kadipaten Pucang Kembar! ˜Kenapa dengan kakangmas Tumenggung Reksayuda?, apakah Kangjeng Adipati di Sendang Arum akan mengambil langkah-langkah tertentu terhadap kakangmas Tumenggung Reksayuda?! Ki Jayatarunapun kemudian menyampaikan persoalan yang sesungguhnya sedang menjadi bahan pembicaraan di Sendang Arum, Raden Ayu Reksayyuda mohon pengampunan bagi suaminya agar diperkenankan kembali ke Sendang Arum, pulang dan menjadi satu lagi dengan keluarganya. ˜Ketika Raden Tumenggung Wreda Reksayuda menerima hukuman, dibuang dari tlatah Kadipaten Sendang Arum, Raden Tumenggung masih pengantin baru, sehingga kepergian Raden Tumenggung itu membuat hati Raden Ayu menjadi sangat bersedih, baru saja mereka memasuki jenjang perkawinan, merekapun segera dipisahkan dengan paksa oleh Kangjeng Adipati di Sendang Arum! Namun tiba-tiba saja Ki Reksabawa menyela, ˜Maaf adi Tumenggung Ki Jayataruna, yang memisahkan Raden Tumenggung Reksayuda dari isteri mudanya itu bukan Kangjeng Adipati Wirakusuma, tetapi yang memisahkan mereka adalah tatanan dan paugeran di Sendang Arum, jika itu terjadi adalah karena tingkah Raden Tumenggung Wreda Reksayuda sendiri! Kangjeng Adipati Jayanegara tertawa, katanya ˜Ya...ya..., Ki Tumenggung Reksabawa benar, jika kakang mas Tumenggung Reksayuda tidak bertingkah, maka ia tidak akan dikenakan hukuman berdasarkan atas tatanan dan paugeran yang berlaku di Sendang Arum! Ki Tumenggung Jayatarunapun mengangguk-angguk hormat sambil berkata ˜Hamba Kangjeng Adipati, kakang Tumenggung Reksabawa benar! ˜Karena perbuatannya yang dapat mengguncang ketenangan hidup di Sendang Arum, karena niat kakangmas Tumenggung Reksayuda untuk menyingkirkan Kangjeng Adipati Wirakusuma, maka kakangmas Tumenggung Wreda Reksayuda harus disingkirkan dari Sendang Arum! ˜Ya, Kangjeng Adipati! ˜Nah, Sekarang bagaimana Ki Tumenggung?, Bagaimana pendapat Kangjeng Adipati di Sendang Arum tentang permohonan ampun dari Raden Ayu Reksayuda itu?! ˜Kangjeng, kami berdua diutus oleh Kangjeng Adipati Wirakusuma untuk minta pertimbangan Kangjeng Adipati Jayanegara, karena selama ini Raden Tumenggung Reksayuda berada di Kadipaten Pucang Kembar, maka pendapat Kangjeng Adipati di Pucang Kembar akan sangat menentukan! Kangjeng Adipati Jayanegara itu mengangguk-angguk, katanya ˜Ya, Selama ini kakangmas Reksayuda memang berada di Pucang Kembar, beberapa kali aku sendiri telah menemuinya di tempat tinggalnya yang kami sediakan disini! ˜Bagaimana menurut pendapat Kangjeng Adipati?! Kangjeng Adipati itu tersenyum, katanya ˜Satu batu ujian yang sulit, jika aku memberikan jawaban, tetapi ternyata aku keliru, maka Kangjeng Adipati di Sendang Arum akan mengurangi nilai kepemimpinanku! ˜Hamba kira Kangjeng Adipati akan cukup bijaksana, persoalannya akan ditinjau dari berbagai sisi, termasuk sisi kemanusiaan, Raden Ayu Reksayuda selama ini merasa tersiksa! Kangjeng Adipati Jayanegara tertawa, katanya ˜Kangmbok Reksayuda masih terlalu muda untuk ditinggal sendiri! Ki Jayataruna mengangguk sambil menjawab ˜Hamba Kangjeng Adipati! ˜Ki Tumenggung Jayataruna, menurut pendapatku, kakangmas Tumenggung Wreda Reksayuda sudah menjadi semakin tua. Apalagi setelah ia berada disini, dipisahkan dari keluarganya, ia tidak lagi mempunyai keinginan apapun selain diperkenankan pulang, Kakangmas Reksayuda ingin mati di Kadipaten Sendang Arum, ditunggui oleh isterinya yang masih muda itu serta putera satu-satunya! ˜Apakah Raden Tumenggung tidak pernah berbicara tentang kedudukan Kangjeng Adipati Wirakusuma yang menurut Raden Tumenggung Reksayuda, kedudukan itu sebenarnya adalah haknya! Kangjeng Adipati Jayanegara menggeleng sambil menjawab ˜Kakangmas Reksayuda sudah melupakannya, tidak ada lagi gegayuhan yang ingin dicapainya! ˜Jadi bagaimana menurut Kangjeng Adipati, seandainya kepada Raden Tumenggung Wreda Reksayuda diberikan pengampunan dan diberi kesempatan untuk kembali ke Sendang Arum meskipun hukumannya baru separuh dijalani! ˜Aku, sekali lagi tidak berkeberatan Ki Tumenggung! ˜Ampun Kangjeng Adipati! Ki Reksabawa yang lebih banyak berdiam diri itu bertanya ˜Jika Kangjeng Adipati sependepat, bahwa Raden Reksayuda diberi pengampunan dan diperkenankan kembali ke Sendang Arum, pada dasarnya supaya Raden Tumenggung itu tidak lebih lama lagi menggerogoti bumi Pucang Kembar, atau karena pertimbangan yang sejujurnya, bahwa Raden Tumenggung benar-benar sudah tidak berbahaya lagi Kangjeng Adipati Wirakusuma! Kangjeng Adipati mengerutkan dahinya, namun Kangjeng Adipati itupun kemudian tertawa sambil berkata ˜Pertanyaan yang menggelitik, Ki Tumenggung, tetapi aku tidak tersinggung meskipun pada dasarnya Ki Tumenggung bertanya, apakah aku menjawab dengan jujur atau tidak. Kecurigaan seperti itu wajar sekali. Tetapi tolong, perhatikan Ki Tumenggung Ki Reksabawa. Aku tidak mempunyai kepentingan apa-apa dengan Kangjeng Tumenggung Reksayuda. Apakah ia akan pulang atau tidak. Disini kangmas Tumenggung juga tidak akan menghabiskan hasil panenan para petani di Pucang Kembar, tidak pula membuat tanah menjadi sangar. Sedangkan kalau kakangmas Tumenggung Reksayuda kembali ke Sendang Arum, aku juga tidak mendapatkan keuntungan apa-apa, karena itu, biarlah Kangjeng Adipati Wirakusuma mengambil keputusan. Tetapi jika Ki Tumenggung bertanya kepadaku, maka aku akan menjawab sebagaimana aku katakan. Kangmas Tumenggung Reksayuda tidak lagi mempunyai gegayuhan apa-apa. Hati dan kepalanya sudah kosong, dalam waktu dua tahun lebih, perasaan dan penalarannya sudah mengering! ˜Perasaannya.?! bertanya Ki Jayataruna ˜Maksudku dalam hubungannya dengan gegayuhan yang pernah ingin dicapainya, tentu saja bukan perasaannya sebagai seorang yang rindu kepada sesuatu, Tanah kelahiran, isterinya, anaknya dan lingkungan kecilnya! Ki Jayataruna mengangguk-angguk, namun Ki Jayataruna itu masih bertanya kepada Ki Reksabawa ˜Masih ada yang ingin kakang tanyakan?! Ki Reksabawa menggeleng, katanya ˜Tidak, di..! ˜Mumpung masih belum terlalu malam! berkata Kangjeng Adipati ˜Aku juga sulit tidur sebelum lewat tengah malam. Jika Ki Tumenggung berdua masih ingin menemani aku berbincang, aku akan senang sekali! ˜Ampun Kangjeng Adipati, keperluan kami sebagai utusan Kangjeng Adipati Wirakusuma telah selesai, tetapi jika kami masih diperkenankan duduk disini, maka dengan senang hati kami melakukannya. Namun Kangjeng Adipati itupun tersenyum sambil berkata ˜Kakang berdua tentu letih setelah sehari-harian menempuh perjalanan panjang. Karena itu, sebaiknya Ki Tumenggung berdua beristirahat di tempat yang sudah disediakan. Ki Tumenggung perlu menghimpun tenaga kembali bagi perjalanan pulang ke Sendang Arum.! ˜Terima kasih Kangjeng! ˜Ki Tumenggung Prangwandawa! ˜Hamba Kangjeng! ˜Antarkan keduanya kembali ke bilik yang sudah disediakan. Biarlah Ki Tumenggung berdia beristirahat! ˜Hamba Kangjeng! Ki Reksabawa dan Ki Jayataruna dan kemudian meninggalkan serambi samping diantar oleh Ki Tumenggung Prangwandawa Kembali ke bilik mereka. Ketika mereka sampai di serambi gandok, maka Ki Jayatarunapun menyelinap sebentar sambil berdesis ˜Aku akan pergi ke pakiwan! Namun saat itu agaknya merupakan saat yang baik bagi Ki Reksabawa untuk bertanya kepada Ki Prangwandawa ˜Apakah Ki Tumenggung pernah bertemu dengan Raden Tumenggung Wreda Reksayuda selama ia berada di Pucang Kembar?! ˜Pernah, meskipun tidak terlalu sering! ˜Bagaimana pendapat Ki Tumenggung tentang Raden Tumenggung Reksayuda itu?! Ki Prangawandawa menarik nafas panjang ˜Apakah benar apa yang dikatakan oleh Kangjeng Adipati?! ˜Ya.. Dihadapan Kangjeng Adipati! ˜Maksud Ki Tumenggung?! Ki Prangwandawa itu termangu-mangu sejenak, namun katanya kemudian ˜jangan kakang katakan kepada siapapun juga, aku hanya memberikan petikan sikap Raden Tumenggung agar kakang Tumenggung Reksawaba mengetahuinya. Seandainya hal ini kakang katakan kepada Kangjeng Adipati Wirakusuma, jangan sebut namaku! ˜Baik! ˜Meskipun sudah tua dan mungkin wadagnya sudah menjadi semakin lemah, tetapi setiap kali, Raden Reksayuda masih berbicara tentang haknya, Kangjeng Adipati Jayanegara tidak pernah mendengarnya, tetapi aku pernah mendengar sendiri ketika aku diutus oleh Kangjeng Adipati menemuinya! ˜Untuk apa adi Prangwandawa menemuinya?! ˜Sekedar untuk melihat kesehatannya, soerang abdi mengatakan bahwa Raden Reksayuda itu sakit! ˜Jadi menurut adi?! ˜Terus terang kakang Ki Reksabawa, aku masih meragukan keikhlasan Raden Tumenggung Reksayuda! Ki Reksabawa mengangguk-angguk, Iapun kemudian bergumam ˜Berbeda dengan adi Jayataruna, yang agaknya yakin, bahwa Raden Tumenggung itu tidak berbahaya lagi, bagaimana jika adi Prangwandawa memberikan kesan kepada adi Jayataruna! ˜Sebaiknya tidak usah saja kakang, Kangjeng Adipati sudah memberikan pendapatnya, jika ada pendapat yang lain, akan dapat timbul masalah, Bahkan mungkin, Kangjeng Adipati akan marah kepadaku, seakan-akan aku telah membantah keterangan Kangjeng Adipati Jayanegara! ˜Adi, apakah mungkin kira-kira kami berdua diijinkan menemui Raden Reksayuda?! ˜Itu tergantung kepada Kangjeng Adipati! ˜Tolong di, jika adi nanti menghadap Kangjeng Adipati lagi, sampaikan permohonanku untuk bertemu dengan Raden Reksayuda! ˜Aku akan menyampaikannya Kakang, Tetapi aku tidak yakin, bahwa Kangjeng Adipati akan mengijinkannya! ˜Akupun tidak yakin, bahwa adi Jayataruna akan bersedia singgah barang sebentar! Sejenak kemudian, maka Ki Jayataruna telah kembali. Ketika melihat Ki Prangwandawa masih berada di serambi gandok, maka iapun bertanya ˜Adi Prangwandawa belum mengantuk?! ˜Belum kakang, hari ini aku tidak seletih kakang berdua! ˜Ya., kami memang agak letih hari ini! ˜Nah, silahkan beristirahat, aku akan kembali ke serambi! ˜Silahkan adi Prangwandawa, tetapi apakah kita besok dapat menemui Raden Reksayuda?! sahut Ki Reksabawa. Namun Ki Jayataruna dengan cepat menyahut ˜Apakah kita harus singgah menemui Raden Reksayuda?! ˜Bukankah itu lebih baik, adi, Sehingga hasil perjalanan kita lebih lengkap! ˜Aku kira tidak perlu, kakang. Besok kita langsung saja singgah di Kadipaten untuk minta diri. Seandainya kita ingin bertemu dengan Raden Reksayuda, Kangjeng Adipati juga belum tentu memberikan ijinnya! Ki Reksabawa termangu-mangu sejenak, namun kemudian dengan ragu-ragu iapun berkata ˜Seandainya Kangjeng Adipati mengjinkan?! ˜Tentu, Kita tidak akan diijinkan! Ki Reksabawa menarik nafas panjang, katanya ˜Baiklah, aku juga mengira, bahwa Kangjeng Adipati tidak akan memberikan ijinnya! ˜Nah, selamat malam adi Prangwandawa! berkata Ki Jayataruna kemudian. Ki Prangwandawapun kemudian menginggalkan kedua orang tamunya di gandok, Ki Reksabawa dan Ki Jayataruna memang letih sehingga merekapun segera merasa mengantuk. Karena itu, maka sejenak kemudian keduanya telah membaringkan dirinya. Dalam pada itu, Ki Prangwandawa telah berada di serambi merenungi keberadaan kedua orang Tumenggung dari Sendang Arum itu. ˜Ampun Kangjeng! berkata Ki Prangwandawa ˜Ada niat Ki Tumenggung Reksabawa untuk bertemu langsung dengan Raden Reksayuda! ˜He.!, Kau pertemukan mereka dengan kakangmas Tumenggung?! ˜Tidak, Kangjeng, Ki Tumenggung Reksabawa baru menjajagi kemingkinannya jika diijinkan! ˜Tidak.!, aku tidak mengijinkannya.! ˜Ki Tumenggung Reksabawa sendiri sudah menduga, bahwa ia tidak akan diijinkan! ˜Bukan karena ada rahasia yang meliputi hubunganku dengan kakangmas Tumenggung Reksayuda, tetapi saat ini kakangmas Tumenggung masih orang buangan. Karena itu aku wenang untuk memagarinya agar tidak banyak bertemu dengan siapapun dari luar rumah yang kita sediakan baginya, ada banyak keberatannya, sehingga karena itu aku tidak akan mengijinkannya untuk bertemu. ˜Hamba Kangjeng! ˜Katakan kepadanya, bahwa aku keberatan! ˜Ia memang sudah menduga, sehingga jika aku tidak dating lagi kepadanya, ia tahu bahwa ia tidak diijinkan untuk bertemu dengan Raden Tumenggung! ˜Jika Kemudian, baiklah sekarang kau sendiri juga perlu istirahat! ˜Kangjeng Sendiri.?! ˜Biarlah aku seorang diri disini! ˜Ampun Kangjeng, biarlah hamba disini bersama Kangjeng! ˜Aku tidak apa-apa, Ki Tumenggung, jangan risaukan aku! ˜Ampun Kangjeng, jika saja hamba diperkenankan untuk mengatakan sesuatu! ˜Apa yang akan kau katakan Ki Tumenggung.?! ˜Pada saat-saat terakhir, hamba melihat perubahan pada diri Kangjeng, Kangjeng menjadi lebih banyak menyendiri. Merenung dan kadang-kadang sikap Kangjeng Adipati sulit di mengerti! Kangjeng Adipati menarik nafas panjang, Sementara Ki Tumenggung berkata selanjutnya ˜Hamba mohon ampun, Kangjeng Adipati. Jika hamba menyampaikan tanggapan hamba terhadap sikap Kangjeng Adipati, semata-mata karena kesetiaan hamba kepada Kangjeng Adipati! Kangjeng Adipati menarik nafas panjang kembali, hampir diluar sadarnya iapun berkata ˜Aku tidak apa-apa, Ki Tumenggung! ˜Jika demikian, sekarang malam telah larut, Hamba kira, bahkan sudah lewat waktunya bagi Kangjeng untuk tidur! ˜Ya., aku akan tidur! Kangjeng Adipati itupun kemudian bagkit berdiri. Tetapi pandangan matanya nampak kosong dan bahkan sama sekali tidak ada tanda-tandanya, bahwa Kangjeng Adipati sudah mengantuk ˜Apa yang sebenarnya yang dipikirkannya?! bertanya Ki Tumenggung Prangwandawa didalam hatinya. ˜Persoalan Raden Reksayuda sebenarnya bukan persoalan yang perlu dipikirkan terlalu dalam. Persoalan Raden Reksayuda adalah persoalan Kadipaten Sendang Arum. Pucang Kembar hanya memberikan ijin bagi Raden Reksayuda untuk tinggal berdasarkan berbagai macam pertimbangan. Jika kemudian Raden Reksayuda itu diperkenankan pulang kembali ke Sendang Arum, bukankah tidak ada masalah bagi Pucang Kembar?! ˜Tentu bukan karena Raden Reksayuda! Ki Tumenggung Prangwandawa menarik nafas panjang. Dalam pada itu, Ki Prangwandawapun segera meninggalkan serambi, seorang abdi yang terkantuk-kantuk dipanggilnya untun meyelarak pintu serambi itu dari dalam. ˜Ki Tumenggung akan pergi kemana?! ˜Tidur! ˜Ki Tumenggung masih bertugas malam ini?! ˜Ya sampai besok sore, nah, selarak pintu jangan tidur! ˜Baik, Ki Tumenggung! Dalam pada itu, dipembaringannya, Kangjeng Adipati memang tidak segera dapat tidur, ada sesuatu yang bermain di angan-anganya. Berbeda denan Kangjeng Adipati, Ki Tumenggung Prangwandawa demikian masuk ke dalam biliknya di gandok sebelah kiri, melepas kerisnya, ikat kepalanya dan kelengkapan-kelengkapan lain, lalu merebahkan dirinnya, maka sebentar saja ia sudah tidur dengan nyenyaknya. Di gandok sebelah, Ki Reksabawa yang letihpun telah tertidur, tetapi Ki Jayataruna mash nampak gelisah, sekali-sekali ia tidur terlentang, namun kemudian miring ke kiri, sebentar miring ke kanan. Sekali-sekali dengan sengaja Ki Jayataruna mengguncang pembaringannya, sehingga amben kayu itu berderik, tetapi Ki Reksabawa tidak terbangun. ˜Kakang Reksabawa itu seperti orang mati saja! desisnya. Baru dini hari Ki Jayataruna sempat tidur. Pagi-pagi sekali mereka berdua sudah bangun, keduanyapun segera mempersiapkan diri, pagi itu juga mereka akan pulang ke Sendang Arum. Bab 3 Ki Tumenggung Prangwandawa ternyata juga bangun pagi-pagi sekali, Ia tahu bahwa kedua orang Tumenggung dari Sendang Arum itu akan minta diri. ˜Jika Kangjeng Adipati belum bangun, maka biarlah aku saja yang melepas mereka! Berkata Ki Prangwandawa di dalam hatinya. Tetapi ternyata bahwa Kangjeng Adipati juga sudah bangun pagi-pagi sekali. Bahkan Kangjeng Adipati sudah mandi dan berbenah diri. Karena itu ketika kedua orang Tumenggung itu akan minta diri, Kangjeng Adipati sudah siap menerima mereka. Ketika hari masih pagi menjelang matahari terbit, kedua orang Tumenggung itu sudah meninggalkan Kadipaten Pucang Kembar. Kuda-kuda mereka berlari kencang di jalan-jalan yang masih sepi. ˜Kita akan memilih jalan lain! berkata Ki Tumenggung Reksabawa. ˜Kenapa..?, Apakah kakang cemas bahwa para penyamun itu akan menghadang kita lagi?, aku justru masih ingin bertemu mereka dan kawan-kawan mereka. Lebih banyak lagi! ˜Aku tidak takut bahwa kita akan dicegat oleh para penyamun itu lagi, adi. Bahkan yang jumlahnya lebih besar. Yang aku takutkan justru adi Tumenggung akan membunuh banyak orang! ˜He..!! Ki Jayataruna mengerutkan dahinya, namun terdengar Ki Jayataruna itu tertawa berkepanjangan. ˜Bukankah kita prajurut, kakang! ˜Prajurit tidak sejalan dengan perngertian seorang pembunuh, bukan sebaliknya! ˜Aku tahu, tetapi jika tidak aku membunuh penyamun, bukankah itu berarti bahwa aku telah melindungi orang-orang yang tidak berdaya menghadapi mereka?! ˜Aku sependapat, tetapi cara adi membunuh membuat kulitku meremang! Ki Jayataruna masih saja tertawa, katanya ˜Baiklah, aku tidak akan membantah, kita akan mengambil jalan lain. Namun mudah-mudahan kita bertemu lagi dengan sekelompok penyamun di bulak-bulak panjang yang sepi atau di padang perdu atau di pinggir hutan! Ki Reksabawa tidak menyahut, namun kuda mereka berlari semakin kencang di jalan-jalan yang seakan-akan tidak pernah dilalui orang. Lengang. Tetapi kedua orang Tumenggung itu tidak dapat menjumpai sekelompok penyamun, yang mereka lihat adalah beberapa perempuan yang sibuk matun di sawah yang nampaknya subur. Padi yang sedang tumbuh, terhampar seperti lautan yang hijau, angin pagi telah mengalunkan gelombang-gelombang kecil pada daun padi yang lebat. Ketika matahari memanjat langit, terasa sinarnya menyentuh wajah. Adalah kebetulan keduanya sedang menempuh perjalanan ke arah timur. Perjalanan mereka tidak terhambat sebagaimana saat mereka berangkat. Ketika mereka berhenti di sebuah kedai untuk memberi kesempatan kuda-kuda mereka beristirahat serta mendapat makan dan minum dari soerang petugas di kedai itu, keduanya sempat minum dan makan pula. Tidak ada persoalan yang timbul di kedai itu. Tidak ada orang-orang yang berwajah gelap dengan luka menyilang di pelipisnya yang memperhatikan kehadiran mereka di kedai itu. Dengan demikian maka perjalanan kembali dari Pucang Kembar itu teryata lebih cepat dari perjalanan mereka pada saat mereka berangkat, disore hari, ketika matahari sudah nampak terapung dilangit mereka sudah mendekati Kadipaten Sendang Arum. ˜Kakang Reksabawa! bertanya Ki Jayataruna ˜Apakah kita akan langsung menghadap Kangjeng Adipati, atau kita pulang dahulu, mandi dan berbenah diri baru kemudian kita bersama-sama menghadap?! Ki Reksabawa termangu-mangu sejenak, namun kemudian katanya ˜Bagaimana pendapat adi, jika kita langsung saja menghadap? Tugas kita tuntas. Kangjeng Adipati merasa betapa kita mandahulukan penyelesaian tugas kita! ˜Baiklah, kita langsung pergi ke dalem Kadipaten, kecuali jika Kangjeng Adipati memerintahkan lain! Keduanyapun langsung menuju ke dalem Kadipaten. Oleh Prajurit yang bertugas, merekapun segera dipersilahkan langsung mohon menghadap jika Kangjeng Adipati berkenan. Seorang abdi telah memberitahukan kedatangan Reksawabawa dan Jayataruna kepada Kangjeng Adipati. ˜Biarlah mereka menunggu sejenak di serambi! berkata Kangjeng Adipati. Kedua orang Tumenggung itupun duduk menunggu di serambi sementara Kangjeng Adipati berbenah diri. ˜Siapa yang menghadap di sore hari seperti ini, ayahanda?! bertanya Raden Ajeng Ririswari. ˜Kakang Tumenggung Reksabawa dan Kakang Tumenggung Jayataruna! jawab Kangjeng Adipati. ˜Mereka baru pulang dari Pucang Kembar?! Kangjeng Adipati termangu-mangu sejenak. Namun kemudian sambil mengangguk ia pun menjawab ˜Ya.Riris, keduanya baru pulang dari Pucang Kembar! ˜Apakah keduanya menjemput uwa Tumenggung Reksayuda?! ˜Belum Riris, keduanya baru menjajaki kemungkinan, apakah uwakmu itu akan diperkenankan pulang atau tidak! Ririswari tidak menyahut lagi. Gadis itupun kemudian beringsut dan duduk di ruang dalam menghadapi dakon, jari-jarinya yang lentik bermain dengan kelungsu yang ada di dakonnya. Sejenak kemudian, Kangjeng Adipati Wirakusuma telah duduk di serambi, dhadap oleh kedua orang Tumenggung yang baru saja datang dari Pucang Kembar itu. ˜Kalian baru datang dari Pucang Kembar langsung kemari?! bertanya Kangjeng Adipati. ˜Hamba Kangjeng, hamba tidak ingin ada persoalan yang terlupakan jika kami berdua tidak langsung menghadap! Kangjeng Adipati tersenyum, katanya ˜Persoalannya tidak begitu rumit, tentu tidak ada masalah yang terlupakan seandainya kakang Tumenggung berdua singgah dahulu di rumah kalian. Bahkan seandainya besok pagi sekalipun. ˜Hamba Kangjeng Adipati, tetapi dengan demikian tugas kamipun segera tuntas! ˜Terima kasih atas kesungguhan kalian! Kangjeng Adipatipun mengangguk-angguk. Lalu dengan nada dalam Kangjeng Adipati itu berkata ˜Jika nafas kalian sudah mulai teratur kembali, nah, katakan hasil pembicaraan kalian dengan Kangjeng Adipati Jayanegara. Ki Jayatarunapun berpaling kepada Ki Reksabawa, namun Ki Reksabawa itu berdesis ˜Silahkan di! Ki Jayatarunapun menarik nafas panjang, namun Kemudian Ki Jayatarunalah yang memberikan laporan perjalanan ke Pucang Kembar. Kangjeng Adipati memeng tidak begitu menghiraukan siapakah yang akan memberikan laporan, karena itu, maka Kangjeng Adipati tidak menaruh perhatian, Kenapa justru Ki Tumenggung yang mudalah yang memberikan laporan itu. ˜Demikianlah, Kangjeng Adipati, Kangjeng Adipati Jayanegara tidak mempunyai keberatan apa-apa jika Raden Tumenggung Reksayuda di ijinkan pulang ke Sendang Arum! Kangjeng Adipati Wirakusuma menarik nafas panjang, sementara itu Ki Reksabawapun berkata ˜Kangjeng Adipati, hamba sudah mencoba untuk mohon ijin, agar hamba berdua diperkenankan bertemu dengan Raden Tumenggung Wreda, tetapi kami tidak mendapat ijin itu, Kangjeng Adipati! ˜Apakah Kangjeng Adipati Jayanegara menyatakan bahwa kita tidak diijinkan bertemu dengan Raden Tumenggung Wreda?! Ki Jayataruna justru bertanya. ˜Semalam Ki Tumenggung Prangwandawa tidak menemui kita lagi, itu berarti bahwa permohonan kita ditolak! ˜Tetapi itu wajar sekali! desis Ki Jayataruna ˜Sebenarnya jika kalian dapat bertemu dengan kakangmas Tumenggung Wreda Reksayuda, tentu akan lebih baik, karena kalian dapat langsung menjajaki isi hatinya! ˜Tetapi keterangan Kangjeng Adipati Jayanegara sudah cukup jelas, Kangjeng! ˜Ya.! ˜Selanjutnya segala sesuatunya terserah kepada Kangjeng Adipati! ˜Baiklah, aku sudah mendengar laporan kalian, aku akan membuat pertimbangan-pertimbangan yang akan aku timbang dari segala segi! ˜Kami hanya tinggal menunggu Kangjeng! ˜Ya.Kalian tinggal menunggu! Kedua Tumenggung yang pakaiannya masih dilekati keringat dan debu itupun segera mohon diri. ˜Baiklah, kakang Tumenggung berdua, Kalian tentu letih, bahkan mungkin haus dan lapar, karena itu, jika kakang berdua akan pulang, membersihkan diri, berganti pakaian dan sebagainya.., silahkan! Demikianlah kedua orang Tumenggu itupun segera meninggalkan dalem kadipaten. Demikianlah Ki Reksabawa sampai di rumah, ia masih nampak gelisah, Nyi Tumenggung yang kemudian menyediakan minuman hangat dan beberapa potong makanan itu melihat kegelisahan pada sikap dan sorot mata Ki Tumenggung. ˜Apakah ada tugas yang tidak terselesaikan, kakang?! bertanya Nyi Tumenggung. ˜Tidak, Nyi, Tugasku kali sudah tuntas, bahkan aku dan adi Jayataruna sudah langsung menghadap Kangjeng Adipati dan melaporkan hasil perjalanan kami ke Pucang Kembar. ˜Lalu apalagi yang kakang gelisahkan?! ˜Aku menjadi gelisah menunggu keputusan Kangjeng Adipati. Sebenarnya aku masih belum dapat menyetujui jika Raden Tumenggung Wreda di beri pengampunan dan pulang ke Sendang Arum. ˜Kenapa?, bukankah semata-mata berdasarkan atas kemanusiaan?! ˜Aku mengerti, Nyi, tetapi aku masih mencemaskan kesungguhan Raden Tumenggung untuk menyingkirkan perasaan iri hatinya terhadap Kangjeng Adipati, jika Raden Tumenggung Wreda itu kelak pulang, bagiku akan timbul persoalan sebagaimana pernah terjadi di Sendang Arum. Perasaan iri itu akan sangat sulit dihapus dari dinding hati Raden Tumenggung Reksayuda.! ˜Kakang hanya berperasangka, bukankah Raden Tumenggung itu sudah tua?! ˜Ingat, Nyi, Ketika Raden Tumenggung itu disingkirkan, ia memang sudah tua, apa arti waktu yang hanya dua tahun atau katakan tiga tahun bagi Raden Tumenggung Reksayuda?! ˜Tetapi keadaannya di pembuangan akan merubah jalan pikirannya, kakang! Ki Reksabawa menarik nafas panjang. Katanya ˜Mudah-mudahan Nyi, tetapi aku tidak yakin, aku justru menjadi curiga, bahwa Raden Tumenggung Reksayuda akan bekerja sama dengan Adipati Jayanegara. Setelah Raden Tumenggung Reksayuda berada kembali di Kadipaten ini, maka ia akan dapat mengatur segala sesuatunya. Sementara itu, dengan diam-diam Kangjeng Adipati Jayanegara telah membantunya! ˜Jika demikian, apa pamrih Kangjeng Adipati Jayanegara?! ˜Pengaruhnya akan menjadi besar sekali di Kadipaten Sendang Arum, jika Raden Tumenggung Reksayuda berhasil menyingkirkan Kangjeng Adipati Wirakusuma, maka Raden Tumenggung Reksayuda akan lebih banyak di kemudikan oleh Kangjeng Adipati Jayanegara, terutama di lingkungan laku dagang! Nyi Tumenggung Reksabawa menerik nafas panjang katanya ˜Jangan terlalu berperasangka, kakang. Tunggu sajalah, apa yang akan terjadi setelah Raden Tumenggung kembali, kakang dapat dengan diam-diam bersama satu dua orang kepercayaan kakang mengamati, apa saja yang dilakukan oleh Raden Tumenggung itu! ˜Aku juga mencurigai Raden Ayu Reksayuda. Nampaknya dia banyak bertingkah, bahkan kadang-kadang tidak pantas dilakukan oleh seorang isteri keluarga Kangjeng Adipati. Kau tentu melihat, bagaimana ia berpakaian dan merias diri, bukankah sangat berlebihan, sementara suaminya tidak ada di rumah?! ˜Nampaknya kakang menaruh perhatian kepadanya?! ˜Bukan begitu, tetapi apa yang nampak pada kewadagan itu sedikit banyak akan dapat membayangkan apa yang terdapat di dalam hatinya! ˜Apakah Raden Ayu yang cantik dan muda itu, kakang menjadi tidak setuju Raden Tumenggung Reksayuda pulang! ˜Nyi, sejak kapan hatimu diracuni oleh perasaan seperti itu! ˜Nyi Tumenggung tertawa, iapun kemudian berdiri di belakang suaminya yang duduk di sebuah tempat duduk kayu berukir yang dipesannya dari tukang kayu terbaik di Sendang Arum. Sambil memijit bahu suaminya, Nyi Tumenggung berkata ˜jangan marah kakang, hanya bergurau! ˜Sekarang kau bergurau, tetapi guraumu dapat menusuk hatimu sendiri! ˜Sudahlah, lupakan saja, aku tahu, kakang masih letih, tetapi kakang juga dibebani oleh perasaan kecewa! ˜Aku tidak tahu, kenapa adi Jayataruna sangat ingin agar Raden Tumenggung Reksayuda diperkenankan kembali ke Sendang Arum. Kecemasanku sulit aku singkirkan, bahwa akan timbul persoalan yang rumit di Kadipaten Sendang Arum.! ˜Sebaiknya kakang tidak usah gelisah sejak sekarang, bukankah Kangjeng Adipati masih belum mengambil keputusan?! ˜Nalarku juga memberitahukan kepadaku, bahwa kegelisahanku sekarang tidak akan ada artinya, sebaiknya aku tidak perlu gelisah sekarang, tetapi perasaanku berkata lain! ˜Sudahlah, kakang, di ruang tengah, makan sudah tersedia. Marilah kita makan, kakang tentu lapar setelah menempuh perjalanan! ˜Aku sudah singgah di kedai, Nyi! ˜Kapan.?! ˜Di tengah hari! ˜Nah, sekarang sudah lewat senja! Ki Reksabawapun kemudian duduk di ruang tengah bersama isterinya untuk makan malam. Agaknya letih dan lapar membuat Ki Tumenggung Reksabawa makan dengan lahapnya. Meskipun demikian, ketika malam menjadi semakin dalam, serta Ki Tumenggung telah berada di bilik tidurnya, ternyata ia tidak segera dapat tidur. Di keesokan harinya, pagi-pagi sekali Ki Reksabawa telah bangun, mandi dan berbenah diri. Seorang abdi dalem Kadipaten telah memanggil beberapa orang pemimpin di Sendang Arum untuk membicarakan masalah yang menyangkut Raden Tumenggung Reksayuda. Ketika matahari naik sepenggalah, maka Ki Reksabawa telah pergi menghadap ke Kadipaten. Pada hari itu Kangjeng Adipati telah menyelenggarakan pertemuan kecil, terbatas pada orang-orang terdekat. Diantara mereka adalah Ki Reksabawa dan Ki Jayataruna. ˜Biarlah Ki Tumenggung Reksabawa atau Ki Tumenggung Jayataruna sajalah yang menguraikan hasil perjalanan mereka. Dengan dimikian, maka tidak akan ada yang melampaui! Beberapa orang yang hadir itupun berpaling kearah Tumenggung itu, namun Ki Reksabawapun berdesis ˜Kau sajalah yang menguraikannya, adi! Ki Jayatarunalah yang kemudian menyampaikan kepada para pemimpin yang hadir itu, apa saja yang telah mereka bicarakan dengan Kangjeng Adipati Jayanegara ˜Nah, bagaimana menurut pendapat kalian?! bertanya Kangjeng Adipati kemudian setelah Ki Jayataruna selesai memberikan laporannya. Seorang Rangga yang sudah tua menyahut ˜Ampun Kangjeng, jika diperkenankan, hamba ingin menyampaikan pendapat hamba! ˜Katakan Ki Rangga! ˜Terima kasih, Kangjeng! Ki Rangga berhenti sejenak, lalu katanya kemudian ˜Kangjeng Adipati, umur hamba masih belum setua Raden Tumenggung Wreda Reksayuda. Tetapi selisihnya tidak begitu banyak. Hamba adalah termasuk salah satu abdi di Kadipaten ini yang sering sekali berhubungan dengan Raden Tumenggung Wreda, hamba sering diperintahkan untuk melakukan bermacam tugas. Nah, pada saat itulah hamba mengetahui kekerasan hati Raden Tumenggung Wreda. Karena itu, hamba mohon segala sesuatunya dipertimbangkan dengan baik! ˜Ampun Kangjeng! seorang yang lain menyahut ˜Sebenarnya apa yang kita cemaskan seandainya Raden Tumenggung itu pulang?, Ia sudah tua, sudah pikun. Seandainya di hatinya masih menyala kedengkian dan iri hati, tetapi apa artinya Raden Tumenggung Wreda itu seorang diri. Kecuali ada diantara kita yang bersedia menjadi pengikutnya untuk menimbulkan kekisruhan di tanah ini! Ternyata beberapa orang pemimpin yang terdekat dengan Kangjeng Adipati itu telah berbeda pendapat. Namun sebagian besar diantara mereka benpendapat, bahwa biar saja Raden Tumenggung itu pulang. Tidak akan ada masalah yang timbul. ˜Jika Raden Tumenggung berbuat macam-macam, bukankah prajurit Sendang Arum telah bersiap untuk mengatasinya?! berkata seorang senapati. Memang tidak ada kebulatan pendapat, tetapi nampaknya Kangjeng Adipati sudah mengambil kesimpulan meskipun tidak dikatakannya. Bahkan Kangjeng Adipati itupun berkata. ˜Besok aku akan menyelenggarakan pertemuan yang lebih besar, aku minta Ki Tumenggung Reksabawa menghubungi Kangmbok Reksayuda agar dia besok juga datang dalam pertemuan itu. Aku akan menyampaikan keputusan yang terakhir tentang pengampunan terhadap kangmas Tumenggung Reksayuda! Pertemuan hari itupun telah dibubarkan. Para pemimpin yang ikut hadir segera meninggalkan pendapa Kadipaten. Besok mereka harus datang lagi dalam pertemuan yang lebih besar itu. Ki Tumenggung Reksabawa juga meninggalkan pendapa Kadipaten. Tetapi hatinya masih tetap gelisah. Meskipun berbagai macam alasan telah didengarnya dari mereka yang tidak berkeberatan menerima Raden Tumenggung Reksayuda pulang, namun Ki Reksabawa masih tetap merasa cemas. Karena itu, ketika pendapa Kadipaten telah kosong, maka Ki Reksabawa yang belum sampai ke rumahnya itu, telah kembali di dalem kadipaten. Dengan berbagai macam alasan, Ki Reksabawa telah menghadap lagi Kangjeng Adipati Wirakusuma yang diterima di serambi samping. ˜Hamba mohon ampun, Kangjeng Adipati tentu akan beristirahat, tetapi hamba telah memberanikan diri untuk menghadap! ˜Ada apa kakang?! ˜Hamba ingin menyampaikan pendapat hamba yang tidak dapat hamba sampaikan di pertemuan itu! ˜Kenapa tidak? Bukankah dalam pertemuan seperti itu, pendapat seseorang akan dapat dinilai bobot dan kepentingannya! ˜Ada yang menahan agar hambar tidak menyampaikannya di dalam pertemuan itu! ˜Siapa yang menahan?! ˜Kata hatiku sendiri, Kangjeng Adipati! ˜Kakang, aku sudah mengenal kakang sejak lama, aku tahu bahwa kakang bukan seorang yang ragu-rahu untuk mengambil sikap. Tetapi kenapa kakang sekarang, tiba-tiba telah berubah, seakan-akan kakang menjadi orang lain?! ˜Ampun Kangjeng Adipati, sebenarnyalah hamba ingin menyampaikan keberatan hamba terhadap rencana pengampunan atas Raden Tumenggung Wreda Reksayuda! ˜Hal itu sudah pernah kau sampaikan, kakang! ˜Ya., Kangjeng, sekarang hamba ingin menyampaikan kembali, di Pucang Kembar hamba mendapat keterangan, bahwa sebenarnya sikap Raden Tumenggung Wreda itu masih belum berubah, Jika Raden Tumenggung Wreda itu pulang, maka kemungkinan timbulnya keresahan masih tetap ada! ˜Kakang Reksabawa, apakah kakang tidak yakin akan kemampuan para petugas sandi kita serta kekuatan para prajurit di Sendang Arum.?, Kakang sendiri seorang prajurit. Seandainya kakangmas Tumenggung Reksayuda masih bertingkah macam-amcam, maka aku dapat memerintahkan seorang saja, tanpa sekelompok prajurit untuk menangkapnya! Ki Tumenggung Reksabawa menarik nafas panjang. ˜Seandainya yang seorang itu kakang Tumenggung, apakah kira-kira kakang Tumenggung Reksabawa tidak akan sanggup melakukannya?! ˜Hamba akan menjalankan segala perintah apapun taruhannya, tetapi persoalannya tidak sesederhana itu! ˜Maksud kakang.?! ˜Hamba ingin memperingatkan bahwa mungkin sekali kekuatan dari luar akan ikut campur! ˜Maksud kakang, kekuatan dari luar yang dengan diam-diam membantu kakangmas Reksayuda, begitu?! ˜Hamba, Kangjeng Adipati, mungkin bantuan itu dapat berwujud uang, mungkin senjata, bahkan mungkin pasukan! ˜Kakang.! berkata Kangjeng Adipati. ˜Kita mempunyai pasukan sandi yang terhitung baik, kita tentu akan dapat mengetahui jika ada hubungan antara kakangmas Reksayuda dengan pihak luar, seandainya adan bantuan yang diterima oleh kangmas Reksayuda, maka kita dengan cepat akan menghancurkannya apapun bentuknya! Ternyata Ki Reksabawa tidak berhenti sampai sekian, meskipun dengan jantung yang berdebaran Ki Reksabawa berkata ˜Aku tidak yakin, bahwa Kangjeng Adipati Jayanegara di Pucang Kembar itu bersikap jujur. Jika Kangjeng Adipati itu bersikap jujur hamba tentu akan diperkenankan menemui Raden Reksayuda langsung! ˜Kakang Tumenggung, kau jangan mementahkan lagi pembicaraan yang sudah sampai pada kesimpulan, kenapa kau tidak mengatakan hal itu pada waktu pertemuan tadi sehingga keteranganmu itu akan dapat menjadi bahan pertimbangan banyak orang! ˜Hamba mohon ampun, Kangjeng. Tetapi sebenarnyalah hamba mendengar dari seorang yang dapat dipercaya di Pucang Kembar! ˜Siapa.?! ˜Orang itu tidak mau disebut namanya. Ia tidak ingin menjadi sasaran kemarahan Kangjeng Adipati di Pucang Kembar, karena keterangannya berbeda dengan keterangan Kangjeng Adipati Jayanegara! ˜Kakang Tumenggung, aku tidak mau mendengar keterangan dari bayangan yang tidak dikenal tersebut! ˜Hamba yakin akan kebenaran keterangannya, Kangjeng! ˜Kakang.!! nada suara Kangjeng Adipati meninggi ˜Aku tidak tahu apa maksud kakang sebenarnya, bahwa kau dengan cara yang kurang mapan telah berusaha menggagalkan pengampunan terhadap kakang Tumenggung Reksayuda. Apakah pamrihmu.?! Apakah kau ingin agar jabatan kakangmas Reksayuda itu tetap kosong, sehingga kau akan dapat menggantikannya. Jika itu yang kau kehendaki, maka aku ingin memberitahukan kepadamu, bahwa kelak kakangmas Tumenggung Reksayuda itu pulang, ia tidak akan mendapatkan jabatannya kembali. Ia tidak akan menjadi salah seorang Tumenggung Wreda dengan kekuasaan apapun juga. ˜Ampun Kangjeng Adipati. Hamba sama sekali tidak berniat untuk menduduki jabatan yang kosong itu. Hamba tahu diri, bahwa hamba bukan orang yang memiliki kelebihan. Bahkan sekarang hamba mendapat anugerah kedudukan sebagai seorang tumenggung, hamba telah sangat bersukur! ˜Jika demikian, apakah karena perempuan itu?, kakang tidak ingin bahwa suami perempuan muda yang cantik itu pulang! ˜Ampun Kangjeng, jika itu yang hamba inginkan, terkutuklah hamba. Hamba mempunyai seorang isteri yang setia, yang bersedia hidup bersama, tetapi juga bersedia mati bersama. Dalam keadaan apapun hamba tidak akan menghianati isteri hamba! ˜Jika demikian, lupakan saja kecemasan kakang, biarlah besok aku nyatakan didalam sidang, bahwa aku telah mengampunkan kakangmas Tumenggung Reksayuda. Tentu saja bersamaan dengan itu, aku akan memberikan perintah kepada senapati pasukan sandi agar dengan hati-hati selalu mengawasi kakangmas Tumenggung, terutama hubungannya dengan orang-orang yang tidak dikenal! Ki Tumenggung Reksabawa menundukkan kepalanya. ˜Kakang Tumenggung, aku tidak dapat memenuhi keinginan kakang Tumengung. Bukan berarti bahwa aku tidak mau mendengarkan pendapat kakang, bukankah selama ini aku hampir tidak pernah menolak dan mengesapingkan pendapat kakang?. Tetapi kali ini aku tidak dapat menerimanya, karena aku juga harus mendengarkan pendapat banyak orang yang ternyata condong untuk menerima kakangmas Tumenggung Reksayuda itu kembali ke Sendang Arum! ˜Hamba mengerti, Kangjeng Adipati! ˜Kau jangan menjadi sakit hati, kau harus menerima kenyataan dalam perbedaan pendapat ini! ˜Hamba mengerti Kangjeng Adipati. Hamba sama saekali tidak menjadi sakit hati, meskipun hamba mengakui, bahwa hamba menjadi cemas. Tetapi mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu. Hamba hanya melihat dengan mata perasaan hamba. Bahwa sesuatu akan terjadi! ˜Jangan cemas, kita harus percaya diri, bahwa kita sekarang cukup kuat untuk menghadapi banyak persoalan yang mungkin akan dapat mengganggu ketenangan hidup kita! ˜Hamba Kangjeng Adipati! sahut Ki Reksabawa yang kemudian mohon diri ˜Ampun Kangjeng. Jika demikian perkenankan hamba mengundurkan diri! ˜Silahkan, kakang! Ki Reksabawapun kemudian menginggalkan serambi dalem Kadipaten. Sepeninggal Ki Reksabawa, Kangjeng Adipati Wirakusuma duduk sendiri di serambi. Pandangan matanya menerawang jauh menembus pintu yang terbuka, menusuk ke panasnya matahari di siang hari. Kangjeng Adipati terkejut ketika ia mendengar suara lembut, yang rasa-rasanya seperti suara Raden Ayu Wirakusuma yang telah meninggal ˜Uwa Tumenggung Reksabawa benar! Kangjeng Adipati itupun segera bangkit, ketika ia berpaling, maka yang dilihatnya adalah anak perempuannya Ririswari. ˜Kau Riris! desis Kangjeng Adipati ˜Hamba ayahanda. Menurut pendapat hamba, apa yang dikatakan Uwa Tumenggung itu benar! Kangjeng Adipati menarik nafas panjang, katanya ˜Riris sudahlah, sebaiknya kau tidak usah ikut memikirkan tata pemerintahan di Sendang Arum! ˜Ayahanda. Dahulu, ketika ibunda masih ada, ayahanda selalu bersedia mendengarkan pendapat ibunda, meskipun kadang-kadang ayahanda tidak sependapat. Sekarang, aku mohon ayahanda bersedia juga mendengarkan pendapatku! ˜Kau masih terlalu muda untuk ikut berbicara tentang pemerintahan serta kebijaksanaan yang aku ambil, Riris! ˜Ayahanda! berkata Riris kemudian ˜Seperti yang pernah aku katakana, menurut pendapatku, bibi yang muda dan cantik itu tidak berbuat jujur. Jika bibi memohon pengampunan bagi uwa Tumenggung, itu hanya sekedar permainan yang belum kita ketahui maksudnya! ˜Kau berprasangka Riris! ˜Mungkin dengan memohon pengampunan itu, bibi mendapat kesempatan untuk menghadap ayahanda berkali-kali! ˜Riris! ˜Bkankah bibi masih muda, cantik dan gelisah?! ˜Kau memandangnya dari sisi lain dari sisi pandang Ki Reksabawa! ˜Bagi bibi, apakah permohonannya dikabilkan atau tidak, sudah bukan menjadi masalah lagi! ˜Sudahlah, jangan kau turutkan hatimu yang masih muram sepeninggal ibumu, beristirahatlah! ˜Tetapi ayahanda, aku mohon ayahanda memperhatikan rerasan para puteri dan para istri Tumenggung di Sendang Arum. Mereka menyebut bibi Reksayuda adalah seorang perempuan yang mendambakan derajat dan semat. Seorang perempuan yang haus kekuasaan, pujian dan kekayaan! ˜Jika sentuhan perasaanmu benar Riris, aku justru akan membiarkan uwakmu kakangmas Tumenggung Reksayuda berada di pengasingan! ˜Uwa Tumenggung Reksayuda sudah tua, ia tidak mempunyai banyak kesempatan lagi, ayahanda! ˜Jika demikian, kau tidak perlu membenarkan pendapat Ki Tumenggung Reksabawa! ˜Ada yang sama dengan pendapatku, ayahanda..! ˜Tidak jauh berbeda, kakang Reksabawa memandang persoalan ini dari sisi pemerintahan, kau memandangnya dari sisi kekecewaan seorang gadis yang baru saja ditinggalkan oleh ibunya. Kepercayaanmu kepadaku goyah, Riris! ˜Ayahanda, pendapatku yang sama dengan pendapat uwa Reksabawa adalah, bahwa sesuaty akan terjadi, sesuatu yang dapat mengguncang ketenangan dan kedamaian di Kadipaten Sendang Arum! ˜Riris, sebaiknya kau tengangkan hatimu, beristirahatlah, tidak akan terjadi apa-apa di kadipaten ini! Riris menarik nafas panjang, namun gadis itupun kemudian meninggalkan ayahandanya yang berdiri termangu-mangu, namun Kangjeng Adipatipun kemudian duduk kembali. Pandangan matanya kembali menerawang kekejauhan. Di hari berikutnya, Kangjeng Adipati duduk di pendapa Agung kadipaten Sendang Arum, dhadap oleh para pemimpin pemerintahan dan para pemimpin keprajuritan di Sendang Arum. Para nayaka dan sentana. Dalam pertemuan itu, Kangjeng Adipati berkata kepada semuanya yang hadir ˜Para pimpinan di Sendang Arum, para sentana dan nayaka, aku Adipati Sendang Arum, yang memegang kekuasaan tunggal, telah memutuskan berdasarkan pembicaraan diantara para pemimpin nayaka dan sentana di Kadipaten, bahwa aku, Adipati Sendang Arum, telah memberikan pengampunan kepada Raden Tumenggung Reksayuda yang karena kesalahan yang telah dilakukannya, diasingkan ke luar tlatah kekuasaan Sendang Arum dan memilih untuk tinggal di kadipaten Pucang Kembar selama lima tahun. Tetapi atas permohonan, atas pertimbangan dan pendapat para pemimpin, para nayaka dan sentana, maka setelah Raden Tumenggung Reksayuda menjalani hukuman sekitar tiga tahun maka sejak saat ini, Raden Tumenggung Reksayuda sudah mendapatkan dari hukuman pengasingan itu! Semua yang hadir mendengarkan pernyataan Kangjeng Adipati Wirakusuma dengan sungguh-sungguh. Tetapi mereka sama sekali tidak terkejut lagi, karena persoalannya memang sudah dibicarakan sebelumnya Mesipun ada satu dua orang yang berpendapat lain, tetapi sebgaian terbesar dari para pemimpin, nayaka dan sentana tidak menaruh keberatan atas pengampunan itu. Namun dalam pada itu, demikian Kangjeng Adipati selesai dengan pernyataannya itu, tangis Raden Ayu Reksayuda tidak tertahankan lagi. Sambil menyembah, disela-sela isak tangisnya, Raden Ayu Reksayuda itupun berkata patah-patah. ˜Terima kasih, terima kasih atas Dimas Adipati, sebenarnyalah Dimas Adipati adalah seorang pemimpin yang berhati mulia. Dimas sudah menunjukkan sifat kepemimpinan yang sejati dari seorang Adipati, seorang pemimpin yang adil yang memerintah dengan Arif, Yang Maha Kuasalah yang akan menilai, betapa Dimas Adipati benar-benar telah menjalankan tugas di dunia ini berdasarkan atas limpahan rahmatNya. ˜Sudahlah kangmbok, yang aku laukuan sama sekali bukan karena kelebihanku sebagai seorang titah yang kebetulan mendapat limpahan rahmatNya itu, keputusanku itu didasari dengan pembicaraan diantara para pemimpin di Sendang Arum, aku hanya mengambil kesimpulan dari pembicaraan itu saja. ˜Tetapi jika kesimpulan itu tidak berkenan di hati Dimas Adipati, maka Dimas dapat mengambil keputusan yang lain. ˜aku sudah menyatakan keputusan itu, selanjutnya terserah kepada kangmbok, kapan kangmbok akan menjemput kakangmas Reksayuda. Biarlah kakang kakang Tumenggung Reksabawa dan kakang Tumenggung Jayataruna membantu pelaksanaannya, sekaligus menjadi wakilku, menghadap kangmas Tumenggung Reksayuda di Pucang Kembar, menyampaikan keputusanku ini! ˜Terima kasih, Dimas Adipati, sebelumnya aku minta bantuan kakang Tumenggung Jayataruma serta kakang Tumenggung Reksabawa, aku akan menghubungi puteraku, Jalawaja. Jika Jalawaja bersedia ikut serta menjemput ayahandanya.! ˜Terserah saja kepada kangmbok! sahut Kangjeng Adipati. Namun kemudian Kangjeng Adipati itupun berkata kepada Ki Jayataruna dan Ki Reksabawa ˜Aku minta kakang Tumenggung berdua membantu pelaksanaan penjemputan kangmas Reksayuda! ˜Hamba Kangjeng! Jawab keduanya hampir bersamaan. ˜Nah, tidak lagi persoalan yang akan aku bicarakan hari ini. Dalam pertemuan ini, aku hanya ingin menyampaikan keputusanku tentang tentang pengampunan terhadap kakangmas Ki Tumenggung Reksayuda! lalu katanya kepada Ki Reksabawa ˜Kakang Tumenggung. Bubarkan pertemuan ini! ˜Hamba Kangjeng! Sejenak kemudian, maka para pemimpin, nayaka dan sentana itupun meninggalkan pendapa agung kadipaten Sendang Arum. Demikian pula Raden Ayu Reksayuda. Sementara itu, Kangjeng Adipatipun segera masuk keruang dalam. Kangjeng Adipati tertegun ketika ia melihat Riris duduk seorang diri ruang dalam itu. ˜Riris! ˜Disini biasanya Ibunda menunggu ayahanda jika ayahanda menyelenggarakan pasowanan seperti hari ini! ˜Ya.Riris! Jawab Kangjeng Adipati sambil duduk pula di sebelah anak gadisnya. ˜Kadang-kadang ibunda dengan niat yang baik, menyampaikan pendapatnya tentang pembicaraan di dalam pasowanan itu! ˜Ya..Riris! ˜Kadang-kadang ayah berkenan, tetapi kadang-kadang ayah tidak berkenan, tetapi ibunda tidak pernah menjadi kecewa pada saat-saat pendapatnya tidak sesuai dengan kebijaksanaan ayahanda sebagai penguasa tunggal di kadipaten ini! ˜Ya. Riris! ˜Tetapi ibunda belum pernah melihat bibi Reksayuda hadir di pasowanan seperti tadi! ˜Kenapa dengan bibimu?! ˜Aku tidak melihat kewajaran itu. Ayah. Tetapi sudah aku katakana beberapa kali, bibi tidak jujur dengan sikapnya! ˜Kau masih dibayangi oleh perasaan curigamu itu, Riris. Tetapi kau akan melihat kenyataan di hari-hari mendatang! Ririswari menarik nafas panjang, katanya ˜Baik, ayahanda, meskipun demikian aku akan tetap berdoa, semoga tidak terjadi sesuatu yang dapat mengguncang kedamaian di kadipaten ini! Kangjeng Adipati termangu-mangu sejenak. Ia dapat mengerti perasaan anak gadisnya yang belum lama ditinggalkan oleh ibunya. Ia tidak ingin melihat seorang perempuan lain yang mencoba merayap mengintai kedudukan ibundanya. Tetapi pada saatnya gadis akan melihat bahwa segala sesuatunya berlangsung wajar. Keputusannya adalah keputusan seorang Adipati. Bukan keputusan seorang laki-laki yang jatuh kedalam pengaruh seorang perempuan cantik. Dalam pada itu. Raden Ayu Prawirayuda telah minta tolong kepada Ki Jayataruna untuk pergi menjemput Jalawaja, anak laki-laki Raden Reksayuda. ˜Baiklah Raden Ayu, besok aku akan menghadap Ki Ajar Anggara untuk meminta agar Raden Jalawaja diperkenankan turun dari lereng gunung dan pergi menjemut ayahandanya dari pengasingan. ˜Terima kasih, Ki Tumenggung, pertolongan Ki Tumenggung tidak akan pernah aku lipakan! ˜Bukankah wajar sekali jika kita saling menolong?! ˜Ki Tumenggung sudah menolong aku, juga didalam pembicaraan di pasowanan sehingga para pemimpin, nayaka dan sentana sebagian besar menyetujui pengampunan terhadap kakangmas Tumenggung Reksayuda! ˜Bukankah itu bukan apa-apa dibandingkan dengan kebaikan hati Raden Ayu?! ˜Ah, jangan sebut itu kakang., Kebaikanku atau justru kebaikan kakang Tumenggung yang semakin bertimbun! ˜Kita memang saling berbaik hati! desis Ki Jayataruna sambil tertawa. Raden Ayu Reksayuda tertawa tertahan, jari-jarinya yang lentik menutupi bibirnya yang mekar. ˜Sudahlah Raden Ayu! ˜Sekali lagi aku mengucapkan terima kasih, kakang! ˜Besok pagi-pagi aku akan pergi ke pondok di lereng gunung itu untuk menemui Raden Jalawaja! Sebenarnyalah, di keesokan harinya, Ki Jayataruna telah memacu kudanya ke sebuah pondok yang terpencil di lereng gunung, sebuah pondok yang dihuni oleh Ki Ajar Abggara. Seorang yang telah mengasingkan diri dari dunia ramai, menyendiri dalam kehidupan yang sunyi. Sepeninggal anak perempuannya, Ki AjarAnggara merasa lebih tenang berada di keasingan. Meskipun Ki Ajar tidak memutuskan berhubungan dengan kehidupan masyarakat di padukuhan di lereng gunung itu, namun Ki Ajar memang lebih banyak menyatu dengan keheningan di lambung gunung. Apalagi setelah Raden Tumenggung Reksayuda menikah lagi dengan seorang perempuan yang masih muda dan cantik. Maka Ki Ajar menjadi semakin terpisah dari keramaian duniawi Namun tiba-tiba saja cucunya, putera Raden Tumenggung Reksayuda datang kepadanya serta memohon untuk dapat tinggal bersama eyangnya yang terasing itu. Ketika Raden Jalawaja datang kepadanya, Ki Ajar mencoba mencegahnya agar cucunya itu tetap berada di lingkungan yang memberinya tawaran yang lebih baik bagi masa depannya. Tetapi cucunya merasa lebih mantap tinggal bersama dengan eyangnya di lambung gunung. ˜Kau tidak berteman disini Jalawaja! katanya kepada Jalawaja. ˜Dalam keadaanku sekarang eyang, aku lebih senang berteman sepi! ˜Kau masih muda, Jalawaja. Hari-harimu masih panjang. Seharusnya kau mulai menganyam landasan buat masa depanmu! ˜Aku akan hidup disini, eyang. Aku berjanji untuk rajin pergi kesawah, mencari rumput buat binatang peliharaan eyang atau menggembalakannya. Aku berjanjiuntuk berbuat apa saja yang eyang perintahkan. Ki Ajar tidak dapat menolak keberadaan Jalawaja di pondoknya, agaknya hubungan Jalawaja dengan ayahandanya agak kurang baik sepeninggal ibunya. Apalagi ketika ayahandanya berniat untuk menikah lagi. ˜Biarlah untuk sementara Jalawaja ada disini! berkata Ki Ajar Anggara kepada diri sendiri. ˜mungkin setelah satu dua bulan lewat, hatinya akan dapat menemukan keseimbanganbya kembali, sehingga anak itu bersedia pulang ke rumah ayahandanya. Tetapi Jalawaja tetap pada pendiriannya, ia ingin tinggal bersama kakeknya apalagi setelah ayahandanya dianggap bersalah dan diasingkan keluar tlatah kadipaten Sendang Arum, Jalawaja seakan-akan menjadi senakin mapan tinggal bersama kakeknya, Ki Ajar Anggara. ˜Tetapi keberadaanmu disini harus ada manfaatnya Jalawaja! bekata kakeknya kepada cucunya setelah cucunya beberapa lama berada di pondoknya. ˜Apapun yang eyang perintahkan! jawab Jalawaja. ˜Aku tetap berharap bahwa pada suatu saat kau akan kembali ke Sendang Arum.! ˜Terlebih-lebih sekarang eyang, ayahanda adalah orang buangan meskipun ayah masih mempunyai hubungan darah dengan paman Kangjeng Adipati di Sendang Arum! ˜Yang dianggap bersalah adalah ayahmu. Jalawaja. Bukan kau! ˜Tetapi orang-orang Sendang Arum memandang aku, putera Tumenggung Wreda Reksayuda sebagai anak orang buangan yang tidak mempunyai arti apa-apa lagi. Biarlah aku mencari arti hidupku disini, eyang. Jika aku dapat meningkatkan hasil panenan padi jagunng dan palawija dari lahan yang sama, maka aku telah menemukan arti dalam hidupku. Bila aku dapat melipatkan hasil pategalan atau menemukan jenis-jenis tanaman dan buah-buahan yang lebih baik dari yang ada, maka disitulah letak arti hidupku. Peningkatan hasil panen an akan dapat memberikan kesejahteraan yang lebih tinggi pada orang-orang padukuhan yang mau berkerja keras serta berusaha.! Ki Ajar mengangguk-angguk sambil menjawab ˜Baiklah Jalawaja, aku ikut berusaha dan berkerja keras, tetapi disamping itu, ada ilmuku yang ingin aku wariskan kepadamu! ˜Ilmu apa yang eyang maksudkan?! ˜Ilmu kanuragan! ˜Ilmu kanuragan?! ˜Ya., Ilmu kanuragan! Jalawaja menark nafas panjang. Iapun kemudian mengangguk sambil menjawab ˜Apapun yang eyang perintahkan, aku akan menjalaninya! Ki Ajar mengangguk-angguk, katanya ˜Bagus, sejak hari ini, kau akan memperdalam ilmu olah kanuragan, aku tahu bahwa kau sudah memiliki dasar-dasarnya. Sekarang, kau harus lebih mendalaminya! Jalawaja tidak ingkar. Bahkan semakin lama, semakin nyata, bahwa Jalawaja adalah seorang anak yang cerdas dan tangkas, dengan cepat ia menerima dan memahami hal-hal yang baru di dalam kanuragan. Sementara itu unsure kewadagannyapun sangat mendukung, kesungguhannya dan kesediaan berkerja keras membuat ilmunya dengan cepat maju. Jalawaja tidak pernah megelakkan waktu-waktunya berlatih dengan keras di sanggar terbuka di padang yang agak luas di lambung bukit. Di udara yang kadang-kadang terasa dingin, dengan tidak mengenakan baju, Jalawaja menempa diri, dengan alat-alat yang sederhana, Jalawaja meningkatkan kepekaan nalurinya. Namun dengan beban yang semakin berat, Jalawaja sedikit deni sedikit mingkaktkan kekuatan dan tenaganya. Disamping itu dengan pemusatan nalar dan budinya, Jalawaja meningkatkan tenaga dalamnya serta daya tahan tubuhnya. Kakeknya yang sudah tua itupun dengan tekun membimbingnya, kadang-kadang Jalawaja harus berlatih dengan beban yang digantungkan pada tangan dan kakinya. Kadang-kadang dalam latihan keseimbangan yang berat, Jalawaja manapak pada palang-palang bamboo dan kayu. Bahkan sampai mengusung beban yang cukup berat. Disaat-saat Jalawaja harus tenggelam dalam latihan-latihan olah tubuh, agar tubuhnya menjadi semakin lentur, sehingga tubuh Jalawaja itu seolah-olah dapat digerakkan sesuai dengan kemauannya. Meskipun demikian, bukan berarti bahwa Jalawaja telah kehilangan seluruh waktunya untuk membajakan diri. Ia masih juga pergi ke sawah. Bukan sekedar mengerjakan apa yang sudah terbiasa dilakukan oleh para petani. Namun Jalawaja dengan beberapa orang anak muda dari padukuhan terdekat, mencoba untuk meningkatkan hasil sawah mereka. Tetapi kadang-kadang Jalawaja merasa kecewa, bahwa anak-anak muda itu tidak berpandangan jauh sebagaimana dirinya. Meskipun demikian, Jalawaja dapat menghargai kesediaan mereka untuk bekerja keras. Dari hari ke hari, Jalawaja memanfaatkan waktu sepenuhnya, seakan-akan tidak ada waktu terluang baginya. Jika ia tidak berada di sanggar, maka ia berdada di sawah atau pategalan. Baru setelah senja turun, ia berada di sumur untuk menimba air, mengisi jambangan, kemudian mandi. Namun ada saatnya dimalam hari, Jalawaja berada di sanggar tertutup bersama kakeknya, Ki Ajar Anggara. Dengan demikian, maka setelah beberapa lama Jalawaja berada di rumah kakeknya, maka kulitnyapun menjadi bertambah gelap oleh terik matahari. Tubuhnya mejadi semakin ramping. Namun matanya menjadi semakin bercahaya. Langkahnya menjadi ringan dan geraknya menjadi semakin cekatan. Ketika Ki Jayataruna pergi ke lereng bukit memenuhi permintaan Raden Ayu Reksayuda untuk memanggil Jalawaja pulang. Jalawaja dan kakeknya sedang tidak berada di pondoknya. Seorang anak laki-laki remaja yang lewat sambil menggiring dua ekor kambing memberi tahukan bahwa Ki Ajar berada di sebelah gumuk kecil di lambung bukit itu. ˜Kakang Jalawaja sedang berlatih! berkata gembala tersebut. ˜Berlatih apa?! ˜Olah kanuragan! jawab gembala itu. ˜Terima kasih! Ki Tumenggung Jayatarunapun kemudian telah meloncat ke pungung kudanya pula. Berjalan menyusuri jalan setapak menuju ke sebelah gumuk kecil. Kuda Ki Tumenggungpun kemudian berjalan diantara bebatuan yang berserakan. Batu-batu sebesar kuda itu sendiri. Terasa denyut jantung Ki Tumenggung menjadi semakin cepat, rasa-rasanya ia berada di satu lingkungan yang pernah dikenalnya dalam mimpi. Diseberang padang perdu yang dipenuhi dengan bebatuan yang besar-besar itu terdapat hutan yang lebat membelit lambung gunung. Beberapa saat kemudian Ki Tumenggung itu melihat dikejauhan bayangan yang bergerak-gerak diantara bebatuan. Berloncatan dengan tangkasnya, melenting dan berputar di udara, dengan kedua kakinya, bayangan itu hinggap dengan lunak diatas batu yang besar. Namun kemudian bayangan itu telah melenting lagi dengan cepatnya. Ki Jayataruna menarik nafas panjang. Ia sadar, bahwa yang sedang melakukan gerakan-gerakan yang mengagumkan itu adalah Raden Jalawaja, putera Raden Tumenggung Reksayuda. Tidak jauh dari tempat berlatih Jalawaja, Ki Tumenggung melihat seorang tua duduk diatas sebuah batu. Rambutnya yang terjurai dibawah ikat kepalanya, nampak sudah memutih. Demikian pula kumis dan janggutnya yang dipotong pendek. Demikian Ki Anggar dan Jalawaja Ki Jayataruna, maka iapun segera meloncat turun. ˜Ki Tumenggung Jayataruna! Ki Ajar itupun menyapanya. ˜Ya, Ki Ajar! sahut Ki Jayataruna sambil tersenyum. ˜Selamat dating di tempat yang sunyi ini, Ki Tumenggung! ˜Terima kasih, Ki Ajar! ˜Marilah, aku persilahkan Ki Tumenggung singgah di pondokku! ˜Aku sudah dari sana, Ki Ajar! ˜Tetapi aku dan Jalawaja ada disini, nah, sekarang marilah, aku akan pulang. Demikian pula Jalawaja, aku aku akan mengajaknya pulang! ˜Tetapi biarlah Raden Jalawaja menyelesaikan latihannya hari ini. Aku senang melihatnya. Tubuhnya menjadi seringan kapas, sehingga seakan-akan begitu mudahnya di hanyutkan angin. Geraknya cepat cekatan, sedangkan keseimbangannya sangat mapan. Meskipun Raden Jalawaja berloncatan dan berputar di udara, namun demikian kakinya menyentuh sebuah batu, rasa-rasanya kaki itupun segera melekat dan bahkan menghujam ke dalamnya. ˜Ki Tumenggung pandai membesarkan hatiku dan tentu hati Jalawaja jika ia mendengarnya. Tetapi sebenarnyalah bahwa Jalawaja masih saja baru mulai. Segala sesuatunya masih belum mencapai batas kemampuan. Yang dikuasainya barulah dasar-dasar dari olah kanuragan. ˜Jika apa yang seperti dilakukan oleh Raden Jalawaja itu baru mulai, sedangkan yang dikuasainya baru dasar-dasarnya saja. Lalu betapa dahsyatnya jika nanti pada suatu saat Raden Jalawaja itu tuntas dalam olah kanuragan. Aku tidak membayangkan, apa saja yang dapat dilakukannya.! Ki Ajar Anggara tersenyum, katanya ˜Terima kasih atas pujian itu, Ki Tumenggung, naum kami mohon restu, mudah-mudahan Jalawaja benar-benar dapat menguasai landasan bagi kemampuannya dalam olah kanuragan. Namun disamping itu, akupun berharap bahwa perkembangan jiwanyapun tetap seimbang, sehingga kemajuannya dalam olah kanuragan akan berarti bagi sesamanya.! ˜Ya., Ki Ajar, tetapi jika Raden Jalawaja tetap saja berada di tempat terpencil ini, maka arti dari penguasaan ilmunya tidak akan terlalu banyak.! ˜Aku berharap, bahwa pada suatu saat ia akan kembali memasuki kehidupan dunia ramai! Ki Jayataruna itupun mengangguk-angguk. Sementara itu, Ki Ajarpun segera bertepuk tangan, memberikan aba-aba agar Jalawaja menghentikan latihannya. Sejenak kemudian, maka tata gerak Jalawajapun menjadi semakin lamban. Kemudian diletakannya seluruh tenaganya dan dilepasnya nafas-nafas panjang, kedua belah tangannyapun kemudian perlahan-lahan turun di tubuhnya. Bab 4 “ Rara Miranti ˜Jalawaja, kemarilah! panggil kakeknya. ˜Jalawaja mengusap keringat di keningnya dengan lengannya, ketika ia kemudian melangkah mendekati kakeknya, dilihatnya Ki Tumenggung Jayataruna berdiri disebelah kakeknya sambil memegang kendali kudanya. ˜Paman Tumenggung Jayatarna.! ˜Ya..Raden.! ˜Selamat datang di lambung gunung ini, paman! Terima kasih, Raden, beruntunglah aku, bahwa aku sempat menyaksikan angger berlatih, ternyata angger adalah seorang anak muda yang mumpuni dalam olah kanuragan.! ˜Paman memujiku, tetapi pujian paman membuat aku merasa semakin kecil, aku baru mulai paman, belum apa-apa.! ˜Aku sudah mengatakan tadi kepada Ki Ajar, jika permulaannya saja sudah seperti itu, aku tidak dapat membayangkan, apa jadinya nanti setelah Raden matang dalam ilmu itu.! ˜Paman menyanjung aku terlalu tinggi, jika nanti paman lepaskan, aku jatuh terjerembab di bebatuan! Ki Jayataruna tertawa, katanya ˜Aku tidak sekedar menyanjung, Raden, nah, katakan siapakah kawan-kawan Raden yang sebaya, yang mampu mengimbangi kemampuan Raden! ˜Tentu ada paman, hanya saja aku belum dapat menyebutkan! Merekapun tertawa, demikianlah pula dengan Ki Ajar yang kemudian berkata ˜Nah, marilah Ki Tumenggung, singgah dulu di gubukku, yang tidak jauh dari sebuah kandang di rumah para sentana dan nayaka di Sendang Arum! ˜Ki Ajar selalu merendahkan diri, nampaknya sikap itu berpengaruh juga kepada Raden Jalawaja! ˜Bukan merendahkan diri, Ki Tumenggung, tetapi itulah keadaan kami yang sebenarnya disini! Mereka bertigapun kemudian berjalan beriringan di jalan setapak menuju ke pondok Ki Ajar. Ki Ajar berjalan paling depan, kemudian Ki Tumenggung menuntun kudanya, di paling akhir adalah Jalawaja yang tubuhnya masih basah oleh keringat. Sejenak kemudian, maka merekapun telah duduk di sebelah di serambi depan rumah Ki Ajar, rumah yang nampaknya sederhana, tetapi demikian mereka duduk di serambi, Ki Tumenggung Jayataruna berkata ˜Alangkah sejuknya, rasa-rasanya aku segan pulang, rumahku terasa panas dan bahkan kadang udara yang panas itu terasa lembab, angin bertiup tidak membuat tubuh menjadi sejuk, tetapi rasa-rasanya angin itu mengandung uap air yang panas! ˜Bukankah di rumah paman ada beberapa pohon yang besar yang dapat melindungi halaman rumah dari teriknya panas matahari?! ˜Ya.tetapi pepohonan itu tidak dapat membuat udara di halaman rumahku sesejuk udara di halaman rumah ini! ˜Kita berada di kaki sebuah pegunungan, Ki Tumenggung.! sahut Ki Ajar. ˜Ya.ya., Ki Ajar ˜Ki Jayataruna mengangguk-angguk. Dalam pada itu, Ki Ajarpun kemudian berkata kepada Jalawaja ˜Ngger, pamanmu Ki Tumenggung Jayataruna datang untuk menemuimu, mungkin ada hal-hal yang penting yang akan dkatakannya kepadamu, tetapi mungkin juga kepada kita berdua! Jalawaja mengangguk kecil sambil berkata ˜Apakah ada pesan dari paman Adipati? Atau barangkali paman Tumenggung mendapat perintah untuk menangkap aku karena aku adalah anak seorang pemberontak yang sudah dibuang keluar tlatah Sendang Arum?! ˜Jangan berprasangka begitu Raden! sahut Ki jayataruna dengan nada berat. ˜Kau jangan merajuk seperti itu, Jalawaja˜ berkata Ki Ajar kemudian ˜Seharusnya apapun yang telah terjadi, kau jangan memandang dunia ini begitu buramnya! ˜Maaf Eyang, aku tidak bermaksud berprasangka buruk, aku hanya tidak dapat mengingkari tekanan perasaan yang seakan datang beruntun, sehingga warna sisi pandangku menjadi buram! Jalawaja berhenti sejenak, lalu katanya ˜Aku minta maaf paman! ˜Sudahlah Raden, barangkali lebih baik aku segera menyampaikan pesan kepada Raden! ˜Silahkan paman! ˜Kedatanganku kemari sebenarnyalah bukan atas perintah Kangjeng Adipati, tetapi aku datang karena diutus oleh Raden Ayu Reksayuda! ˜Raden Ayu Reksayuda.?! ulang Ki Ajar dan Jalawaja. ˜Ya, Ki Ajar! ˜Miranti maksud paman?! sahut Jalawaja. ˜Ya., tetapi bukankah sekarang aku harus menyebutnya Raden Ayu Reksayuda?! ˜Ya., Silahkan paman! nada suara Jalawaja mulai meninggi ˜Paman diutus apa?! ˜Raden diminta untuk pulang.! ˜Pulang.?! ˜Ya.Raden! ˜Pulang ke Katumenggungan.?! ˜Ya, Raden, Raden Ayu Reksayuda minta agar Raden bersedia untuk pulang! Jalawaja menarik nafas panjang, namun kemudian sambil menggeleng ia berkata ˜Tidak, paman, aku tidak bersedia untuk pulang! ˜Jalawaja! Ki Ajarpun kemudian menyela ˜Mungkin ada hal penting yang akan dibicarakan dengan ibumu! ˜Eyang, aku sudah berjanji, bahwa aku tidak akan pulang, aku akan tinggal disini, karena hidupku lebih berarti dari pada aku berada di Katumenggungan. Disini aku dapat bekerja keras bersama anak-anak muda di padukuhan sebelah untuk meningkatkan hasil sawah dan pategalan, membuat parit-parit baru untuk mengairi sawah-sawah tadah udan, sementara di bagian lain di lereng bukit yang ini airnya melimpah. Memperbaiki jalur-jalur jalan yang menghubungkan padukuhan-padukuhan dengan lingkungan yang lebih luas, sedangkan kalau aku berada di Katumenggungan, apa yang aku kerjakan disana?, duduk-duduk, merenung, makan dan minum, tidur dan apalagi?! ˜Raden! berkata Ki Jayataruna kemudian ˜Memang ada hal yang penting yang harus aku sampaikan kepada Raden, kenapa Raden Ayu memanggil Raden! Jalawaja memandang Ki Jayataruna dengan kerut di dahinya. ˜Raden, dalam waktu dekat, mungkin pekan ini, ayahanda Raden, Raden Tumenggung Wreda Resksayuda akan dijemput dari pengasingan! ˜Ayahanda akan dijemput?! ˜Ya.! ˜Untuk apa..?, apakah ayahanda harus menjalani hukuman yang lebih berat di Sendang Arum?! ˜Tidak, tidak Raden, Raden Tumenggung Wreda Reksayuda telah mendapatkan pengampunan setelah menjalani hukuman sekitar tiga tahun dan hukuman yang seharusnya dijalani selamat lima tahun! Jalawaja termangu-mangu sejenak, namun kemudian anak muda menggeleng sambil menjawab ˜Paman, aku sudah berjanji bahwa aku tidak akan pulang lagi, apapun alasannya! ˜Ngger! sahut Ki Ajar ˜Aku tahu bahwa kau merasa lebih kerasan disini daripada di Katumenggungan, akupun juga tidak keberatan kau tinggal disini, tetapi bukan berarti bahwa kau tidak akan pulang untuk keperluan-keperluan penting, Bahwa Ayahandamu di perkenankan pulang sebelum menjalani masa hukumannya sampai habis, adalah satu hal yang sangat penting didalam perjalanan hidupnya, setelah pulang, ayahandamu akan dapat menjalani satu kehidupan yang wajar bersama ibumu! ˜Maaf eyang, tetapi aku tidak dapat pulang, aku sudah berjanji bahwa aku tidak akan pulang selama Miranti masih berada di Katumenggungan! ˜Kenapa Raden, ibunda Raden mengharap angger pulang, ayahanda Raden akan sangat berbahagia jika Raden bersedia ikut menjemput dari pengasingannya di Pucang kembar! ˜Tidak, aku tidak akan pulang! ˜Jika Raden tidak ingin ikut menjemput ayahanda Raden di pengasingan, Raden dapat menunggunya di Dalem Kateumenggungan bersama ibunda. Jika ayahanda Raden melihat Raden berada di Dalem Katumenggungan dan menunggu kehadirannya bersama ibunda maka ayahanda tentu akan bergembira sekali! ˜Sudahlah paman, aku sudah memutuskan untuk tidak pulang, biarlah para petugas menjemput ayahanda ke Pucang Kembar, dan biarlah Rara Miranti menunggu kedatangan ayahanda itu di Dalem Katumenggungan, karena bagi ayahanda, keluarga satu-satunya tinggalah Rara Miranti! ˜Jalawaja! berkata Ki Ajar Anggara ˜Sebaiknya kau pulang ngger, kau akan dapat membuat ayahandamu melupakan masa-masa pahit yang pernah dijalaninya di pengasingan! ˜Aku sudah tidak dihitung lagi oleh ayahanda, eyang. Aku sudah berada di luar bingkai kasih sayangnya, aku bagi ayahanda adalah anak yang tidak patuh dan karena itu tidak pantas untuk tetap berada di lingkungan keluarganya! ˜Keadaan tentu sudah berubah, Raden! berkata Ki Jayataruna. ˜Tidak, selama Miranti masih berada di Dalem Katumenggungan keadaan tidak akan berubah. Selama itu pula aku tidak akan memberikan apa-apa bagi ayahanda, karena itu, maka aku tidak merasa perlu untuk pulang serta menjemput ayahanda di pengasingannya! ˜Jalawaja! berkata Ki Ajar ˜Pulanglah ngger, ayahmu akan dapat menjadi salah paham, dikiranya akulah yang mengajarimu untuk tidak mengasihinya lagi. Kau tahu, bahwa ibumu yang sudah meninggal itu adalah anakku, ayahandamu akan dapat menduga, bahwa karena ayahandamu menikah lagi dengan seorang perempuan lain, aku tidak merelakannya dan membujukmu untuk meninggalkanmu! ˜Tidak, eyang. Eyang tahu, kenapa aku pergi meninggalkan ayahanda pada waktu itu.! ˜Sekarang semuanya tentu akan berubah, setelah ayahandamu menjalani hukuman selama kurang lebih tiga tahun dari hukuman yang seharusnya lima tahun itu! ˜Bukankah eyang tahu bahwa persoalannya tidak banyak berhubungan dengan masa hukuman yang harus ayahanda jalani?! ˜Lupakan persoalan pribadimu dengan ayahandamu itu, Jalawaja! ˜Tidak Eyang, aku tidak akan dapat mengesampingkannya! ˜Jangan mengeraskan hatimu seperti itu, Jalawaja! ˜Maaf eyang, kali ini aku tidak dapat memenuhi keinginan eyang, mungkin hal ini adalah satu-satunya keingkaranku terhadap janjiku untuk memenuhi segala nasehat dan perintah eyang! ˜Raden, apakah sebenarnya yang menghalangi angger untuk pulang, apalagi menanggapi persoalan yang amat penting! ˜Paman, sebenarnya aku tidak ingin mengatakan kepada paman, karena persoalannya adalah persoalan yang sangat pribadi, tetapi biarlah paman mengetahui, kenapa hatiku menjadi sekeras batu hitam di lereng gunung itu.! ˜Apakah itu ngger?! ˜Biarlah eyang, biarlah paman Jayataruna tidak menganggapku sebagai anak yang durhaka yang tidak mengasihi ayahandanya yang menjadi lantaran kelahiranku di dunia ini! Ki Ajar hanya dapat menarik nafas panjang. ˜Paman, pada waktu itu, ayahanda telah memanggilku menghadap! Jalawaja mulai dengan ceritanya untuk meyakinkan Ki Jayataruna, bahwa ia mempunyai alas an untuk menolak panggilan ibu tirinya itu. Menjelang tengan hari, Jalawaja telah menghadap ayahandanya, namun Jalawaja terkejut ketika ia melihat seorang perempuan duduk bersama ayahandanya di ruang dalam. ˜Miranti! desis Jalawaja. ˜Jalawaja!! potong ayahandanya ˜Kenapa kau sebut saja namanya?, Kau harus menghormatinya, perempuan ini adalah bakal ibumu!! ˜Ibuku., maksud ayahanda?! ˜Duduklah ngger! berkata perempuan itu ˜Kau tentu belum mengetahuinya, bahwa aku memang calon ibumu! ˜Ayah.! suara Jalawaja bergetar ˜Jadi ayah akan menikah lagi.?! ˜Ya., Jalawaja, dan perempuan inilah calon ibumu itu! ˜Jadi ayah akan menikah dengan Miranti?! ˜Jangan sebut namanya saja, panggil dia Ibu, dia akan menjadi ibumu! ˜Aku sudah terbiasa memanggil namanya ayah! ˜Kau kenal dengan calon ibumu?! ˜Sudah ayah, itulah sebabnya aku hanya menyebutkan namanya! ˜Jika demikian, sejak sekarang kau harus belajar memanggilnya ibu, jangan panggil namanya saja! ˜Biarlah kangmas, Agger Jalawaja tentu tidak dapat merubah kebiasaannya dengan serta merta, tetapi lambat laun ia akan terbiasa memanggilku ibu! ˜Tidak. Aku tidak akan pernah melakukannya! ˜Jalawaja! ˜Ayah, apakah ayah sudah berpikir masak untuk menikah lagi dengan dia?! ˜Sudah, Jalawaja, aku sudah berpikir berulang kali! ˜Jadi kehadiran ibunda di Katumenggungan tidak lebih dari semilir angin yang bertiup, terdapat sedikit kesejukan di hati ayahanda pada waktu itu. Tetapi setelah angin itu lewat, maka ayahanda telah melupakannya! ˜Tidak Jalawaja, aku tidak pernah melupakannya, tetapi aku tidak dapat ingkar dari kenyataan, bahwa ibundamu telah meninggal, ia tidak akan pernah dapat hadir lagi di rumah ini, aku tidak akan pernah dapat berbicara lagi dengan ibundamu! ˜Itukah batas kesetiaan ayahanda?! ˜Aku setia sampai batas hidupnya, Yang Maha Agunglah yang dapat memisahkan kami! ˜Batas kasih itu menurut ayahanda adalah akhir dari sebuah kebersamaan?, setelah ibunda tidak ada lagi bersama ayahanda, maka kasih dan kesetiaan itupun tidak mengikat lagi! ˜Sudah aku katakan, Jalawaja, aku tidak pernah melupakan ibumu! ˜Kangmas! terdengar suara lembut Rara Miranti. Sambil mengusap matanya yang basah Rara Miranti itupun berkata ˜Aku menjadi sangat terharu mendengar sikap angger Jalawaja, hatinya yang terbuka memungkinkan aku melihat tembus kedalamnya. Angger Jalawaja adalah seorang anak muda yang setia, kangmas aku dapat mengerti perasaannya! ˜Terima kasih diajeng, jika kau dapat mengerti perasaan anakku! ˜Ayahanda, ayahanda melihat air mata itu?! ˜Ya.Jalawaja, ia mengerti perasaanmu, sebagai seorang perempuan iapun menghargai kesetiaan! Gigi Jalawaja terkatup rapat, tetapi ia berkata didalam hatinya ˜Air mata itu adalah air mata buaya, betapa pandainya ia memainkan peranannya! Dalam pada itu, Raden Tumenggung Reksayuda itupun berkata ˜Jalawaja, ada hal lain yang perlu kau perhatikan, jika aku kemudian menikah dengan calon ibumu ini, bukan karena kecantikannya, tetapi ternyata calon ibumu ini dapat mengerti gejolak perasaanku menanggapi sikap pamanmu Kangjeng Adipati Sendang Arum. Pamanmu sejak beberapa tahun terakhir, sudah tidak dapat mengendalikan dirinya. Caranya memegang pemerintahan sudah berubah, ia tidak lagi mengikat diri kepada tatanan dan paugeran yang berlaku! ˜Siapakah yang mengatakan itu, ayahanda?! ˜Angger Jalawaja! berkata Miranti ˜Aku masih dapat mengerti, bahwa hal yang tidak kau sukai kau timpakan kepadaku. Aku tidak berkeberatan ngger. Tetapi ketahuilah, bahwa apa yang dikatakan oleh ayahandamu itu benar. Kangjeng Adipati sudah tidak lagi berdiri diatas landasan keadilan dan kebenaran. Kangjeng Adipati tidak lagi menghiraukan pendapat sentana dan nayaka, termasuk ayahandamu. Padahal semua orang kadipaten ini tahu, siapakah ayahandamu, Jalawaja.! ˜Kau tidak usah berbicara tentang pemerintahan Sendang Arum, apalagi meyebarkan fitnah seolah-olah paman Adipati sudah kehilangan kendali, sehingga pemerintahan tidak lagi berlandaskan pada keadilan dan kebenaran! ˜Jalawaja, bersikaplah baik kepada ibumu! ˜Ayah. Tidak sepantasnya ia memfitnah paman Adipati! ˜Yang dikatakannya itu bukan fitnah, tetapi kenyataan yang ada sekarang di kadipaten ini! ˜Tidak, aku tidak melihat bahwa paman Adipati telah meninggalkan jalur tatanan dan paugeran. Para nayaka dan sentana juga tidak menganggap seperti itu! ˜Kau masih terlalu kanak-kanak untuk mengerti, tetapi itulah kenyataan yang ada di kadipaten ini, karena itu, Jalawaja, aku akan melanjutkan perjuanganku yang tertunda karena ibundamu meninggal! ˜Melanjutkan perjuangan yang mana? Ibunda tidak pernah sependapat dengan ayahanda tentang apa yang ayahanda sebut dengan perjuangan itu! ˜Bukan tidak sependapat. Tetapi ibundamu ingin tenang dan damai, sehingga didalam dirinya tidak terdapat api perjuangan itu. Aku tidak dapat menyalahkannya, aku hanya ingin mengatakan, bahwa calon ibumu ini berbeda, ada api didalam dadanya, api untuk meyalakan perjuangan ketidak-adilan dan kesewenang-wenangan. ˜Omong-omong, perempuan ini sama sekali tidak akan memperjuangkan apa-apa bagi rakyat Sendang Arum. Tetapi ia ingin memperjuangkan bagi dirinya sendiri untuk mendapatkan pangkat, derajat dan kemudian semat! ˜Jalawaja! potong ayahandanya ˜Kau harus menjaga kata-katamu! ˜Maaf ayahanda, aku berkata sebenarnya! Mata Miranti menjadi semakin basah, titik-titik air jatuh satu-satu di pangkuannya. ˜Gila perempuan ini! geram Jalawaja didalam hatinya! Sementara itu Raden Tumenggung membentak Jalawaja ˜Sadari, bahwa kata-katamu itu itu telah menusuk perasaan calon ibumu, juga menusuk perasaanku!! ˜Biarlah kakangmas, aku tidak berkeberatan. Mungkin beban seperti inilah yang harus aku tanggungkan sejak pertama kali aku menginjakkan kakiku didalan lingkungan keluarga kakangmas. Sejak kecil akupun telah mendengar dongeng tentang soorang ibu tiri yang merebus anaknya didalam sebuah belanga panjang! Jalawaja menghentakkan tangannya, tetapi anak muda itu masih berusaha mengendalikan sikapnya dihadapan ayahandanya. ˜Jalawaja, baiklah, kita tidak berbicara tentang pemerintahan Sendang Arum, yang ingin aku bicarakan sekarang adalah rencanaku untuk menikah lagi dengan calon ibumu ini! ˜Jika ayahanda bertanya kepadaku, aku tidak setuju ayahanda! ˜Kenapa?! ˜Aku sudah banyak menyatakan sikapku ayah! ˜Jalawaja, jika demikian maka aku akan mempergunakan hakku sebagai seorang ayah, aku beritahukan kepadamu, aku akan menikah lagi, aku tidak merasa perlu minta persetujuanmu! ˜Jika itu yang ayahanda kehendakki, silahkan! ˜Jadi kau menurut perintah ayahandamu karena aku berkuasa untuk melakukannya?, bukan karena kau menyadarinya, siapakah aku dan siapakah kau. Bukan karena kau mengasihiku karena aku juga mengasihimu! ˜Ayahanda, jika aku tidak mengasihi ayahanda, maka aku tidak peduli terhadap rencana ayahanda untuk menilah lagi, tetapi karena aku mengasihi ayahanda, maka aku memberanikan diri untuk tidak menyetujui niat ayahanda itu! ˜Jalawaja, kau tidak mempunyai pilihan, kau harus menerima kenyataan, bahwa aku akan menikah dengan Rara Miranti! ˜Silahkan ayahanda, tetapi aku masih mempunyai pilihan, aku akan segera pergi ke lereng gunung, aku akan tinggal bersama eyang Ajar Anggara, aku akan semakin mendekatkan diri dengan Kang Murbeng Dumadi sebagaimana eyang Ajar Anggara! ˜Jalawaja! ˜Aku akan tinggal bersama eyang di lereng gunung, di pondok eyang yang tenang dan damai, jauh dari rasa tamak, dengki, iri dan benci! ˜Jangan pergi ngger! berkata Miranti di sela-sela isak tangisnya. Tetapi isak tangis Miranti itu membuat Jalawaja semakin muak. ˜Ayahanda, aku tetap mengasihi ayahanda, sepeninggal ibu, orang tuaku tinggal seorang, ayahanda. Tetapi sekarang terpaksa aku pergi meninggalkan ayahanda! Jalawajapun kemudian meninggalkan Dalem Katumenggungan dengan janji di dalam hatinya, bahwa ia tidak akan menginjakkan kakinya lagi di halaman rumahnya. Jika Miranti itu masih ada di rumah itu. Ki Jayataruna mendengarkan cerita Jalawaja itu sambil mengangguk-angguk, kemudian iapun berkata ˜Jika persoalannya demikian, maka aku tidak akan dapat mencampurinya, segala sesuatunya terserah kepada Raden Jalawaja! ˜Seperti yang sudah aku katakan, paman, aku tidak akan pulang! ˜Baiklah ngger, aku akan menyampaikan kepada Raden Ayu Reksayuda, tetapi meskipun demikian ngger, ternyata Raden Ayu Reksayuda itu hatinya tidak seburam yang ngger duga! ˜Meskipun hati Miranti itu putih seperti kapas, aku tidak akan pulang! ˜Jika demikian, sebaiknya aku mohon diri, Ki Ajar! ˜Ki Tumenggung, aku mohon maaf atas sikap Jalawaja, akupun minta maaf, karena aku tidak mampu melunakkan hati cucuku! ˜Aku tidak akan minta maaf kepada Miranti karena sikapku ini! ˜Baiklah Raden, segela sesuatunya nanti akan aku sampaikan kepada Raden Ayu Reksayuda! ˜Silahkan paman, aku hanya dapat mengucapkan selamat jalan! ˜Aku juga mengucapkan selamat jalan, Ki Tumenggung! ˜Aku mohon diri Ki Ajar, aku mohon diri Raden! Sejenak kemudian, Ki Jayatarunapun meninggalkan rumah Ki Ajar. Ki Ajar dan Jalawaja melepas mereka di regol halaman. Mereka perhatikan kuda yang berlari di jalan setapak yang menuruni kai pegunungan. Debu yang putih mengepul tipis di belakang kuda yang berlari itu. Namun sejenak kemudian Ki Jayataruna itu telah hilang di tikungan. Demikian Ki Jayataruna itu tidak nampak lagi, maka Ki Ajar dan Jalawaja telah masuk kembali ke regol halaman pondok yang sederhana itu. ˜Jalawaja! berkata Ki Ajar setelah keduanya duduk kembali di serambi ˜Ternyata hatimu keras sekali ngger! Jalawaja menundukkan kepalanya. ˜Hatimu sama sekali tidak tergerak ketika kau mendengar bahwa ayahmu yang seharusnya diasingkan selama lima tahun itu, kini mendapat pengampunan meskipun ia baru menjalaninya selama tiga tahun! ˜Aku minta maaf eyang! ˜Justru karena kau disini, Jalawaja, sedangkan aku adalah ayah dari isteri Raden Tumenggung Reksayuda yang telah tiada, maka ayahmu akan mempunyai dugaan yang keliru. Ayahmu akan dapat menduga, bahwa aku manjadi sakit hati karena ayahmu menikah lagi! ˜Tidak eyang, ayah tahu bahwa penolakan itu timbul dari dalam hatiku sendiri! ˜Memang kaulah yang mengatakannya kepada ayahmu, tetapi mungkin ayahmu atau ibu tirimu atau siapapun akan dapat menduga lain. Mereka dapat menganggap bawha sikapmu itu dilandasi oleh hasutan-hasutanku! ˜Tidak eyang, tidak eyang, jangan menyalahkan diri sendiri, jika sikapku ini salah, maka akulah yang bersalah, bukan eyang! ˜Jalawaja, kau harus menyadari, bahwa ayahandamu itu tetap saja ayahandamu, meskipun kau tidak mengakuinya. Semua orang tahu bahwa kau adalah putera Raden Tumenggung Reksayuda, meskipun kau membencinya, apalagi setelah ayahmu itu diasingkan, kau tetap saja anaknya! ˜Aku tahu eyang, yang aku lakukan ini tidak ada hubungannya dengan hukuman yang harus disandang oleh ayahanda. Aku akan tetap menghormatinya dan akan tetap berbuat apa saja baginya meskipun ayahanda diasingkan, tetapi yang tidak dapat aku terima adalah karena ayah telah menikah lagi dengan Rara Miranti! ˜Apapun yang dilakukan oleh ayahmu, Jalawaja, setuju atau tidak setuju, kau tidak dapat ingkar, bahwa ayahandamu adalah lantaran dari Yang Maha Kuasa untuk menghadirkanmu di dunia ini. Memang itu bukan atas kehendakmu sendiri, Jalawaja, sehingga kau dapat menimpakan semua tanggung jawab kepada ayahandamu, tetapi pada dasarnya, ayahmu telah mendapat kepercayaan dari Allah SWT menjadi lantaran keberadaanmu di muka bumi ini, karena itu, maka kau harus menghormati kepercayaan Sang Pencipta itu! ˜Ya.eyang! ˜Nah. Mumpung Ki Jayataruna belum jauh, susullah dan ikutlah bersamanya. Kudamu akan mampu mengimbangi kecepatan berlari kuda Ki Jayataruna! ˜Ampun eyang, aku tidak dapat melakukannya! ˜Jalawaja!! nada suara Ki Ajar meninggi ˜Kenapa kau tidak mau mendengar kata-kataku, Jalawaja!, bukankah kau tahu, bahwa aku tidak akan menjerumuskanmu kedalam satu keadaan yang buruk bagimu?, apakah kau malu menampakkan dirimu di Sendang Arum karena ayahmu pernah dihukum? Bahkan diasingkan! ˜Eyang,.! Jalawaja itu beringsut sejengkal ˜Sebenarnya aku akan menyimpan rahasia yang satu ini didalam hatiku. Tetapi aku tidak ingin mejadi seorang anak yang durhaka di mata eyang, akupun tidak ingin menjadi seorang anak yang tidak patuh dan berhati sekeras batu hitam.! Jalawaja berhenti sejenak, lalu katanya ˜Eyang.., seperti yang sudah aku katakana kepada ayahanda langsung, bahwa aku tetap mengasihi ayahanda, aku memang tidak dapat melepaskan diri dari hubungan darah itu. Apapun yang terjadi dengan ayah, aku adalah tetap anaknya, aku tidak akan merasa malu disebut sebagai anak seorang penghianat, aku tetap mengadahkan wajahku meskipun aku anak seorang buangan! ˜Jadi apa yang menghalangimu pulang, Jalawaja?, karena kau tidak setuju ayahandamu menikah lagi?! ˜Aku memang manjadi sangat kecewa bahwa ayahanda telah menikah lagi, tetapi seandainya ayahanda tidak menikah dengan Miranti, aku tidak berjanji untuk tidak mengijakkan kakiku di rumahku selama Miranti itu masih ada di rumah.! ˜Kenapa dengan Miranti?! ˜Eyang.., Sebenarnya aku ingin menyimpan rahasia ini dalam-dalam, aku tidak ingin mengatakannya kepada siapapun juga, termasuk eyang! ˜Jika kau sudah memutuskan untuk membuka rahasia itu sekarang, katakan! ˜Eyang.., Sebelum aku bertemu dengan Miranti di ruang dalam rumahku pada saat Miranti berdua dengan ayah, aku sudah mengenal gadis itu! ˜Kau sudah mengenalnya?! ˜Ya. aku sudah mengenalnya, aku sudah juga mengatakan kepada ayahanda, bahwa aku sudah mengenalnya, tetapi yang aku katakan juga hanya terbatas sampai disitu, meskipun sebenarnya aku mempunyai cerita yang cukup panjang tentang Miranti! Ki Ajar tidak berkomentar, ia menunggu Jalawaja itu menceritakan rahasianya yang telah menghalanginya untuk pulang dalam keadaan apapun juga. Dengan nada suara yang dalam, maka Jalawaja itupun bercerita. Menjelang senja Jalawaja asyik duduk di bendungan dengan pancing di tangannya, sudah sejak matahari turun. Jalawaja duduk di bendungan itu, Ia terbiasa berada di tempat itu untuk memancing ikan, kadang-kadang dengan dua atau tiga orang kawannya, bahkan kadang-kadang mereka berlomba, siapakah yang mendapat ikan terbanyak, dianggap menang. Dan berhak mendapatkan ikan kawan-kawannya yang lain. Apalagi sepeninggal ibunya, kadang-kadang Jalawaja tidak menyadarinya, bahwa seekor ikan telah menyambar umpan pancingnya, karena Jalawaja sedang merenungi kepergian ibunya, rasa-rasanya Jalawaja masih belum puas berada di bawah sayap kasih ibunya. Namun tiba-tiba ibunya harus dipanggil pulang oleh Sang Pencipta. Senja itu Jalawaja terkejut ketika seorang gadis tiba-tiba saja sudah duduk disampingnya. ˜Kakang! Jalawaja berpaling, yang duduk disampingnya adalah Rara Miranti. ˜Miranti, sebentar lagi hari akan gelap, kenapa kau datang kemari?, jika ada orang yang melihat, maka orang mempunyai dugaan yang keliru tentang kita! ˜Tidak kakang, mereka tidak akan mempunyai dugaan yang keliru, mereka mengira bahwa kita berdua telah saling jatuh cinta, kita berdua sudah berjanji untuk hidup bersama, bukankah mereka tidak keliru?! ˜Miranti! Jalawaja beringsut menjauh, tetapi Mirantipun beringsut pula, bahkan bersandar di bahu Jalawaja ˜Kakang, aku ingin jawabmu, kapan kita akan menikah! ˜Miranti, siapakah yang pernah mengatakan kepadamu bahwa kita akan menikah?! ˜Aku mencintaimu kakang! ˜Jangan berbicara tentang pernikahan, Miranti, kita masih terlalu muda untuk berbicara tentang pernikahan! ˜Tidak kakang, kita tidak terlalu muda lagi, Marinten yang dua tahun lebih muda dari aku, juga telah menikah, Rebana yang lebih muda dari kakang, juga sudah menikah! ˜Tetapi aku masih belum ingin menikah Miranti, sementara itu hubungan diantara kita adalah hubungan wajar saja, aku tidak pernah mengatakan kepadamu, bahwa pada suatu saat kita akan menikah! ˜Jangan bergurau kakang, marilah kita berbicara dengan sungguh-sungguh! ˜Apa yang harus dibicarakan?! ˜Hari-hari yang akan kita jelang, hari-hari yang indah seperti indahnya senja ini, kakang. Sebentar lagi matahari akan terbenam dibalik bukit itu, tetapi diseberang, bulan akan segera bangkit menghiasi langit, dedaunan, air di sungai itu, kita berdua, akan segera mandi dengan cahayanya yang gemulai! ˜Sudahlah Miranti, jangan bermimpi, bukankah kau tidak tidur?! ˜Kita dapat tidur disini kakang.! ˜Ketika Miranti mendesaknya lagi, Jalawajapun segera bangkit berdiri, digulungnya pancingnya sambil berkata ˜Aku akan pulang Miranti! ˜Miranti tertawa, iapun bangkit berdiri sambil berkata ˜Tidak ada seorangpun yang berada di sekitar kita, kakang. Hanya ada aku dan kau saja! ˜Miranti, jangan mendesak, kita akan mengurangi hari-hari mendatang dalam kesibukan kita masing-masing, kita tidak dapat berada di dalam satu biduk, diantara kita tidak terdapat berhubungan apa-apa selain hubungan sebagai kawan yang baik, bahkan mungkin sebagai dua orang saudara! ˜Sudahlah, jangan menggodaku lagi, kakang, marilah kita berjanji, bahwa kita akan mengikat hidup kita sebagai suami isteri, aku datang kepadamu sekarang dengan penyerahan yang utuh, apapun yang akan terjadi di kemudian hari, aku tidak akan menyesalinya! ˜Jangan Miranti, sebaiknya kita menempuh jalann hidup kita masing-masing, kau dengan jalan hidupmu, aku dengan jalan hidupku sendiri, sudah aku katakan kepadamu, bahwa aku masih belum menginginkan seorang perempuan yang akan hidup bersamaku kelak! ˜Kakang, apakah kakang bersungguh-sungguh?! ˜Ya, Miranti! ˜Jadi apa yang kakang lakukan selama ini terhadap aku?! ˜Apa yang aku lakukan?, bukankah aku tidak melakukan apa-apa?, Kita memang berkawan, hanya itu tidak lebih, seperti aku berkawan dengan gadis-gadis yang lain! ˜Jadi kakang telah menolak aku?! ˜Kau salah paham Miranti! ˜Kakang, jadi sekarang benar-benar menolak aku?! ˜Sudah aku katakan, bahwa belum waktinya aku berhubungan dengan seorang perempuan untuk membicarakan pernikahan! ˜Kakang! wajah Miranti menjadi merah, ˜Aku sudah meninggalkan trapsilaning wanita, kakang, aku sudah mengorbankan harga diriku sebagai seorang perempuan, aku datang kepadamu untuk menyerahkan jiwa dan ragaku dan bahkan apa saja yang kau kehendaki kakang, tetapi ternyata kakang telah menyakiti hatiku! ˜Aku minta maaf Miranti, agaknya kau telah salah mengerti atas sikapku selama ini! ˜Kakang, jadi kakang sekarang telah benar-benar berpaling kepada Ririswari?. Tentu saja aku tidak akan mampu menyainginya, jika kakang memperbandingkan aku dengan dia, Riris adalah anak seorang Adipati, ia memang memiliki beberapa kelebihan yang dapat membuat kakang menjadi silau! ˜Miranti, sebenarnyalah, bahwa aku masih belum berniat tentang perjodohan, kita masih terlampau muda, aku masih ingin memperdalam ilmu kanuragan dan ilmu kajiwan agar dapat menjadi bekal hidupku kelak! ˜Itu hanya alasanmu saja, kakang. Baik kakang, kau telah menyakiti hatiku, aku tidak dapat menerima ini, kakang. Ingat kakang, bahwa suatu hari, aku akan menyingkirkan Ririswari, aku tidak dapat hidup diatas bumi yang sama, aku tidak dapat menghisap nafas dari lingkungan udara yang sama, selain itu, maka suatu saat, kau akan merunduk dihadapanku untuk menyembah telapak kakiku. Entah apapun caranya, tetapi aku akan melaksanakan janjiku itu. Bumi dan langit menjadi saksi! ˜Miranti! desis Jalawaja. Miranti tidak mendengarkannya lagi, iapun segera berlari meninggalkan bendungan yang sudah menjadi semakin buram. Matahari telah terbenam, langit menjadi gelap. Namun bulan tidak segera nampak mengambang di langit. Awan yang kelabu mengalir dari arah lautan, semakin lama semakin tebal. Ketika kemudian hujan turun, Jalawaja masih berada di bendungan. Dibenahinya alat-alat serta kepis tempat ikan, beberapa ekor ikan yang sudah ada didalam kepisnyapun segera dilemparkan kembali ke bendungan. Dengan cepatnya ikan itupun berenang mengilang didalam genangan air bendungan yang dalam. Ketika seekor diantaranya nampak mengambang dan tidak lagi mampu bertahan, Jalawaja memandanginya dengan penuh iba. ˜Kasihan! desis Jalawaja. Namun ketika hujan menjadi semakin lebat, Jalawajapun meninggalkan bendungan itu pula dengan pakaiannya yang menjadi basah kuyup. ˜Eyang! berkata Jalawaja kemudian ˜Itulah sebabnya, aku kemudian bersumpah untuk tidak menginjakkan kakiku di rumahku jika Miranti masih berada di rumah itu. Apapun yang akan dilakukannya, tentu akan membuat hatiku menjadi semakin sakit, perempuan itu memang sedang mencari kesempatan untuk menyakiti hatiku, atau bahkan pada suatu saat akan dapat mengadu kepada ayahanda dengan cerita-cerita yang dibuat-buatnya. Yang hitam dikatakan putih, yang putih dikatakannya hitam! Ki Ajar menarik nafas panjang, sambil mengangguk-angguk, iapun berkata ˜Ngger Jalawaja, jika demikian maka ternyata kau tidak bersalah, aku harus minta maaf kepadamu, bahwa aku sudah berprasangka buruk kepadamu! ˜Eyang tidak bersalah, Eyang memang belum mengetahui persoalan yang sebenarnya! ˜Baiklah Jalawaja, jika yang terjadi seperti apa yang kau ceritakan itu, memang sebaiknya kau tidak pulang, biarlah para petugas menjemput ayahandamu di pengasingan, tetapi seandainya kau ingin ikut menjemput ayahmu, sebaiknya kau langsung saja menghadap pamanmu Adipati! ˜Tidak eyang, aku tidak usak ikut menjemput ayahanda di pengasingan, seandainya itu aku lakukan, belum tentu ayah merasa senang melihat kehadiranku! ˜Ayahmu tentu merasa berbahagia jika kau ada diantara mereka yang menjemputnya, tetapi persoalanmu dengan Miranti merupakan penghalang bagimu untuk melakukannya! ˜Ya, eyang! ˜Dengan penjelasanmu itu, aku tidak akan pernah memaksamu lagi untuk pulang, apapun alasannya! ˜Terima kasih atas pengertian eyang! ˜Ki Ajar Anggarapun kemudian bangkit berkata ˜Sekarang, aku akan pergi ke dapur, ngger! ˜Apa yang akan eyang kerjakan?! ˜Membuat gula! ˜Biarlah aku yang menjerang legennya, eyang, nanti saja jika sudah menjadi lebih kental, aku akan memanggil eyang! ˜Baiklah, jika demikian, jerang legennya, aku akan pergi ke blumbang, aku belum memberi ikan-ikan di blumbang itu! Ketika Ki Ajar Anggara pergi ke blumbang, maka Jalawajapun sibuk membuat api, dipanasinya legen kelapa untuk dibuat gula. Dalam pada itu, Ki Jayataruna melarikan kudanya semakin kencang, dilihatnya mendung menggantung di langit, semakin lama semakin tebal. Tetapi ternyata bahwa hujan tidak segera jatuh, ada angin semilir yang mendorong mendung itu mengalir ke utara, serta singgah di lereng gunung yang tinggi. ˜Jika hujan itu turun di lereng gunung, maka sungai-sungai akan banjir! berkata Ki Jayataruna didalam hatinya. Karena itu, maka kudanyapun berlari semakin kencang. Ketika matahari turun ke balik bukit disisi barat langit, Ki Jayatarunapun telah memasuki gerbang kota. Namun Ki Jayataruna tidak memperlambat kudanya. Ternyata titik-titik hujan mulai turun, semakin lama menjadi semakin banyak. Ketika hujan benar-benar turun, Ki Jayataruna telah memasuki regol halaman rumah Raden Ayu Reksayuda. Namun meskipun demikian, Ki Jayataruna tidak dapat meninggalkan unggah-ungguh. Dengan tangkasnya Ki Jayataruna meloncat turun dari kudanya, kemudian berlari sambil menuntun kudanya di pendapa. Dengan tergesa-gesa Ki Jayataruna mengikat kudanya di patok-patok yang sudah disediakan, kemudian berlari-lari kecil menuju ke tangga pandapa. Untuk menghindari air hujan yang kemudian bagaikan tercurah, Ki Jayatarunapun naik tangga, namun kemudian berhenti. Seenak Ki Jayataruna berdiri termangu-mangu, Ki Tumenggung manjadi berdebar-debar ketika ia melihat pintu pringgitan diseberang pendapa itu terbuka. Raden Ayu Reksayuda muncul dari balik pintu itu sambil tersenyum. ˜Marilah kakang Tumenggung, silahkan naik! ˜Maaf Raden Ayu, pakaianku agak basah! ˜Tidak apa-apa, kakang, silahkan masuk ke ruang dalam! ˜Terima kasih Raden Ayu, aku akan duduk di pringgitan saja, Aku hanya singgah untuk memberikan laporan hasil perjalananku menjumpai putera Raden Ayu, Raden Jalawaja! ˜Karena itu, marilah, silahkan masuk, hujan menjadi semakin lebat, anginnya terlalu kencang! Ki Jayataruna memang merasa ragu, tetapi kitka Raden Ayu Reksayuda itu mempersilahkannya sekali lagi, maka Ki Jayataruna teleh melangkah ke pintu dan masuk ke ruang dalam. Dalam pada itu, lampu-lampu minyakpun telah menyala, di pendapa, di pringgitan dan demikian pula lampu di ruang dalam. Sinarnya yang ke kuning-kuningan menggeliat di sentuh angin, sehingga bayang-bayang tiang dan perabot di ruang dlam itupun ikut menggeliat pula. Dengan wajah yang cerah Raden Ayupun kemudian duduk pula untuk menemui Ki Jayataruna. ˜Apakah kakang Tumenggung baru pulang dari lereng bukit untuk menemui angger Jalawaja?! ˜Ya Raden Ayu! ˜Kakang Tumenggung langsung datang kemari?! ˜Ya, Raden Ayu, aku ingiin segera memberikan laporan kepada Raden Ayu! ˜Duduk sajalah dahulu kakang, kakang tentu letih, haus dan barangkali lapar! ˜Tidak, Raden Ayu, aku tidak letih, aku sudah terbiasa dan bahkan terlatih, sehingga daya tahanku sebagai seorang prajurit masih dapat dibanggakan! Raden Ayu Reksayuda tersenyum, katanya ˜Aku percaya kakang, kakang adalah seorang prajurit yang terlatih, tetapi silahkan duduk dahulu, kakang! Sebelum Ki Jayataruna menjawab, maka Raden Ayu itu sudah bangkit dan meninggalkan Ki Jayataruna duduk termangu-mangu. Demikian Raden Ayu hilang di balik pintu, maka Ki Jayataruna sempat memperhatikan keadaan di sekelilingnya, tiang-tiang yang kokoh dan berukir, gebyok kayu yang membatasi ruang dalam itu dengan pringgitan dan bahkan yang menyekat ruang itu dengan warna-warna yang lunak. ˜Rumah yang baik! berkata Ki Jayataruna didalam hatinya. Ki Jayataruna sempat memperhatikan selintru kayu yang juga berukir krawangan, juga disungging seperti gebyok-gebyoknya. Rumah yang baik itu tertata rapi, sehingga nampak menjadi semakin cantik. Ki Jayataruna yang memperhatikan ukiran-ukiran itu dengan seksama, terkejut ketika tiba-tiba saja pintu terbuka. Raden Ayu masuk sambil membawa minuman yang masih nampak mengepul. ˜Jangan membuat Raden Ayu sibuk! ˜Hanya minuman kakang! ˜Tetapi tentu merepotkan Raden Ayu! ˜Bukankah kakang belum sempat minum? Ketika hujan menjadi lebat, kakang sudah berada di tangga pendapa! Ki Jayataruna tertawa, namun kemudian disadarinya, suara tertawanyapun segera tertahan, bahkan dengan telapak tangannya Ki Jayataruna menutup mulutnya. ˜Tidak apa-apa kakang, justru suara tertawa yang sertamerta itu membuat hati seakan-akan terbuka! ˜Ya, Raden Ayu! jawab Ki Jayataruna meskipun ia tidak mengerti maksudnya. ˜Aku sengaja menghidangkan sendiri minuman ini buat kakang, aku tidak dapat mempercayakannya kepada abdi di katumenggungan ini, karena kadang-kadang mereka kurang dapat menempatkan diri dihadapan tamu-tamuku, apalagi dihadapan kakang Tumenggung! ˜Aku bukan tamu yang harus dihormati?, aku hanya seorang Tumenggung! ˜Lalu siapa yang harus dihormati jika bukan seorang Tumenggung di Kadipaten ini?, Bukankah kakangmas Reksayuda juga seorang Tumenggung! ˜Tetapi kedudukan Raden Reksayuda berbeda dengan kedudukanku, Raden Ayu, Raden Tumenggung Reksayuda adalah Tumenggung Wreda, selebihnya Raden Raden Tumenggung Reksayuda adalah Sentana Dalem Kangjeng Adipati Sendang Arum! ˜Apa bedanya?, bahkan secara kewadagan, Ki Tumenggung Jayataruna mempunyai banyak kelebihan, Ki Tumenggung masih masih muda, hari-hari depannya masih jauh lebih panjang, sehingga sepantasnya bahwa kakang Tumenggung Jayataruna masih mempunyai cita-cita yang jauh lebih tinggi dari yang pernah di capai oleh kangmas Tumenggung Reksayuda! ˜Ah, sebaiknya aku tidak usah berangan-angan, Raden Ayu, aku tidak akan mungkin mencapai tataran yang lebih tinggi dari kedudukanku yang sekarang, jika aku berangan-angan untuk menggapai tingkat kedudukan yang lebih tinggi itu, aku akan kecewa di kemudian hari, aku akan disebut seperti cecak nguntal cagak, seperti seekor cicak yang akan menelan tiang rumah ini! Raden Ayu Reksayuda tertawa, katanya ˜Kakang pandai juga berandai-andai, jika bukan seperti cicak nguntal cagak, maka pepatah lain mengatakan seperti walang nggayuh rembulan, seperti belalang merindukan bulan! ˜Lain Raden Ayu, artinya agak berbeda, meskipun keduanya ingin menunjukkan bahwa kemampuan pencapaian seorang itu terbatas! ˜Apa bedanya, kakang?! ˜Walang nggayuh rembulan adalah cerita tentang seorang laki-laki yang merindukan seorang perempuan dari tataran yang berbeda, mungkin seorang anak petani yang merindukan seorang anak bangsawan, mungkin seorang laki-laki miskin, menginginkan seorang perempuan yang kaya raya.! ˜Apakah kakang pernah mendengar paribasan yang maknanya sebaliknya, pakah ada paribasan yang berbunyi REMBULAN NGGAYUH WALANG ING ARA-ARA KANG KEBAK ALANG-ALANG? (Rembulan merindukan belalang di padang ilalang?)! ˜Ah, tentu tidak ada Raden Ayu, dalam kenyataannyapun tidak akan ada! Raden Ayu tertawa, katanya ˜Minumlah kakang! ˜Terima kasih Raden Ayu! Ki Jayataruna itupun menggapai mangkuknya, tetapi tanpa diketahui sebabnya tangannya menjadi gemetar. Setelah minum beberapa teguk, maka Ki Tumenggung itupun berkata ˜Sudahlah Raden Ayu, sudah malam, aku mohon diri! ˜Masih hujan kakang, nanti saja jika hujan sudah teduh! ˜Mendungnya tebal sekali Raden Ayu, tentu hujan agak lama baru teduh! ˜Bukankah disini kakang tidak kehujanan?! "Ya, Raden Ayu, tetapi aku tidak akan dapat tetap berada disini! ˜Kenapa?! ˜Jika hujan tidak segera reda, bahkan sampai jauh malam! ˜Bahkan sampai dini hari, kakang! Tiba-tiba saja keringat dingin mengembun di seluruh tubuh Ki Tumenggung Jayataruna. ˜Kakang! berkata Raden Ayu Reksayuda kemudian ˜Bukankah kakang masih belum menceritakan perjalanan kakang menemui Jalawaja! ˜Ooo..! Ki Jayataruna seolah-olah tersadar dari sebuah mimpi, ia singgah di rumah Raden Ayu Reksayuda untuk memberikan laporan tentang perjalanannya menemui Raden Jalawaja, tetapi pembicaraannya dengan Raden Ayu serta sikap perempuan itu, seakan-akan telah membiusnya. Karena itu, maka Ki Jayataruna itupun segera menceritakan hasil perjalanannya menemui Raden Jalawaja. Bab 5 ˜Jadi anak itu tidak mau pulang, Ki Tumenggung?! ˜Ya, Raden Ayu! ˜Kenapa?, apakah anak itu tidak mengatakan alasannya?! Ki Jayataruna menjadi ragu-ragu, namun kemudian ia menggeleng, ˜Tidak, Raden Ayu, Raden Jalawaja tidak mengatakan alasannya, kenapa ia tidak mau pulang dan tidak mau menjemput ayahandanya dari pengasingan! ˜Anak itu memang keras kepala, atau mungkin kakeknyalah yang menghasutnya, karena ia tidak setuju, sepeninggal anak perempuannya, ibu Jalawaja, kakangmas Tumenggung telah mengambil aku sebagai isterinya yang tentu mempunyai banyak kelebihan dari anak perempuannya itu! Ki jayataruna menjadi berdebar-debar, namun sekali lagi iapun berkata ˜Entahlah Raden Ayu! ˜Baiklah Kakang Tumenggung, aku sangat berterima kasih atas kesediaan kakang Tumenggung menemui angger Jalawaja, mudah-mudahan hatinya pada suatu saat dapat menjadi lunak! lalu katanya selanjutnya ˜Aku berharap, mungkin setelah ayahandanya ada di rumah, ia mempunyai sikap yang lain! ˜Ya, Raden Ayu! ˜Nah, minumlah kakang, jangan mengharap hujan reda! ˜Tetapi..! Raden Ayu itu tersenyum sambil berkata ˜Hujan baru akan reda esok pagi, kakang! ˜Jantung Ki Jayataruna menjadi semakin kencang berdebaran, Sementara Raden Ayu itupun berkata ˜Kakang, masih ada yang ingin aku katakan kepadamu! Dahi Ki Jayataruna berkerut, ketika ia memandang wajah Raden Ayu Reksayuda yang tersenyum, Raden Ayu itupun sedang memandanginya, sehingga dengan serta merta Ki Jayataruna itupun menundukkan wajahnya. Waktupun terasa berjalan cepat, dihari berikutnya, atas permohonan Raden Ayu Reksayuda, Kangjeng Adipati Wirakusuma telah memerintahkan Ki Tumenggung Reksabawa dan Ki Tumenggung Jayataruna menghadap Adipati Jayanegara di Pucang Kembar untuk memberitahukan keputusan Adipati Wiraksuma bahwa Raden Tumenggung Wreda Reksayuda sudah mendapat pengampunan serta diperkenankan memasuki Kadipaten Sendang Arum. Dua Tumenggung bersama dua orang pengawal, akan menjemput Raden Resksayuda untuk dibawa kembali ke Kadipaten Sendang Arum. ˜Kapan hamba berdua harus berangkat, Kangjeng?! bertanya Ki Reksabawa. ˜Hari ini kalian dapat menyiapkan segala sesuatunya yang kalian perlukan dalam tugas kalian itu. Besok kalian berdua bersama dua orang pengawal akan pergi ke Pucang Kembar, kalian akan bermalam semalam di Pucang kembar kemudian keesokan harinya, kalian pulang bersama kakangmas Tumenggung Wreda Reksayuda! ˜Hamba Kangjeng! ˜Sekarang kalian berdua aku perkenankan meninggalkan pertemuan ini! Hari itu, Ki Reksabawa dan Ki Jayataruna bersiap-siap untuk pergi ke Pucang Kembar, Dua orang prajurit pilihan telah diperintahkan untuk bersiap-siap pula. Esok pagi-pagi sekali mereka akan berangkat ke Pucang Kembar. Ketika fajar menyingsing di keesokan harinya, maka empat orang berkuda telah melarikan kuda mereka meninggalkan pintu gerbang kota, mereka mengemban perintah Kangjeng Adipati untuk menjemput Raden Reksayuda dari pengasingan. ˜Aku ingin tahu, apakah orang-orang yang mencegat kita waktu lalu, masih juga menghadang orang-orang yang sedang dalam perjalanan! berkata Ki Jayataruna. ˜Tentu tidak, mereka tentu sudah menjadi jera, apalagi jika mereka ketahui kitalah yang sedang lewat! ˜Belum tentu, kakang, kita akan meyakinkannya, tetapi jika mereka masih juga menyamun orang lewat, aku akan membunuh mereka semua! Ki Reksabawa hanya dapat menarik nafas panjang. Ketika mereka melewati kedai yang pernah mereka singgahi, Ki Jayatarunapun berkata, ˜Kita singgah di kedai itu, kakang. Kuda-kuda kita tentu sudah letih, kedua orang pengawal itu tentu juga sudah haus dan bahkan lapar! Ki Reksabawa mengangguk sambil menjawab ˜Baiklah, kita akan singgah di kedai itu lagi, agaknya pasar Patalan tidak seramai pada saat kita lewat waktu lalu! ˜Hari ini bukan hari pasaran, tetapi karena pasar ini terhitung pasar yang besar, maka meskipun bukan hari pasaran, banyak juga orang yang datang! Sejenak kemudian, mereka berempat telah duduk di dalam kedai itu. Agaknya pelayan kedai itu masih sempat mengenalinya, karena itu, pelayan itu segera mendekatinya, namun sikapnya agak lain karena ia melihat ciri-ciri keprajuritan pada kedua orang yang pernah singgah di kedai itu. ˜Lama aku tidak singgah! berkata Ki Jayataruna. ˜Ya, Ki Sanak! ˜Apakah orang-orang yang waktu itu singgah di kedai ini masih sering datang kemari?, maksudku orang-orang yang kau sebut penjahat itu! ˜Tidak, Ki Sanak, mereka tidak pernah kelihatan lagi sejak Ki Sanak lewat! ˜Apakah ada orang lain yang menggantikan mereka melakukan kejahatan disini?! ˜Tidak, Ki Sanak, nampaknya tidak, entahlah jika aku tidak mengetahuinya! ˜Sukurlah jika mereka sudah berhenti melakukan kejahatan, waktu itu mereka menyamun kami, akmi telah membunuh beberapa orang diantara mereka! ˜Membunuh mereka?! ˜Tidak semuanya, hanya yang keras kepala, bukankah dengan demikian, kelompok mereka tidak mengganggu lagi! ˜Ya, Ki Sanak, dihari-hari pasaran, gerombolan itu tidak pernah datang kemari! ˜Mereka sudah menjadi jera, mudah-mudahan untuk selamanya mereka tidak akan bangkit lagi! Ki Jayataruna itupun kemudian memesan makan dan minum bagi mereka berempat. ˜Ki Tumenggung pernah dirampok disini?! bertanya salah seorang prajurit pengawal. ˜Bukan disini, di bulak sebelah, tetapi mereka mengawasi kami berdua sejak di kedai ini! Prajurit itu mengangguk-angguk, katanya ˜Yang masih hidup, tentu sempat menyesali kebodohan mereka, kenapa mereka ingin merampok dua orang senopati! Sambil tersenyum Ki Reksabawapun berkata ˜Karena itulah, maka sekarang aku membawa dua orang prajurit pengawal! ˜Ah, Ki Tumenggung, apa artinya kami berdua! sahut prajurit yang seorang lagi. ˜Jika kami pergi juga bersama Ki Tumenggung, maka tugas kami adalah membawakan barang-barang yang nanti akan dibawa oleh Raden Tumenggung Wreda Reksayuda! Ki Reksabawa tertawa, yang lainpun ikut tertawa pula. Mereka berempat tidak terlalu lama berada di kedai itu, setelah selesai makan, minum dan beristirahat sejenak, maka merekapun meninggalkan kedai itu, kepada pemilik dan pelayan kedai itu, Ki Jayatarunapun berkata ˜Jika para penjahat itu masih belum jera, maka kami akan membunuh mereka semuanya, kami akan masuk kesarang mereka dan manghancurkannya! Pemilik dan pelayan kedai itu hanya mengangguk-angguk saja. Sejenak kemudian, maka kedua Tumenggung serta kedua orang prajurit itu melarikan kuda mereka, kuda mereka yang sudah beristirahat pula, sudah minum serta makan rumput yang segar. Sebenarnyalah bahwa tidak ada lagi orang yang mengganggu perjalanan mereka, sehingga perjalanan mereka menjadi lebih cepat dari perjalanan mereka sebelumnya. Malam itu juga, kedua orang Tumenggung itu telah mendapat kesempatan untuk menghadap Kangjeng Adipati Jayanegara, atas nama Kangjeng Adipati Wirakusuma, maka kedua orang Tumenggung itu menjemput Raden Tumenggung Wreda Reksayuda yang telah mendapat pengampunan, sehingga sebelum Raden Reksayuda itu menjalani seluruh masa hukumannya, ia sudah diperkenankan untuk pulang. ˜Aku ikut gembira atas keputusan itu, kakang Tumenggung, Radeng Tumenggung Reksayuda terlalu sudah terlalu tua untuk diasingkan, agaknya disisa hidupnya Raden Tumenggung ingin menikmati kehidupan wajar bersama isterinya yang pada saat diasingkan, belum lama dinikahinya! ˜Hamba Kangjeng! kedua orang Tumenggung itu mengangguk-angguk. ˜Baiklah, biarlah kami membantu kakang Tumenggung berdua untuk ikut mempersiapkan segala sesuatunya, aku berharap bahwa kakang Tumenggung berdua serta kedua orang pengawal itu bermalam di Pucang Kembar malam ini, besok pagi-pagi kakang Tumenggung berdua dapat berangkat menuju ke Sendang Arum, bersama Raden Tumenggung Reksayuda, kakang berdua tentu tidak adan dapat bergerak dengan cepat karena Raden Tumenggung yang tua itu tidak akan dapat berkuda secepat anak panah, mungkin kakang Tumenggung berdua menjadi lebih telaten, tetapi kakang jangan memaksa orang tua itu melarikan kudanya sebagaimana kalian inginkan! Kedua oang Tumenggung itu tersenyum, sambil mengangguk hormat, Ki Jayatarunapun berkata ˜Hamba Kangjeng Adipati, kami berdua akan menyesuaikan diri, bukan Raden Tumenggung yang harus menyesuaikan dirinya! ˜Bagus! Kangjeng Adipatipun tertawa. Demikianlah, malam itu Ki Tumenggung Reksabawa, Ki Tumenggung Jayataruna dan kedua orang prajurit pengawalnya bermalam di Pucang Kembar, malam itu juga keduanya sudah mendapat kesempatan untuk bertemu dan berbicara langsung dengan Raden Tumenggung Wreda Reksayuda. Besok, sebelum matahari terbit, mereka akan meninggalkan tanah pengasingan. Sebenarnyalah, sebelum matahari terbit, Ki Tumenggung Reksabawa dan Ki Tumenggung Jayataruna bersama Raden Tumenggung Wreda Reksayuda telah menghadap Kangjeng Adipati Jayanegara. ˜Ampun Kangjeng Adipati, kami telah mengusik ketenangan Kangjeng Adipati yang sedang beristirahat! berkata Ki Reksabawa. ˜Tidak, aku tidak merasa terusik, setiap hari aku bangun pagi-pagi sekali, aku memerlukan udara pagi untuk menyegarakan tubuhku dan pikiranku! ˜Terima kasih Kangjeng, kami datang untuk mohon diri, kami akan segera meninggalkan kadipaten Pucang Kembar, kembali ke Sendang Arum bersama dengan Raden Tumenggung Wreda Reksayuda, yang telah diperkenankan pulang! ˜Aku mohon diri dimas, selama ini aku teleh mendapat perlindungan di kadipaten Pucang Kembar, pada saat-saat aku tidak dimanusiakan lagi oleh dimas Adipati Wirakusuma, maka aku dapat tinggal di Pucang Kembar dengan nyaman, disini aku tetap saja diperkenankan hidup bebas sebagaimana orang lain.! ˜Tetapi sekarang Kakangmas sudah mendapat pengampunan, kakangmas sudah diperkenankan pulang meskipun masa pengasingan kakangmas masih belum genap! ˜Ya, aku mengucapkan terima kasih atas pengampunan yang aku terima ini, mudah-mudahan di Sendang Arum aku masih dapat diterima sebagaimana mestinya, sehingga aku tidak justru tersisih dari pergaulan, jika itu terjadi, maka aku akan merasa lebih senang berada di Pucang Kembar! ˜Tentu tidak kakangmas, jika dimas Adipati Wirakusuma masih menganggap kakangmas perlu disisihkan, maka dimas Wirakusuma tentu tidak akan memberikan pengampunan! ˜Mudah-mudahan, dimas! ˜Nah, aku hanya dapat mengucapkan selamat jalan, mudah-mudahan perjalan kangmas Tumenggung mendapat perlindungan dari Yang Maha Kuasa, selamat sampai di rumah, bertemu dengan kangmbok Miranti! ˜Raden Reksayuda tersenyum, katanya ˜Mudah-mudahan Rara Miranti tidak lupa kepadaku! ˜Mana mungkin kangmbok melupakan kangmas Tumenggung, bukankah yang memohon pengampunan kepada dimas Adipati juga kangmbok Miranti?! ˜Ya, dimas! ˜Kangmbok tentu sudah menunggu kedatangan kangmas Tumenggung dengan jantung yang berdebar-debar! Demikianlah, pada saat cahaya langit menjadi cerah, maka Raden Tumenggung Reksayuda telah meninggalkan pintu gerbang halaman delam kadipaten. Seperti yang dikatakan oleh Kangjeng Adipati Jayanegara, maka perjalanan iring-iringan yang menjemput Raden Reksayuda itu tidak dapat terlalu cepat, Raden Reksayuda memang sudah tua, sehingga untuk berpacu sebagaimana kedua orang pada saat mereka berangkat, Raden Reksayuda sudah tidak sanggup lagi! Ki Reksabawa dan Ki Jayataruna yang harus menyesuaikan diri. Keduanya yang berada didepan, sekali-sekali harus berpaling, jika jarak diantara mereka sudah agak terlalu jauh, maka kedua orang Tumenggung itu memperlambat lari kuda mereka, sementara itu, kedua orang prajurit pengawal yang berkuda dibelakang, mulai terkantuk-kantuk. Perjalanan kuda mereka yang mereka anggap lamban, semilirnya angin di bulah-bulak panjang yang hijau, membuat mereka menjadi berat. ˜Apakah kita belum memasuki tlatah Sendang Arum, Ki Tumenggung?! bertanya Raden Reksayuda. ˜Belum Raden, beberapa lama lagi. Bukankah ada tanda di perbatasan? Kalau di jalan utama antara Sendang Arum dan Pucang Kembar terdapat sebuah gapura batu, maka di tepi jalan ini diperbatasan terdapat sebuah tugu setinggi orang! ˜Jadi kita tidak menempuh jalan utama itu?! ˜Tidak Raden! ˜Kenapa?! ˜Bukankah jalan utama itu terlalu jauh?, lewat jalan ini kita menghemat jarak beberapa ribu patok! Raden Reksayuda itu mengangguk-angguk. Ketika matahari sudah sampai di puncak, mereka masih belum sampai ke perbatasan, bahkan Raden itupun berkata, ˜Aku ingin berisitrahat barang sebentar, Ki Tumenggung! ˜Baiklah Raden, tetapi sebentar lagi kita sampai di perbatasan, kita akan beristirahat setelah kita melewati perbatasan itu! ˜Perhatikan kuda-kuda kalian, kuda-kuda itupun tentu merasa letih, haus dan barangkali lapar! ˜Apakah kita tidak dapat maju sedikit lagi Raden?! ˜Aku sudah letih sekali! ˜Baiklah Raden, Jika Raden memang ingin beristirahat, kita akan beristirahat di kedai yang ada didepan itu! ˜Aku setuju Ki Tumenggung, aku sudah haus sekali! Merekapun berlima akhirnya beristirahat di sebuah kedai, kuda-kuda merekapun mendapat perawatan seperlunya, mendapat minum dan makan rumput segar. Didalam kedai, Raden Reksayuda, Ki Jayatuna danKi Reksabawa dan dua orang prajurit pengawal itupun telah minum serta makan pula. Beberapa saat kemudian setelah mereka beristirahat beberapa lama, maka Ki Tumenggung Reksabawa itupun bertanya ˜Apakah kita sudah cukup berisitirahat, Raden?! ˜Rasa-rasanya aku segan untuk bangkit dan melanjutkan perjalanan, punggungku mulai merasa sakit, jika nanti kita kelaparan dijalan, sementara tidak kita jumpai lagi kedai, dimana kita akan makan?! ˜Kita merencanakan, di sore hari ini kita sudah sampai di halaman rumah Raden! ˜Kita akan memacu kuda kita lebih cepat lagi?! ˜Tidak Raden, tetapi Raden tidak dapat tinggal disini sampai besok! Raden itu mengangguk-angguk. Betapa malasnya, namun akhirnya merekapun melanjutkan perjalanan, sekali-kali Raden Reksayuda berdesah, punggungnya sudah mulai merasa sakit. Beberapa saat kemudian, merekapun telah sampai di perbatasan, ketika melihat sebuah tugu batu, dengan serta-merta Raden Reksayuda bertanya ˜Apakah tugu itu batas kadipaten Sendang Arum dan kadipaten Pucang Kembar?! ˜Ya, Raden! Tiba-tiba Raden Reksayuda menghentikan kudanya, dengan demikian kedua orang Tumenggung serta dua orang prajurit pengawal itupun berhenti pula, bahkan ketika Raden Reksayuda itu meloncat turun, yang lainpun meloncat turun pula. ˜Pegang kudaku! berkata Raden Reksayuda kepada seorang prajurit diantara kedua orang prajurit itu. Prajurit itupun segera menerima kendali kuda Raden Reksayuda, sementara Raden Reksayuda segera turun ke sebuah parit yang airnya nampak jernih berkilat-kilat ditimpa cahaya matahari yang sudah melewati puncak langit. Sambil membasahi wajahnya dengan air parit yang jernih itu, Raden Reksayuda berkata ˜Alangkah segarnya air di kadipaten Sendang Arum! ˜Maaf Raden! sahut Ki Jayataruna ˜tlatah Sendang Arum berada di seberang tugu itu, Raden.! ˜Ooo, tetapi jaraknya kurang beberapa jengkal saja! ˜Air itu mengalir dari tlatah Pucang Kembar! Raden Reksayuda yang tua itu mengerutkan dahinya, sementara Ki Reksabawa menggamit Ki Jayataruna sambil berdesis ˜Jangan mengganggu saja di, orang tua itu dapat menjadi sangat kecewa meskipun persoalannya tidak penting, bahkan adi hanya sekedar ingin bergurau! Ki Jayataruna tertawa tertahan. ˜Air itu sudah berada di perbatasan, Raden! berkata Ki Reksabawa Ki Reksabawa yang ikut turun ke dalam air pula ˜Memang airnya terasa sejuk, justru pada saat memasuki perbatasan Sendang Arum! ˜Ya, aku juga ingin mengatakan seperti itu! Ki Reksabawa berpaling kepada Ki Jayataruna yang masih berdiri di pinggir jalan sambil memegangi kendali kudanya, sementara kuda Ki Reksabawa telah dipegangi oleh prajurit yang seorang lagi. Baru sejenak kemudian, ketika tubuhnya sudah merasa menjadi semakin segar, Raden Reksayuda itupun segera naik ke tanggul, kemudian katanya ˜Sudah lama aku tidak menghirup udara di tanah tercinta! Ki Jayataruna tertegun, namun iapun kemudian tertawa, katanya ˜Ya, sedangkan tepat diperbatasan, udaranya terasa panas di hidung kita.! Demikianlah sejenak kemudian, kelima orang itu melanjutkan perjalanan. Namun Raden Reksayuda tidak tahan dipanggang oleh teriknya panas matahari yang justru sudah condong disisi barat langit. Karena itu, iringan-iringan itupun justru terpaksa lagi berhenti, Raden Reksayuda menjadi kehausan di perjalanan yang berat itu. Beberapa lama mereka berada di kedai, tanpa disengaja mereka mendengar seorang yang sudah lebih dahulu berada di kedai itu berbicara kepada kawannya ˜Tidak seorangpun yang mengira, bahwa laki-laki itu sampai hati membunuh isterinya!. ˜Ya, tidak seorangpun yang mengira! sahut kawannya. ˜Tetapi isteri laki-laki itu memang cantik dan jauh lebih muda dari suaminya!. ˜Itulah sebabnya ketika laki-laki itu pulang setelah menjalani hukuman dari kesalahan yang tidak pernah dilakukannya, dan didapatinya isterinya berbuat serong dengan laki-laki lain, mata laki-laki yang sabar dan alim itu telah membunuhnya! ˜Semua orang menyesali perbuatan itu! ˜Bukan hanya perbuatan itu, tetapi juga seluruh kejadiannya, kenapa laki-laki itu dihukum tanpa melakukan kesalahan apa-apa, sementara yang bersalah justru telah berbuat serong dengan isterinya?, kenapa pula isterinya telah menerima laki-laki lain pada saat suaminya menderita tekanan kewadagan dan kejiwaan!. ˜Kenapa ya?, semua orang bertanya kenapa, tetapi semuanya itu telah terjadi, kemudian laki-laki itu harus menjalani hukuman lagi karena telah membunuh isterinya, untunglah laki-laki penghianat itu sempat melarikan diri!. ˜Ya, tetapi ia jatuh ketangan orang banyak, bahkan orang itu juga hampir mati, jika saja tidak ada empat orang prajurit berkuda yang meronda! Raden Reksayuda berpaling untuk mengamati orang-orang yang sedang berbincang itu, namun dalam pada itu, keringatpun telah mengalir di punggung Ki Jayataruna pula. Raden Reksayuda mengangguk, katanya ˜Marilah, aku menjadi semakin malas, tetapi tentu aku tidak dapat bermalam disini! Beberapa saat kemudian, maka iring-iringan itu sudah melanjutkan perjalanan, meskipun mereka tidak harus berkelahi di jalan, namun ternyata waktu yang diperlukan hanpir sama panjang dengan saat beberapa waktu lalu kedua orang Tumenggung itu pergi ke Pucang Kembar. Sebelum senja, iring-iringan itu sudah memasuki pintu gerbang kota, beberapa orang yang berpas-pasanpun berhenti, mereka sudah mendengar bahwa Raden Reksayuda sudah mendapat pengampunan, karena itu, ketika mereka melihat iring-iringan itupun segera menebak, bahwa seorang diantara mereka adalah Raden Reksayuda. ˜Ya, yang ditengah diantara Ki Tumenggung Reksabawa dan Ki Tumenggung Jayataruna! berkata seorang yang kebetulan sudah mengenal kedua orang Tumenggung itu. Tetapi kawannya tidak mau kalah, katanya ˜Ya, memang yang di tengah itu, aku sudah pernah mengenal Raden Tumenggung Wreda Reksayuda, tentu saja waktu itu Raden Tumenggung itu masih muda! Namun seorang perempuan yang berdiri di dekat merekapun menyahut, ˜Masih muda?, bukankah yang masih muda isterinya?, Raden Tumenggung sendiri baru menjalani hukuman tiga tahun, karena itu, sejak diasingkan, ia memang sudah tua!. Orang yang menyebut waktu itu Raden Reksayuda masih mudapun itupun tidak mau kalah pula, iapun segera menjawab ˜Maksudku masih muda yaitu kelihatan muda, jauh lebih muda meskipun umurnya hanya bertaut tiga tahun sampai sekarang!. Perempuan itupun tidak menyahut lagi, ia lebih memperhatikan Raden Reksayuda daripada omongan laki-laki itu. ˜Isterinya yang masih muda itu tentu senang sakali menyambut kehadirannya! desis perempuan itu. Keberadaan Raden Reksayuda di jalan utama itu benar-benar telah menarik perhatian. Apalagi Ki Reksabawa dan Ki Jayataruna sengaja memperlambat kuda mereka. ˜Akulah yang letih, aku sudah tua, tetapi kenapa tiba-tiba aku merasa perjalanan ini sangat lamban?! berkata Raden Reksayuda ˜Apakah Ki Tumenggung berdua sengaja membuat aku menjadi tontonan di bumiku sediri?! ˜Tidak Raden, maaf, aku pikir Raden yang rindu akan kampung halamannya itu ingin memperhatikan keadaannya dengan seksama setelah tiga tahun tidak melhatnya! ˜Marilah, jangan biarkan aku jadi tontonan disini! Iring-iringan itupun telah mempercepat perjalanan mereka, sambil tersenyum Ki Reksabawapun berkata ˜Bukan karena menjadi tontonan orang, tetapi agaknya semakin dekat kerinduan Raden Tumenggung Wreda Reksayuda terhadap keluarganya justru semakin menyala! ˜Ah.! Raden Reksayuda itu berdesis. Beberapa saat kemudian, maka iring-iringan itu telah berbelok memasuki jalan yang langsung menuju ke depan rumah Ki Reksayuda. ˜Raden! bertanya Ki Reksabawa, ˜Raden berniat pulang dahulu atau langsung menghadap Kangjeng Adipati?! ˜Aku akan pulang dahulu, Ki Tumenggung, aku akan beristirahat, besok aku akan menghadap dimas Adipati untuk melaporkan bahwa aku sudah pulang, seandainya aku akan diasingkan lagi, aku sudah berada di rumah semalaman!. ˜Kenapa diasingkan lagi, Raden?! bertanya Ki Reksabawa. ˜Mungkin setelah dimas Adipati melihat ujudku, kemarahannnya terungkit lagi?! ˜Ah, tentu tidak begitu, jika Kangjeng Adipati masih marah, Raden tidak akan diampuni! ˜Tetapi apa Ki Tumenggung tahu, kanapa dimas Adipati memutuskan untuk mengampuni aku?. Dan memberi aku kesempatan pulang sebelum aku menyelesaikan hukumanku?! ˜Berdasarkan permohonan dari Raden Ayu Reksayuda, Raden.! ˜Kenapa dimas Adipati mendengan permohonan Miranti itu sekarang?! setelah isteri dimas Adipati itu meninggal?! ˜Maksud Raden?! suara Ki Reksabawa meninggi. ˜Aku tidak bermaksud apa-apa Ki Reksabawa, aku hanya ingin mengungkapkan sebuah pertanyaan! Terasa jantung Ki Reksabawa berdebaran, ia tahu arah pembicaraan Raden Reksayuda yang tua itu, mungkin ia mendengar pembicaraan di kedai itu, sehingga memberikan sentuhan di hatinya. Sementara itu, Ki Jayataruna sama sekali tidak menyahut, bahkan seolah-olah ia tidak mendengar pembicaraan itu. Beberapa saat kemudian, iring-iringan itu sudah sampai di depan regol halaman rumah Raden Reksayuda, keempat orang yang lainpun segera meloncat turun sebelum mereka memasuki regol, namun Raden Reksayuda sendiri masih tetap duduk diatas punggung kudanya. Ketika mereka memasuki halaman, mereka melihat Raden Ayu Reksayuda sudah berdiri di pendapa, dua orang Tumenggung atas nama Kangjeng Adipati sudah berada di rumah itu pula menyambut kedatangan Raden Tumenggung Reksayuda. Demikian Raden Reksayuda turun dari kudanya, maka Raden Ayu Reksayuda segera berlari menyongsongnya, dengan serta Raden Ayu itupun mendekap Raden Reksayuda sambil menangis. ˜Kangmas! suara Raden Ayu terdengar disela-sela isaknya, ˜Sukurlah kangmas telah pulang dengan selamat!. Raden Tumenggungpun mendekap isterinya pula, dengan nada berat iapun berkata ˜Yang Maha Kuasa masih mempertemukan kita diajeng! ˜Marilah kangmas, kami menunggu sejak matahari turun, kedua utusan dimas Adipati ini juga suah menunggu sejak lama disini! Raden Reksayuda itupun menarik nafas panjang, bersama Raden Ayu keduanya melangkah ketangga pendapa. ˜Selamat datang kembali di rumah Raden Tumenggung! berkata seorang diantara kedua orang utusan Kangjeng Adipati yang menyambut kedatangan Raden Tumenggung itu. ˜Terima kasih, Ki Tumenggung berdua, marilah, Naiklah kembali, sekarang akulah yang mempersilahkan Ki Tumenggung berdua duduk di pringgitan! Keduanya segera naik pula, demikian pula Ki Reksabawa dan Ki Jayataruna serta kedua orang prajurit pengawalnya. Demikian mereka duduk di pringgitan, maka Raden Reksabawa itupun bertanya ˜Apakah anakku ada di rumah?! ˜Ampun kangmas! jawab Raden Ayu ˜Kakang Tumenggung Jayataruna telah pergi menjemputnya ke rumah paman Ajar Anggara di lereng gunung, tetapi Angger Jalawaja tidak bersedia turun! Raden Reksayuda itupun kemudian berpaling kepada Ki Jayataruna sambil bertanya ˜Benar begitu Ki Tumenggung?! ˜Ya, Raden, aku sendiri sudah memberitahukan bahwa hari ini Raden dijemput di tempat pengasingan, bahkan jika Raden Jalawaja bersedia aku persilahkan untuk ikut menjemput pula, tetapi Raden Jalawaja tidak bersedia! Raden Reksayuda itu menarik nafas panjang, katanya ˜Kenapa anak itu mengeraskan hatinya sehingga pada saat-saat yang penting seperti ini, hatinya masih saja sekeras batu! ˜Hatinya memang keras, kangmas, tetapi mungkin ada pula yang mengipasinya, sehingga angger Jalawaja menjadi semakin jauh dari kelurganya! ˜Siapa.?! ˜Bagaimana dengan paman Ajar Anggara?! ˜Tidak, aku mengenal bapak Ajar Anggara dengan baik, ia orang yang hatinya lembut, aku kira ia tidak akan menghembuskan racun di hati cucunya! ˜Mudah-mudahan dugaan kangmas itu benar, tetapi siapa tahu isi hati seseorang!. ˜Bagaiman menurut pendapat Ki Tumenggung Jayataruna?! ˜Segala sesuatunya dapat saja terjadi, Raden, tetapi sebenarnyalah aku tidak tahu, apakah Ki Ajar Anggara telah membuat hati Raden Jalawaja, semakin keras atau tidak! ˜Sudahlah..! berkata Raden Reksayuda ˜Jika hari ini Jalawaja belum pulang, mungkin besok atau lusa, jika perlu, aku sendiri akan menjemputnya kelak ke rumah bapak Ajar Anggara! Dalam pada itu, kedua orang utusan Kangjeng Adipati itupun berganti-ganti menanyakan keadaan dan keselamatan Raden Reksayuda, mereka juga menanyakan kehidupan Raden Reksayuda di pengasingan. ˜Di pengasingan aku justru semakin mengenal diriku sendiri, Ki Tumenggung, akupun merasa semakin dekat dengan alam, dengan Penciptanya dan dengan arti dari hidupku. Tetapi memang ada semacam kerinduan yang setiap saat terasa semakin dalam menghunjam di jantungku, kerinduan terhadap kampung halaman, kerinduan terhadap bumi kelahiran! Raden Tumenggung itupun berhenti sejenak, lalu katanya pula ˜Karena itu aku berterima kasih atas kesempatan yang diberikan kepadaku untuk pulang tanpa menunggu batas waktu pengasinganku! ˜Mudah-mudahan Raden Tumenggung dapat segera menyesuaikan diri dengan perkembangan yang terjadi selama tiga tahun terakhit di kadipaten ini!. Berkata salah seorang dari kedua orang utusan Kangjeng Adipati itu. ˜Apakah ada perubahan yang berarti selama tiga tahun terakhir ini?! ˜Tentu Raden, meskipun tidak terlalu banyak! ˜Baik, Ki Tumenggung, aku akan mencobanya menyesuaikan diriku dengan perubahan- perubahan yang terjadi di kadipaten ini. Sementara itu, seorang abdi di rumah itupun telah menghidangkan minuman hangat serta makanan yang agaknya telah disiapkan oleh Raden Ayu Reksayuda. Beberapa saat kemudian, ketika lampu-lampu sudah menyala, maka mereka yang sudah di rumah Raden Tumenggung Reksayuda itupun mohon diri. Kedua orang utusan Kangjeng Adipati untuk menyambut kedatangan Raden Reksayuda atas namanya, Ki Reksabawa, Ki Jayataruna serta kedua orang prajurit pengawal itu. ˜Aku mengucapkan terima kasih kepada semuanya yang menaruh perhatian kepadaku! berkata Raden Reksayuda kemudian. Sepeninggal para Tumenggung yang menjemputnya, yang datang menyambutnya serta para prajurit pengawal, maka Raden Ayupun telah mempersilahkan Raden Reksayuda untuk masuk ke ruang dalam. ˜Jika Kangmas akan mandi, aku akan menyediakan air hangat, kangmas!. ˜Terima kasih diajeng, aku memang akan mandi. Berganti pakaian, kemudian tidur, aku merasa sangat letih, seumurku berkuda dari Pucang Kembar sampai ke Sendang Arum ditempuh dalam sehari penuh!. ˜Ya, kangmas, aku sudah menduga bahwa kangmas tentu sangat letih, tetapi setelah membenahi pakaian, kangmas jangan lansung tidur, aku sudah menyediakan makan malam buat kangmas!. Raden Reksayuda tersenyum, katanya ˜Terima kasih diajeng, kau sangat memperhatikan aku! ˜Aku sendiri yang masak kangmas, bukan abdi, aku ingin kangmas benar-benar menikmati hari ini, hari pembebasan kangmas Tumenggung!. Raden Reksayuda kemudian pergi ke pakiwan, Raden Ayu telah menyediakan air hangat, bahkan ditaburkan bunga di jambangan. Setelah mandi, tubuh Raden Reksayuda itupun menjadi segar, harumnya air bunga membuat tubuh Raden Reksayuda yang tua itu, terasa kukuh kembali. Setelah berganti pakaian, maka Raden Reksayuda itupun telah duduk di ruang dalam, makan malampun telah tersedia pula. ˜Silahkan kangmas!. Raden Reksayuda mengangguk-angguk, iapun menjumpai beberapa macam lauk kesenangannya, pepes udang, dendeng ragi, telur pindang, serta beberapa macam sayur yang sangat pedas. ˜Aku justru bingung diajeng, yang manakah yang harus aku makan lebih dahulu, tetapi agaknya aku akan mengalami kesulitan sekarang untuk makan dengan dendeng ragi!. ˜Dagingnya lunak sekali kangmas, silahkan kangmas mencobanya! Raden Reksayuda mengangguk-angguk, namun kemudian iapun bergumam, ˜Kalau saja Jalawaja dapat makan bersamaku sekarang!. ˜Jika tidak sekarang, mungkin esok atau lusa kangmas. Biarlah kita mengusahakannya, lambat laun, hatinya akan menjadi lunak!. ˜Apakah dia merasa malu karena ayahnya seorang buangan?! ˜Tentu tidak kangmas, semua orang tahu, bahwa kangmas diasingkan bukan karena melakukan kejahatan, tatapi karena perbedaan pendapat dengan Dimas Adipati!. Bebarapa orang lebih membenci pengkhianat daripada seorang penjahat! ˜Kangmas bukan seorang pengkhanat, seharusnya Dimas Adipati tidak mengambil tindakan yang terlalu keras, bukankah perbedaan pendapat itu mungkin saja terjadi?! ˜Apakah yang aku lakukan sekedar berbeda pendapat?!. ˜Sudahlan kangmas, silahkan makan, aku ikut makan bersama kangmas!. Makan malam itu memang terasa nikmat sekali, di pengasingan meskipun tidak pernah terlambat, namun yang dimakan oleh Raden Reksayuda agak kurang memenuhi seleranya, karena itu, maka Raden Reksayuda itu tidak pernah merasakan nikmatnya orang makan. Dengan demikian, maka ketika dia dihadapkan pada hidangan yang bahkan menjadi kegemarannya, maka Raden Reksayuda itu benar-benar dapat menikmatinya, apalagi pada saat-saat ia makan, Raden Reksayuda dilayani oleh isterinya sendiri, yang sudah lama ditinggalkannya di pengasingan. Setelah makan malam, maka Raden Reksayuda sempat duduk-duduk sejenak di serambi rumahnya, beberapa perabot yang ada di serambi itu masih juga perabot pada saat ditinggalkannya, namun perabot-perabot itu tetap tertata rapi, bersih dan terpelihara. Sambil menarik nafas panjang, Raden Reksayuda mengahadap ke pintu yang tertutup, lampu yang menyala diatas ajug-ajug melemparkan cahanyanya ke seluruh ruangan. ˜Apa yang terjadi di rumah ini selama aku tinggalkan diajeng?! bertanya Raden Reksayuda. ˜Kesepian, kangmas, rasa-rasanya semuanya membeku! ˜Bukankah tidak ada orang yang berniat jahat terhadapmu?! ˜Tidak kangmas, meskipun rasa-rasanya aku memang agak terpencil dari pergaulan, tetapi tidak ada yang berniat jahat atau menggangguku!. ˜Bagaimana dengan para abdi?! ˜Mereka tetap patuh, mereka menjalankan kewajiban mereka dengan baik, mereka tetap berpengharapan bahwa mereka aka dapat mengabdikan dirinya lagi kepada kangmas, mereka percaya bahwa kangmas akan segera pulang!. ˜Sukurlah, di pengasingan aku lebih banyak memikirkan kau dan keluaraga ini daripada memikirkan diriku sendiri!. ˜Semuanya baik-baik saja kangmas! ˜Apakah selama ini Jalawaja tidak pernah pulang?! ˜Aku sudah mencoba untuk memanggilnya, yang terakhir pada saat Dimas Adipati akan mengutus beberapa orang untuk menjemput kakangmas di pengasingan, tetapi Jalawaja tidak pernah mau turun dari tempat tinggalnya!. ˜Baiklah, biarlah pada kesempatan lain, aku akan datang sendiri menemuinya, aku juga ingin bertemu dan berbicara dengan Ki Ajar Anggara, mudah-mudahan Ki Ajar Anggara bersedia menasehati Jalawaja sehingga ia mau barang sepekan tinggal bersama kita disini!. ˜Mudah-mudahan kangmas, tetapi tentu setelah kangmas beristirahat barang dua tiga hari!. ˜Ya, setelah aku tidak merasa letih lagi, perjalanan ke lereng bukit itu tentu juga perjalanan yang melelahkan! ˜Ya, kangmas!. Raden Reksayuda itupun menarik nafas panjang, ia memang merasa aneh, bahwa tiba-tiba saja, ia sudah berada di rumahnya setelah beberapa tahun ditinggalkannya. Keduanya masih berbincang beberapa saat sebelum kemudian Raden Reksayuda itupun berkata ˜Aku akan beristirahat, diajeng, aku memang tidak terbiasa tidur sebelum wayah sepi uwong atau bahkan sampai hampir tengan malam. Tetapi mungkin karena aku terlalu letih, sehingga rasa-rasanya pada saat-saat menjelang wayah sepi bocah, aku sudah mengantuk! ˜Silahkan kakang, aku akan memijat kaki kakangmas!. Sesaat kemudian, Raden Reksayuda itu sudah berbaring di dalam biliknya, namun tidak terlalu lama kemudian, maka Raden Reksayuda itu sudah tertidur nyenyak. Raden Ayupun kemudian telah bangkit dan meninggalkan Raden Reksayuda setelah diselimutinya dengan kain panjang. Raden Ayu kemudian telah berada di ruang dalam, bersama abdinya, Raden Ayu membenahi mangkuk-mangkuk kotor serta sisa makan malam. ˜Kalau kau lelah, biarlah besok saja kau cuci, nduk, asal kau letakkan di tempat yang mapan! ˜Baik Raden Ayu! Abdi perempuan itupun kemudian membawa mangkuk-mangkuk yang kotor itu ke dapur, meletakkannya di sebelah gentong berisi air, kemudian menutupinya dengan bakul yang besar, didapur itu kadang-kadang seekor atau dua ekor kucing masuk lewat celah-celah atap membuat mangkuk-mangkuk kotor berserakan, bahkan kucing yang berkejaran dan berebut tulang memecahkan mangkuk-mangkuk yang kotor. Raden Ayu masih juga sibuk membersihkan ruang dalam, menyapu lantai, mengumpulkan berbagai macam kotoran disudut. Namum-namun tiba-tiba saja Raden Ayu mendengar suara aneh di dalam bilik Raden Reksayuda, karena itu, maka iapun segera menarik tangan abdi perempuan sambil bertanya. ˜Kau dengar suara itu?! ˜Ya, Raden Ayu,! Raden Ayupun kemudian berlari ke bilik, didorongnya pintu bilik yang tidak tertutup rapat itu. Namun Raden Ayu itu terhenti di pintu, tiba-tiba saja terdengar Raden Ayu berteriak nyaring. Abdi perempuan itupun segera berlari pula, tetapi iapun berteriak pula keras-keras. Pada saat yang bersamaan, terdengar pula derak pintu butulan yang dihentakkan. Abdi yang lain, yang mendengar jerit di depan bilik utama di rumah itupun segera berlari, seorang abdi laki-laki dengan cepat telah sampai ke pintu bilik itu pula. Jantungnyapun bagaikan berhenti berdetak ketika ia melihat Raden Ayu Reksayuda menelungkup diatas tubuh Raden Reksayuda yang berlumuran darah, sebilah keris tertancap di dadanya, namun agaknya Raden Reksayuda yang tua dan letih itu sudah meninggal. Tangis Raden Ayulah yang terdengar melengking memerah sepinya malam, abdinya laki-laki dengan cepat berlari ke longkangan, dipukulnya kentongan yang ada di longkangan dengan irama titir, isyarat bahwa telah terjadi raja pati di rumah Raden Reksayuda. Beberapa saat kemudian, telah terjadi kegemparan. Beberapa orangpun segera berdatangan memasuki halaman rumah itu, bahkan beberapa orang telah memasuki ruangan dalam rumah Raden Reksayuda itu dan langsung pergi ke bilkik itu. Seorang diantara mereka berkata ˜Jangan sentuh, jangan dipindahkan, keris itu biarlah disitu!. Tetapi Raden Ayu yang menangis, mengguncang-guncang tubuh Raden Tumenggung yang sudah tidak bernafas lagi itu. Beberapa prajurit berkuda yang sedang merondapun segera melarikan kudanya menuju ke sumber suara kentongan dengan irama titir itu. Prajurit-prajurit berkuda itulah yang kemudian menertibkan hiruk-pikuk yang terjadi di rumah itu, namun mereka juga tidak berani mempersilahkan Raden Ayu untuk keluar dari biliknya. Seorang diantara prajurit berkuda itu telah melarikan kudanya untuk memberikan laporan langsung ke kadipaten. Malam itu Sendang Arum telah dikejutkan oleh peristiwa yang sangat tidak diduga, hari itu Raden Tumenggung Wreda Reksayuda dijemput oleh dua orang Tumenggung dan dua orang prajurit pengawal dari pengasingannya setelah mendapat pengampunan dari Kangjeng Adipati Wirakusuma, namun demikian malam memasuki wayah sepi uwong, Raden reksayuda itu telah terbunuh di rumahnya yang sudah tiga tahun di tinggalkannya. Laporan tentang terbunuhnya Raden Reksayuda segera sampai ke Kangjeng Adipati, semula prajurit yang bertugas memang agak ragu untuk membangunkan Kangjeng Adipati, tetapi agaknya Kangjeng Adipati telah mendengar suara kentongan dalam irama titir, sehingga Kangjeng Adipati itu telah keluar dari biliknya. ˜Ada apa?! bertanya Kangjeng Adipati kepada prajurut yang bertugas de dalem Kadipaten itu. ˜Ampun Kangjeng, ada seorang prajurit yang sedang meronda yang ingin menyampaikan laporan tentang suara titir itu! ˜Bawa prajurit itu kemari! Prajurit yang bertugas itupun segera memanggil prajurit yang sedang meronda yang telah melihat sendiri apa yang telah terjadi di rumah Raden Tmenggung Wreda Reksayuda. ˜Apa yang telah terjadi?! bertanya Kangjeng Adipati ketika prajurit itu menghadap. Prajurit itupun segera melaporkan apa yang telah dilihatnya di rmah Raden Reksayuda. ˜Kangmas Tumenggung Wreda Reksayuda terbunuh?! nada suara Kangjeng Adipati meninggi. Kepada prajurit yang bertugas Kangjeng Adipatipun memberikan perintah ˜Siapkan kudaku, siapkan pula pasukan pengawal, aku akan pergi ke rumah Kangmas Raden Reksayuda!. Demikian prajurit itu keluar, maka Kangjeng Adipatipun segera berbenah diri di biliknya. Namun demikian Kangjeng Adipati keluar dari biliknya, ia melihat Ririswari berdiri di ruang dalam. ˜Aku mendengar apa yang telah terjadi, ayahanda! ˜Tidurlah, belum tengah malam! ˜Ayahanda akan pergi?! ˜Aku akan melihat apa yang terjadi! Kangjeng Tumenggung segera beranjak ke pringgitan, namun di pintu ia masih berpesan, ˜Tidurlah Riris, kau tidak usah ikut memikirkan peristiwa yang terjadi ini! ˜Sesuatu telah terjadi ayahanda! Kangjeng Adipati tertegun sejenak, namun kemudian Kangjeng Adipati itupun keluar lewat pintu pringgitan. Seorang pelayan dalam telah menutup pintu itu kembali dan menyelaraknya dari dalam. Sementara itu kuda Kangjeng Adipatipun telah siap di depan pendapa, sekelompok prajurit pengawal telah bersiap pula, sementara itu para prajurit yang lain di dalem Kadipaten itu telah bersiaga sepenuhnya untuk menghadapi segala kemungkinan. Kangjeng Adipati dan pengiringnya telah melarikan kuda mereka menuju ke rumah Raden Tumenggung Wreda Reksayuda yang sebenarnya tidak begitu jauh. Demikian Kangjeng Adipati memasuki regol halaman rumah Raden Reksayuda, maka orang-orang yang berkerumun di halaman itupun meyibak, demikian pula mereka yang berada di pendapa dan ruang dalam. Kangjeng Adipati masuk ke ruang dalam, maka Kangjeng Adipatipun tertegun, Raden Ayu Reksayuda menyongsongnya dan langsung berlutut di hadapannya. ˜Apa yang telah terjadi kangmbok?! bertanya Kangjeng Adipati. ˜Kangmas Tumenggung Reksayuda, dimas!. ˜Apakah aku boleh melihatnya?! Raden Ayu Reksayuda masih terisak. Kangjeng Adipati kemudian melangkah ke bilik utama di rumah Raden Reksayuda itu. Demikian Kangjeng Adipati masuk ke bilik itu, maka darahnyapun tersirap, ia melihat tubuh Raden Reksayuda yang berlumuran darah. Ia melihat sebilah keris yang tertancap di dada Raden Reksayuda itu, sedangkan yang membuatnya jantungnya bagaikan berhenti, keris yang tertancap di dada Raden Reksayuda itu adalah salah satu diantara pusaka-pusakanya yang banyak jumlahnya, yang tersimpan di bangsal pusaka. ˜Kiai Puguh! desis Kangjeng Adipati. Namun justru karena itu, maka Kangjeng Adipati tidak mau menyentuh keris itu, jika Kangjeng Adipati mencabut keris itu, maka akan dapat timbul dugaan, bahwa Kangjeng Adipati sengaja menghilangkan jejak pembunuh itu. Karena itu, maka Kangjeng Adipatipun segera keluar lagi dari bilik itu, serta memerintahkan prajurit untuk memanggil Ki Jayataruna dan Ki Reksabawa. ˜Panggil mereka sekarang! berkata Kangjeng Adipati. *** Dalam pada itu, sejak malam turun, di rumahnya, Nyi Tumenggung Jayataruna duduk di ruang dalam seorang diri, semakin malam, terasa suasana menjadi semakin sepi, bahkan Nyi Tumenggung itupun mulai diganggu oleh matanya yang mulai mengantuk. Sekali-kali digosoknya matanya yang semakin redup itu, namun kantuk itu masih saja terasa mengganggunya. Suratama, anak Ki Tumenggung Jayataruna sudah beranjak dewasa itu mendekati ibunya, sambil duduk disampingnya, iapun berkata. ˜Sebaiknya ibu tidur saja sekarang, agaknya ibu telah sehari-harian mengerjakalan pekerjaan di rumah! ˜Tidak Suratama, aku tidak lelah, bukankah aku tidak mengerjakannya semuanya sendiri di rumah ini, ada abdi yang membantu mengerjakan pekerjaan-perkerjaanku. ˜Meskipun demikian, ibu masih juga selalu sibuk, ibu masak sendiri, ibu membersihkan sebagian besar dari perabotnya, ibu masih juga mencuci ayah dan pakaian ibu sendiri meskipun ada orang lain yang dapat mencucinya! ˜Orang lain kadang-kadang cuciannya tidak bersih, ngger. Sedangkan sudah terbiasa bagi ayahmu, jika bukan aku sendiri yang masak, ayahmu tidak berselera untuk makan! ˜Tetapi ibu, tidak perlu menunggu ayah pulang, ayah adalah seorang prajurit yang tugasnya tidak dibatasi waktu, kapan saja tugas memanggil, ayah harus siap melaksanakannya!. ˜Aku mengerti ngger, tetapi rasa-rasanya aku tidak akan dapat tidur nyenyak, sementara ayahmu sedang menjalani tugasnya, sementara aku berada di pembaringan, berselimut kain panjang sambil tidur. ˜Menurut pendapatku, ibu. Tugas ayah kali ini tidak terlalu berat, meskipun mungkin akan memakan waktu yang panjang, bukankah ayah hari ini pergi ke Kadipaten Pucang Kembar untuk menjemput Raden Tumenggung Wreda Reksayuda?, tugas itu bukan tugas yang dibayangi oleh bahaya yang gawat, tugas itu hanyalah tugas perjalanan yang panjang! ˜Tetapi ada perbedaan antara ayahmu dengan Ki Tumenggung Reksabawa! ˜Mereka adalah orang-orang dewasa, ibu, mereka tahu cara menempatkan diri mereka masing-masing! ˜Suratama, sebaiknya kau saja yang pergi ke bilikmu, biarlah aku menunggu ayahmu pulang dari Pucang Kembar, itu sudah menjadi kewajiban seorang perempuan ngger, menunggu suaminya pulang, meyediakan minuman panas, menemani dan melayaninya makan! ˜Tetapi ibu juga harus menjaga kesegaran tubuh ibu sendiri, ibu jangan menjadi terlalu letih setiap hari!. ˜Bukankah ayahmu tidak selalu pulang terlalu malam?! Bab 6 Suratama menarik nafas panjang, namun kemudian iapun berkata ˜Ibu, aku akan masuk ke bilikku! ˜Tidurlah ngger! ˜!Tetapi jika ayah masih saja belum segera pulang, ibu harus segera pergi tidur, mungkin ayah masih akan bermalam lagi, ajrak yang harus ditempuh cukup jauh ibu, sementara itu, mungkin masih ada persoalan yang harus diselesaikan di Pucang Kembar! ˜Persoalan apa lagi, bukankah Kangjeng Adipati sudah memaafkannya, sehingga Raden Tumenggung itu sudah tidak mempunyai persoalan lagi! ˜Mudah-mudahan Raden Tumenggung Reksayuda itu tidak membuat persoalan di Pucang Kembar! ˜Tentu tidak, ia merasa orang asing disana , lebih dari itu, ia adalah orang buangan.! Suratama mengangguk-angguk sejenak, ia merasa kasihan kepada ibunya yang memaksa diri sendiri untuk duduk tanpa memejamkan mata meskipun sudah sangat mengantuk. Nyi Tumenggung memang sempat menjadi ragu-ragu, jangan-jangan Ki Tumenggung masih akan beralam lagi. Tetapi menurut Ki Tumenggung, hari ini Ki Tumenggung akan pulang. Suratama pun kemudian beranjak dari tempatnya sambil berkata ˜Selamat malam ibu! Ibunya mencoba tersenyum, katanya ˜Selamat malam ngger, tidurlah, semoga mimpimu indah! ˜Meskipun indah jika itu hanya sebuah mimpi, ibu! ˜Daripada bermimpi buruk, kau akan terbangun dan mungkin tidak akan dapat tidur lagi! Suratama tersenyum. Demikianlah maka Suratama kemudian meninggalkan ibunya sendirian duduk di ruang dalam. Namun meskipun Suratama kemudian berbaring di biliknya, tetapi ia tidak dapat segera tidur, ia masih saja memikirkan ibunya yang menunggu ayahnya pulang. Nyi Tumenggung Jayataruna memang seorang perempuan yang setia, sejak hidup mereka masih terasa sangat berat, pada saat Ki Jayataruna masih belum berpangkat, Nyi Jayataruna selalu mendampinginya dalam suka dan duka. Nyi Jayataruna sendiri tidak pernah mengeluh bagi dirinya sendiri, Ia berusaha mengisi hidup keluarganya dengan pengharapan akan hari-hari yang baik dimasa mendatang. ˜Hidup ini seperti cakra manggilingan, sekali kita berada dibawah, tetapi sekali kita akan bergerak dan berputar sehingga kita berada di atas, karena itu, jangan terlalu berduka jika kita sedang megalami nasib yang muram, tetapi jangan terlalu bersuka jika nasib kita lagi cerah, segala sesuatunya haris kita terima dengan hati yang penuh dengan pernyataan sukur! Justru pada saat mata Suratama mulai terpejam, maka anak muda itu terkejut, ia mendengar pintu depan di ketuk orang, cukup keras. ˜Nyi, Nyi! terdengar suara memanggil. Suratama menarik nafas panjang, ia mengenal suara itu dengan baik, suara ayahnya. ˜Ya kakang, sebentar! Suratama pun mendengar suara ibunya menyahut. Dengan tergesa-gesa Nyi Tumeggung Jayatarunapun bangkit dan berlari-lari kecil menuju ke pintu pringgitan. Sejenak kemudian, pintupun telah terbuka, Ki Jayataruna berdiri di belakang pintu itu dengan wajah kusut, demikian terbuka, maka Ki Jayataruna itupun segera melangkah masuk. Nyi Jayataruna pulalah yang kemudian menutup dan meyelarakknya kembali. ˜Baru pulang kakang! sapa Nyi Jayataruna dengan suara lembut. Tetapi jawab Ki Jayataruna dengan wajah yang gelap ˜Bukankah kau lihat, bahwa aku baru pulang! Nyi Jayataruna menarik nafas panjang, katanya ˜Maksudku, apakah kakang lelah setelah menjalankan tugas kakang sejak kemarin lusa! ˜Ya, aku lelah sakali! ˜Duduklah kakang, aku akan membuat minuman hangat, makan juga sudah tersedia, karena menurut kakang, hari ini kakang akan pulang, maka aku telah menunggu kakang, aku juga belum makan! ˜Aku tidak makan, aku masih kenyang! ˜Tetapi aku sudah menyediakan kesukaan kakang, pepes udang, sayur asam sedikit pedas, dendeng ragi! ˜Aku masih kenyang, kau dengar! ˜Tetapi sebaiknya kakang makan meskipun sedikit, aku menunggu untuk mengantar kakang makan! ˜Kau kira aku tidak berani makan sendiri! ˜Maksudku, kita makan bersama, aku akan melayani kakang makan! ˜Aku masih kenyang, berapa kali aku harus mengatakannya, jika kau belum makan, bukankah itu salahmu sendiri, aku tidak minta kau hari ini menunggu aku makan malam! ˜Memang salahku sendiri, kakang, tetapi sudah menjadi kebiasaanku menunggu kakang untuk makan malam, apakah kakang lupa kebiasaanku itu! ˜Cukup Nyi, aku letih sekali, aku ingin segera berisitirahat, aku akan pergi ke pakiwan mencuci kaki dan tangan, kemudian tidur! ˜Baiklah kakang, tetapi silahkan duduk, aku ingin berbicara sedikit kakang.! ˜Berbicara apa, aku letih sekali! ˜Aku tahu kakang memang letih, tetapi aku terdorong untuk bertanya sedikit kakang, nanti kakang segera mencuci kaki dan tangan, kemudian tidur, nanti aku akan memijat kaki kakang! ˜Tidak usah, yang letih bukan kakiku, hampir dua hari penuh aku duduk diatas punggung kuda! ˜Baik, kakang, baik, tetapi mumpung ada kesempatan, aku ingin bertanya sedikit saja! ˜Bertanya apa?! ˜Tentang kakang! ˜Cepat katakan, aku sudah sangat letih! ˜Kakang, kenapa kakang berubah akhir-akhir ini?! ˜Berubah..?, apanya yang berbah?! ˜Kakang sekarang terlalu sering pergi, pulang lambat dan bahkan kadang-kadang tidak pulang, tanpa aku ketahui kemana kakang pergi! ˜Edan, bukankah ketika aku berangkat kemarin lusa, aku sudah mengatakan, bahwa aku pergi menjemput Raden Reksayuda, aku akan bermalam semalam atau dua malam! ˜Bukan malam ini kakang, tetapi hari-hari sebelumnya, kakang hampir tidak pernah berada di rumah! ˜Nyi, aku adalah prajurit, tugasku tidak terbatas waktu, siang, malam dan bahkan siang dan malam! ˜Kakang, aku adalah isteri prajurit, aku menjadi isteri prajurit bukan baru sejak kemarin sore, sudah lebih dari dua puluh tahun kakang, aku sudah mengenal tugas prajurit, karena suamiku sendiri seorang prajurit. Tetapi setelah dua puluh tahun itu, tiba-tba rasa-rasanya aku tidak mengenali lagi tugas-tugas kakang sebagai seorang prajurit! ˜Tetapi akulah yang mengalaminya, Nyi, Akulah yang menjadi prajurit itu, bukan kau! ˜Aku adalah isteri kakang, isteri seorang Tumenggung, maksudku, kakang. Apakah kakang sekarang mendapat tugas-tugas yang baru yang sangat berat, melampaui masa-masa yang lalu?. Atau mungking kakang dianggap bersalah dan mendapat hukuman dengan tugas-tugas tambahan yang sangat berat sehingga kakang tidak sempat pulang?! ˜Nyi, aku sekarang sedang letih sekali, kau jangan membuat perkara, jika hatiku tersinggung, dalam keadaan yang sangat letih ini, aku akan dapat menjadi sangat marah! ˜Baiklah Kakang, Jika kakang tidak berkenan dengan pertanyaanku, aku minta maaf, tetapi jika hal ini aku sampaikan, sebenarnya aku akan membantu kakang seusai dengan kedudukanku sebagai seorang isteri. ˜Dengan sikapmu itu kau sama sekali tidak membantu, Nyi, kau justru membuat perasaanku semakin letih. Jika tubuhku letih karena selama dua hari berturut-turut aku duduk di punggung kuda, maka pertanyaanmu dan sikapmu membuat perasaanku sangat letih! ˜Baik kakang, aku tidak akan bertanya lebih lanjut! ˜Sekarang aku akan pergi ke pakiwan untuk mencuci tangan dan kakiku! Tetapi sebelum Ki Jayataruna melangkah, terdengar derap kaki kuda memasuki halaman. ˜Derap kaki kuda! bisik Nyi Jayataruna. Ki Jayataruna itupun termangu-mangu sejenak, didengarnya langkah menu ke pintu pringgitan, kemudian didengarnya pintu di ketuk orang. ˜Siapa.?! bertanya Ki Jayataruna. ˜Resa, Ki Tumenggung! ˜Resa.?! ˜Ya, Ki Tumenggung! Ki Tumenggung Jayataruna masih belum begitu mengenali suara dan nama itu, karena itu, Ki Jayataruna memutar kerisnya di lambung kiri sambil melangkah ke pintu. Perlahan-lahan Ki Jayataruna membuka selarak pintu, sementara Nyi Jayataruna berdiri dengan tegang. Demikian pintu terbuka, maka seseorang yang berdiri di luar pintu mengangguk hormat. ˜Kau.?! Ki Jayataruna ternyata pernah mengenal orang itu. ˜Ya, Ki Tumenggung.! ˜Ada apa?! ˜Aku diutus oleh Kangjeng Adipati, Ki Tumenggung diminta menghadap?! ˜Sekarang?! ˜Ya, Kangjeng Adipati sekarang berada di rumah Raden Tumenggung Wreda Reksayuda! ˜Kenapa malam-malam Kangjeng Adipati ada di rumah Raden Tumenggung Wreda Reksayuda?! ˜Raden Tumenggung Wreda Reksayuda telah meninggal! ˜Meninggal?! wajah Ki Jayataruna menjadi tegang. ˜Jangan asal bicara, katakan sekali lagi! ˜Raden Tumenggung Wreda Reksayuda telah meninggal! Nyi Tumenggung mendekat pula sambil bertanya ˜Bukankah Raden Tumenggung baru saja pulang malam ini?! ˜Ya, Nyi.! ˜Lalu tiba-tiba ia meninggal?! ˜Seseorang telah membunuhnya! ˜Raden Tumenggung telah terbunuh?! bertanya Ki Jayataruna dengan nada tinggi. ˜Ya, Ki Tumenggung! ˜Siapa yang telah membunuhnya?! ˜Tidak seorangpun yang mengetahuinya! ˜Baik, katakan kepada Kangjeng Adipati, bahwa aku akan segera menghadap! ˜Aku akan mendahului Ki Tumenggung! ˜Ya, pergilah dahulu, aku akan segera menyusul! Demikianlah, maka Resapun segera turun ke halalam, dituntun kudanya sampai ke regol, kemudian iapun segera meloncat naik sejenak kemudian terdengar derap kaki kuda itu berlari semakin lam semakin jauh ˜Kakang akan pergi lagi?! bertanya Nyi Tumenggung. ˜Kau dengar sendiri perintah Kangjeng Adipati?! ˜Ya, kakang.! ˜Nah, itu adalah tugas seorang prajurit, meskipun aku sangat letih lahir dan batin, tetapi aku harus berangkat! ˜Aku mengerti kakang, aku mampu menangkap suasana. Itulah sebabnya aku berkata, bahwa kakang telah berubah! ˜Kau akan mulai lagi dengan celotehmu?! ˜Tidak, aku hanya menanggapi kata-kata kakang, bukankah tidak baru kali ini kakang harus melakukan tugas meskipun kakang sangat letih?. Tetapi sikap kakang tidak pernah membuat aku tertekan seperti pada saat-saat terakhir ini! ˜Persetan dengan tanggapanmu, aku akan pergi, tentu ada yang tidak wajar telah terjadi.! ˜Sejenak kemudian, maka Ki Tumenggung itupun telah keluar lewat pintu pringgitan. Demikian ia berada di luar pintu, iapun berkata ˜Selarak pintunya, jika kau belum makan, makanlah, jika kau mengantuk tidurlah, jangan aku disalahkan jika kau lapar atau mengantuk esok pagi! Nyi Tumenggung tidak menjawab, tetapi ia melangkah ke pintu, menutup pintu dan menyelaraknya dari dalam. Sejenak kemudian, terdengar kida Ki Tumenggung berlari melintasi halaman. ˜Agaknya aku terlelap sekejap pada saat Ki Tumenggung datang, sehingga aku tidak mendengar derap kaki kudanya! berkata Nyi Tumenggung dalam hatinya, ia memang sangat mengantuk, matanya terpejam sesaat meskipun ia masih duduk di ruang dalam ketika Ki Tumenggung datang. Ketukan pintu yang agak keras telah membangunkannya. Demikian suara derap kaki kuda itu menghilang, maka Nyi Tumenggung kembali duduk di ruang tengah, ia tidak mengerti, apa yang sebenarnya terjadi pada keluarganya, apakah Ki Tumenggung yang berubah atau dirinya sendiri. Suratama yang hampir tertidur dan terkejut karena pintu diketuk ayahnya, mendengar semua pembicaraan ayah dan ibunya, tetapi tidak berani mencampurinya, ia tidak tahu pasti, persoalan apakah yang sedang terjadi antara ayahnya memang berubah. Nyi Tumenggung yang duduk di ruang tengah mengusap matanya yang basah, tetapi Nyi Tumenggung tidak menangis. Jiwanya telah ditempa oleh jalan kehidupan yang berat sejak ia menikah dengan Ki Jayataruna. Dengan tabah ia ikut terombang-ambing arus kehidupan suaminya. Swarga nunut nraka katut. Sehingga akhirnya, Ki Jayataruna berhasil memanjat sampai kedudukan tertinggi yang diacapainya kini, Tumenggung. Namun ketika kedudukannya semakin kokoh, serta kepercayaan Kangjeng Adipati kepadanya semakin meningkat, maka Ki Tumenggung Jayataruna itu justru mulai berubah. Suratama bangkit dan duduk di bibir pembaringannya. Tetapi ia tidak keluar dari biliknya, meskipun rasa-rasanya ia ingin ikut memikul beban perasaan ibunya. Dalam pada itu, Ki Tumenggung Jayatarunapun melarikan kudanya menembus kegelapan malam, sesekali kudanya melewati sinar oncor di regol halaman rumah orang yang berada. Tetapi selebihnya gelap. Demikian Ki Tumenggung sampai di regol halaman rumah Raden Tumenggung Wreda Reksayuda, Ki Tumenggung Jayatarunapun segera meloncat dari punggung kudanya. Dengan tergesa-gesa pula ia menuntun kudanya memasuki halaman. Resa yang yang sudah lebih dahulu sampai di rumah itu, segera menerima kuda Ki Tumenggung sambil berkata ˜Kangjeng Adipati telah menunggu! Ki Tumenggung segera masuk ke ruangan dalam, ia tertegun sejenak di pintu, ia melihat Kangjeng Adipati sudah berada di ruang dalam. ˜Marilah, kakang Tumenggung! Justru Kangjeng Adipatilah yang mempersilahkannya masuk. Ki Jayataruna itupun kemudian masuk ke ruang dalam. Dengan nada berat, Ki Jayataruna itupun bertanya ˜Ampun Kangjeng Adipati, apakah yang telah terjadi! ˜Apakah utusanku belum mengatakan apa yang sudah terjadi disini?! ˜Sudah Kangjeng, tetapi Resa hanya mengatakan bahwa telah terjadi pembunuhan disini, korbannya adalah Raden Tumenggung Wreda Reksayuda! ˜Ya! ˜Tetapi bagaimana hal itu dapat terjadi, Kangjeng! ˜Aku hanya dapat menirukan keterangan dari kangmbok Reksayuda! jawab Kangjeng Adipati yang kemudian mengulangi, menceritakan peristiwa yang terjadi di Reksayudan itu dengan singkat. Ki Tumenggung mengangguk-angguk, dahinya berkerut. Namun tiba-tiba saja Ki Tumenggung itu bertanya ˜Apakah Kangjeng tidak memanggil kakang Tumenggung Reksabawa?! ˜Ya, aku telah memerintahkan seorang prajurit memanggilnya! ˜Tetapi kakang Tumenggung itu belum datang menghadap, Kangjeng! Pembicaraan terhenti, seorang prajurit masuk ke ruang dalam, duduk menghadap Kangjeng Adipati. ˜Ampun Kangjeng, hamba sudah sampai ke rumah Ki Tumenggung Reksabawa, tetapi Ki Tumenggung tidak ada di rumah! ˜Malam-malam begini, kakang Tumenggung Reksabawa itu pergi kemana?! bertanya Kangjeng Adipati. ˜Adalah kebiasaan Ki Tumenggung untuk berada di tempat-tempat yang sepi dan sendiri pada saat-saat tertentu! ˜Tetapi tentu tidak malam ini. Kakang Tumenggung tentu masih letih, jika tidak ada kepentingan yang sangat mendesak, kakang Tumenggung Reksabawa tentu ada di rumahnya untuk beristirahat. Sahut Ki Jayataruna. ˜Entahlah Ki Tumenggung, tetapi Nyi Tumenggung Reksabawa juga tidak tahu, Ki Tumenggung itu pergi kemana! ˜Baiklah, mundurlah! ˜Hamba Kangjeng! Demikian prajurit itu keluar dari ruang dalam, maka Ki Jayataruna itupun berkata ˜Ampun Kangjeng, hamba ingin melihat keadaan Raden Tumenggung Wreda Reksayuda! ˜Silahkan, kakang. Keadaannya masih seperti saat terjadinya pembunuhan itu! Ki Jayataruna itupun segera memasuki bilik Raden Reksayuda. Raden Ayu Reksayuda yang duduk di atas tikar yang dibentangkan, beringsut, dua perempuan menemaninya, namun keduanya tidak berani mengangkat wajahnya, memandang ke tubuh Raden Tumenggung yang masih belum diusik, keris itu masih menancap di dadanya. ˜Apakah keris itu sudah dapat diambil, kakang Jayataruna?! bertanya Raden Ayu Reksayuda. Ki Jayataruna termangu-mangu sejenak. Tiba-tiba saja ia berdesis ˜Bukankah keris itu salah satu pusaka Kangjeng Adipati sendiri?! ˜Mungkin! sahut Raden Ayu. ˜Kalau Begitu, biarlah keadaannya tetap seperti itu, biarlah keris itu berada di tempatnya. Kita harus menunggu kakang Tumenggung Reksabawa, para Sentana dan Nayaka yang lain! Raden Ayu mengangguk-annguk, tetapi kemudian katanya, ˜Sebaiknya secepatnya keris itu dicabut, kemudian keadaan bilik ini segera dapat dibenahi, perempuan-perempuan yang berdatangan tidak ada yang berani berada di dalam bilik ini.! ˜Demikian kakang Reksabawa dan beberapa orang nayaka dan sentana datang, maka ruangan ini akan segera dibenahi, tetapi biarlah para sentana dan nayaka melihat apa yang telah terjadi di bilik ini.! Raden Ayu Reksayudapun terdiam. Sejenak kemudian, Ki Jayataruna telah keluar dari bilik itu dan kembali menghadap Kangjeng Adipati. ˜Kakang Tumenggung melihat dengan jelas keris yang menancap di dada kakangmas Tumenggung?! ˜Hamba Kangjeng! ˜Keris itu adalah salah satu dari pusakaku! ˜Hamba Kangjeng! ˜Keris itu akan dapat mencoreng namaku, meskipun orang yang dapat berfikir jernih, justru akan dapat berpendapat bahwa namaku tidak akan terkait dengan peristiwa ini, jika aku terkait, maka aku tidak akan begitu dungu, memberikan kerisku sendiri untuk melakukan kejahatan ini! ˜Tetapi hamba mohon agar keris itu biarlah ada di tempatnya sampai kakang Tumenggung Reksabawa dan para sentana dan nayaka melihatnya! ˜Aku tidak berkebaratan kakang, meskipun tersirat diantara kata-kata kakang Tumenggung itu kecurigaan! ˜Ampun Kangjeng. Bukan maksud hamba, tetapi hamba hanya menempatkan persoalannya pada keadaan yang sewajarnya. ˜Aku mengerti, kakang. Karena itu aku tidak berkebaratan! Kangjeng Adipati itu berhenti sejenak. Lalu katanya pula ˜Tetapi aku minta kakang Tumenggung dan kakang Tumenggung Reksabawa memeriksa petugas bangsal pusaka, kakang harus mencari keterangan, kenapa keris pusakaku itu dapat berada di tangan orang yang telah membunuh kakangmas Tumenggung Reksayuda! ˜Hamba Kangjeng! ˜Aku memerintahkan kakang Tumenggung Jayataruna dan kakang Tumenggung Reksabawa untuk mengusut perkara ini sampai tuntas. Sampaikan perintahku kepada kakang Tumenggung Reksabawa nanti setelah ia datang kemari! ˜Hamba Kangjeng! ˜Sekarang aku minta diri! Ketika Kangjeng Adipati minta diri kepada Raden Ayu Reksayuda, maka Raden Ayu itupun berkata diantara isak tangisnya ˜Dimas, segala sesuatunya tergantung kepada dimas Adipati, aku seorang perempuan yang tidak berdaya, aku mohon keadilan! ˜Ya, kangmbok, akulah yang memikul tanggung-jawab, aku sudah memerintahkan kakang Tumenggung Jayataruna serta kakang Tumenggung Reksabawa untuk mengusut perkara ini sampai tuntas.! ˜Terima kasih dimas, Jika selama ini aku merindukan kakangmas Reksayuda pulang, maka demikian kakangmas Reksayuda menginjakkan kakinya di rumah, kakangmas justru terbunuh! ˜Aku mengerti, bertapa pedihnya hati kangmbok Reksayuda, kerena itu, aku akan berusaha sejauh dapat aku lakukan, kangmbok! ˜Sebelumnya aku mengucapkan terima kasih, dimas, mudah-mudahan segala sesuatunya segera dapat dipecahkan! Demikian, maka Kangjeng Adipatipun segera meninggalkan rumah Raden Reksayuda itu, namun bahwa yang tertancap di dada Raden Reksabawa itu adalah salah satu dari pusakanya, maka Kangjeng Adipati tidak dapat begitu saja mengkesampingkan presoalan itu. Tentu ada niat buruk dari orang yang telah mempergunakan salah satu dari pusakanya. Sepeninggal kangjeng Adipati, maka Raden Ayupun telah menemui Ki Jayataruna. ˜Kakang, apakah aku dapat minta tolong?! ˜Apa Raden Ayu?! ˜Kakang yang sudah memahami jalan menuju ke pondok Ki Ajar Anggara! ˜Raden Jalawaja maksud Raden Ayu?! ˜Ya, bukankah Jalawaja harus di ada di rumah besok, sebelum ayahandanya di makamkan?! ˜Ya! ˜Aku minta tolong, kakang! Ki Jayataruna menarik nafas panjang. Sebenarnya ia agak malas pergi menemui Jalawaja, malam gelap dan jalannya agak rumpil. ˜Tetapi siapakah yang nanti akan menyelanggarakan jenazah Raden Tumenggung?! ˜Bukankah sebentar lagi para nayaka dan sentana akan berdatangan?! ˜Keris itu?! ˜Apa yang harus dilakukan kakang?! ˜Tunggu kakang Tumenggung Reksabawa, biarlah kakang Tumenggung melihat sendiri keris itu di dada Raden Tumenggung, biarlah kakang Tumenggung Reksabawa sendiri yang mencabut keris itu dengan tangannya! ˜Wajah Raden Ayu menjadi tegang, tetapi ia tidak berkata apapun juga! Ki Tumenggung Jayataruna yang kemudian berkata pula ˜Baiklah Raden Ayu, aku akan pergi menemui Raden Jalawaja, mudah-mudahan Raden Jalawaja bersedia turun! ˜Anak itu harus turun kakang, ayahandanya meninggal dengan cara yang tidak wajar, biarlah Jalawaja menaruh perhatian pula atas perkara ini! Demikianlah dengan mengajak dua orang prajurit untuk menemaninya, Ki Tumenggung Jayataruna pergi menyusul Raden Jalawaja, bukan karena Ki Jayataruna menjadi ketakutan jalan sendiri, tetapi di dinginnya malam ia memerlukan kawan untuk berbincang di perjalanan. Sepeninggal Ki Jayataruna, maka Ki Reksabawa benar-benar telah datang dengan tergesa-gesa pula, seperti yang dipesankan Ki Jayataruna, maka Raden Ayun telah menyerahkan segala sesuatunya kepada Ki Reksabawa. Dihadapan beberapa saksi, maka Ki Reksabawa sendirilah yang telah mencabut keris di dada Raden Reksayuda. ˜Keris ini adalah salah satu pusaka dari Kangjeng Adipati! berkata Raden Ayu setelah keris itu dibungkus dengan kain. ˜He! Ki Tumenggung terkejut ˜Siapa yang mengatakannya?! ˜Kangjeng Adipati sendiri mengakuinya! Ki Reksabawa menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak mengatakan apa-apa. Sementara Ki Reksabawa serta beberapa orang sentana dan nayaka sibuk di rumah Raden Ayu, maka Ki Jayataruna bersama dengan dua orang prajurit melarikan kuda mereka menuju ke sebuah pondok di lereng bukit. Kedatangan Ki Jayataruna sangat mengejutkan Ki Ajar Anggara serta Jalawaja sendiri. Mereka bertigapun dipersilahkan masuk ke ruang dalam yang tidak begitu luas. ˜Di luar dingin Tumenggung! berkata Ki Ajar. Jalawaja yang juga terbangun dari tidurnya, ikut menemui Ki Tumenggung berserta kedua orang prajurit yang menyertainya. ˜Maaf, Ki Tumenggung! berkata Ki Ajar ˜Kedatangan Ki Tumenggung telah mengejutkan kami, karena itu, jika Ki Tumenggung berkenan, kami ingin segera mengetahui apakah ada titah yang harus kami lakukan?! ˜Ki Ajar serta angger Raden Jalawaja, kami minta maaf, bahwa kami teleh mengejutkan Ki Ajar dan tentu juga Raden Jalawaja, tetapi kami tidak dapat menundanya sampai matahari terbit esok pagi! ˜Apakah ada sesuatu yang sangat penting, Ki Tumenggung?! ˜Ya, Ki Ajar, sesuatu yang sama-sama tidak kita tidak harapkan telah terjadi, berita yang aku bawa adalah berita yang kurang menyenangkan! ˜Berita tentang apa, Ki Tumenggung?! ˜Raden Tumenggung Wreda Reksayuda teleh meninggal! ˜Ayah?! Raden Jalawaja terkejut seperti disengat lebah tengkuknya ˜Apakah pendengaranku benar?! ˜Ya, Raden, Ki Tumenggung Wreda telah meninggal dunia! ˜Bukankah ayah sudah diampuni dan hari ini kalau tidak salah telah dijemput dari pengasingan?! ˜Ya, aku dan kakang Tumenggung Reksabawa serta dua orang prajurit, telah menjemput Raden Tumenggung dari pengasingan! ˜Tetapi kenapa tiba-tiba saja ayah meninggal? Kelelahan ?! sakit atau karena kejutan yang telah menghentikan jantungnya?! ˜Tidak ngger, Raden Tumenggung telah terbunuh! ˜Terbunuh, siapakah yang telah membunuhnya?! ˜Demikian ayahanda Raden sampai di rumah, maka kami yang menjemputnya di pengasingan minta diri, namun demikian malam turun, seorang utusan kangjeng Adipati telah memanggil aku ketika aku baru beristirahat setelah menempuh perjalanan panjang, kangjeng Adipati sendiri sudah berada di rumah Raden Tumenggung yang ternyata telah terbunuh, tetapi kami berdua belum tahu, siapakah yang telah membunuhnya! ˜Jadi pembunuh itu belum tertangkap?! ˜Kami memang belum dapat menuduh seseorang! ˜Tidak ada tanda-tanda atau petunjuk yang ditinggalkan oleh pembunuh itu?! ˜Ada ngger! ˜Apa?! ˜Keris yang masih menancap di dada Raden Tumenggung itu adalah salah satu dari pusaka Kangjeng Adipati! ˜Kangjeng Adipati sendiri yang telah membunuh ayahanda?! ˜Nanti dulu Jalawaja! potong Ki Ajar Anggara ˜Jangan tergesa-gesa mengambil kesimpulan, kita belum dapat menuduh siapa-siapa dalam pembunuhan ini! ˜Tetapi keris yang ada di dada ayahanda adalah salah satu dari pusaka paman Adipati, eyang! ˜Meskipun demikian, kita tidak dapat dengan serta merta mencurigainya, Jalawaja, Kangjeng Adipati tentu bukan seorang yang sangat bodoh sehingga membunuh seseorang dengan mempergunakan pusakanya sendiri. Apalagi pusaka itu ditinggalkannya pada tubuh korbannya, bukankah itu berarti bahwa Kangjeng Adipati teleh membiarkan dirinya terkait dengan peristiwa pembunuhan itu sendiri?! ˜Eyang, sebelum ada orang lain yang pantas dicuragi, maka aku tetap saja mencurigai pamah Adipati, pengampunan yang diberikan oleh paman ternyata adalah sikapnya yang palsu! ˜Lalu apa keuntungan pamanmu dengan membunuh ayahmu, Jalawaja?! ˜Keduanya mempunyai pandangan yang berbeda tentang kadipaten ini, selain itu, ayah tentu masih akan tetap menuntut hak atas kadipaten ini, meskipun aku tidak membenarkan sikap ayahanda, tetapi itu bukan berarti bahwa ayahanda pantas dibunuh. Kenapa Kangjeng Adipati tidak membiarkan saja ayah di pengasingan, kenapa ia berpura-pura berbaik hati, mengampuni kesalahan ayahanda dan membiarkan ayahanda kembali dari pengasingan, namun kemudian paman telah mengakhiri hidup ayahanda! ˜Jalawaja, dengarkan aku, jangan berbicara sendiri menuruti perasaanmu, kau tidak dapat dengan serta merta menuduh pamanmu membunuh ayahmu, kau tidak dapat berpegangan pada keris yang ada di dada ayahmu itu sebagai bukti yang meyakinkan! Jalawaja menundukkan kepalanya. ˜Raden! berkata Ki Tumenggung Jayataruna ˜Sebenarnyalah kedatanganku kali ini, sekali lagi aku minta angger bersedia pulang. Esok, semua orang tentu akan menunggu angger sebelum membawa tubuh Raden Tumenggung Wreda Reksayuda itu ke tempat pembaringannya yang terakhir.! Jalawaja mengangkat wajahnya, rasa-rasanya ada sesuatu yang menyengat perasaannya. Namun tiba-tiba iapun berkata ˜Tidak, aku tidak akan pulang, aku masih berpegang pada sikapku, aku tidak akan pulang jika Miranti masih ada di rumah itu! ˜Tetapi kali ini angger dipaksa oleh keadaan, ayahanda Raden Jalawaja itu meninggal. Bahkan dengan cara yang tidak wajar, Raden, ibunda berpesan, bahwa Raden akan dapat bekerja sama dengan ibunda untuk mencari pembunuh ayahanda. Sementara itu kakang Tumenggung Reksabawa secara resmi sudah mendapat perintah dari Kangjeng Adipati untuk mengusut perkara ini sampai tuntas.! ˜Tidak, aku tidak akan pulang, meskipun langit dan bumi akan mencakup, aku tidak akan pulang sebelum perempuan itu pergi! ˜Tetapi dalam keadaan ini, agaknya kau perlu pulang Jalawaja, nanti, setelah ayahandamu di makamkan, kau dapat meninggalkan rumahmu secepatnya! berkata kakeknya. Tetapi Jalawaja tetap menggeleng, katanya ˜Tidak, eyang, aku tidak akan pulang! ˜Apakah Raden tidak ingin bersama-sama kami mencari siapakah pembunuh ayahanda Raden?! ˜Aku akan mencarinya sendiri, aku tidak memerlukan siapa-siapa! ˜Hatimu sekeras batu hitam, Jalawaja! ˜Maaf eyang, aku tidak dapat berbuat lain! ˜Maaf Ki Tumenggung, Jalawaja tidak mau pulang, tolong sampaikan kepada Raden Ayu, bahwa Jalawaja tetap tidak mau pulang dalam keadaan apapun juga! Ki Tumenggung mengangguk-angguk, namun ia masih juga berkata ˜Raden Jalawaja agaknya memang keras hati, tetapi aku tidak dapat mengerti, bahwa pada saat ayahandamu meninggal, Raden tetap saja tidak mau pulang barang sebentar! Jalawaja tidak menyahut, terasa dadanya menjadi sesak, ada dorongan yang kuat, yang memaksanya pulang untuk memberikan penghormatan terakhirnya kepada ayahandanya. Tetapi kekerasan hatinya telah menahannya, Miranti baginya tidak ubahnya bagaikan hantu perempuan yang siap menerkamnya. Karena itu, maka Ki Tumenggung itupun kemudian minta diri meninggalkan pondok Ki Ajar di lereng bukit itu. ˜Aku benar-benar mohon maaf Ki Tumenggung, Ki Tumenggung baru saja menjemput Raden Reksayuda dari pengasingan, malam ini harus berkuda lagi kemari, namun Ki Tumenggung tidak berhasil mengajak Jalawaja pulang! ˜Apaboleh buat Ki Ajar, mungkin di waktu muda hati Ki Ajar juga sekeras hati Raden Jalawaja! Ki Ajar tersenyum sambil menjawab ˜Tidak Ki Tumenggung, hatiku rapuh di waktu muda, bahkan sampai di hari tua! Sejenak kemudian, Ki Tumenggung serta para prajurit yang menyertainya telah meninggalkan rumah Ki Ajar, dengan hati-hati mereka menuruni lereng gunung yang kadang-kadang teras agak dalam. Sepeninggal Ki Tumenggung, Jalawaja itupun berkata kepada kakeknya ˜Aku mohon maaf eyang, aku benar-benar tidak dapat bertemu dengan Miranti itu lagi mesikipun hanya sekejap, perempuan iblis itu dapat memanfaatkan segala kesempatan untuk menghina dan merendahkan aku dihadapan banyak orang yang datang untuk memberikan penghoramatan terakhir kepada ayah, dalam keadaan yang demikian, pada saat aku kehilangan ayahku, satu-satunya orang tuaku, aku akan dapat kehilangan kendali, sehingga mungkin sekali aku akan berbuat sesuatu yang tidak seharusnya aku lakukan. Ki Ajar mengangguk-angguk, katanya ˜Sudahlah Jalawaja, besok kau dapat mengunjungi makamnya! ˜Ya, eyang! ˜Sekarang tidurlah, malam masih agak panjang! Jalawaja menarik nafas panjang, anak muda itu memang masuk kembali ke dalam biiliknya, tetapi ternyata bahwa Jalawaja tidal lagi dapat memejamkan matanya. Rasa-rasanya Jalawaja itu berdiri di persimpangan, ada dorongan keinginan yang sangat kiat untuk datang melihat tubuh ayahnya pada saat-saat terakhir, tetapi sisi lain, keberadaan Miranti di rumahnya, merupakan bayangan kekalutan yang akan dapat terjadi, justru pada saat ayahnya meninggal. Jalawaja itu justru bangkit dan duduk di bibir pembaringannya, kepalanya justru merasa manjadi pening, namun terdengar anak muda itu berdesah, ˜Aku tidak akan membiarkan ketidak-adilan itu terjadi! *** Sebenarnyalah, di hari berikutnya, beberapa orang saling bertanya, kenapa mereka tidak melihat Raden Jalawaja. Raden Ayu Reksayuda sendiri menjadi sangat kecewa bahwa peristiwa yang sangat mengejutkan itu tidak mampu menggoyahkan sikap Jalawaja yang keras hati. Namun sebenarnyalah bahwa dendam di hati Raden Ayu Reksayuda yang di masa gadisnya bernama Miranti itu kepada Jalawaja masih belum padam, Miranti masih saja menunggu kesempatan untuk dapat membalas sakit hatinya, Sakit hati seorang gadis kepada seorang anak muda yang dicintainya, namun ternyata anak muda itu tidak menanggapinya. Lewat tengah hari, Kangjeng Adipati telah berada berada di rumah Raden Tumenggung Reksayuda untuk melepasnya menuju ke tempat peristirahatannya yang terakhir, namun Kangjeng Adipati itu masih belum melihat Jalawaja diantara kesibukan di rumah itu. ˜Kangmbok! akhirnya Kangjeng Adipati itupun bertanya kepada Raden Ayu, aku belum melihat Jalawaja! ˜Ampun dimas, Jalawaja tidak bersedia pulang! ˜Tidak bersedia pulang? Tetapi bukankah Jalawaja sudah diberitahukan apa yang telah terjadi dengan ayahandanya?! ˜Ya, dimas, Kakang Tumenggung Jayataruna yang semalam datang menemui angger Jalawaja! Kangjeng Adipatipun kemudian memerintahkan seseorang untuk memanggil Ki Jayataruna. ˜Kangjeng Adipati memanggil hamba?! bertanya Ki Jayataruna setelah menghadap. ˜Kakang Tumenggung semalam pergi menemui Jalawaja?! ˜Hamba Kangjeng,! ˜Jalawaja tidak bersedia pulang?! ˜Hamba Kangjeng, Raden Jalawaja memang seorang anak muda yang keras hati, jika ia mengatakan tidak, maka tidak seorangpun yang akan dapat membujuknya, bahkan eyangnya sendiri tidak berhasil menggerakkan hatinya untuk datang hari ini! ˜Terlalu anak itu, Kenapa?! ˜Persoalannya adalah persoalan keluarga, Kangjeng! Kangjeng Adipati menarik nafas panjang, namun ketidak hadiran Jalawaja itu menjadi perhatiannya pula. Masyarakat Sendang Arum bertanya-tanya dalam hati mereka, Mereka mendengar berita tentang pengampunan oleh Kangjeng Adipati, sebagian dari mereka timbul tanda tanya, tetapi ketika rakyat mendengar Raden Tumenggung itu itu terbunuh, justru pada saat ia mendapatkan pengampunan, maka pertanyaan di hati mereka menjadi misteri. Apalagi ketika kenyataan bahwa keris yang tertancap di jantung Raden Tumenggung adalah salah satu dantara pusaka Kangjeng Adipati. ˜Tetapi Kangjeng Adipati tentu tidak tersangkut dalam usaha pembunuhan ini! berkata seseorang. ˜Ya, Kangjeng Adipati bukan seorang yang bodoh, yang dengan sengaja mengorbakan namanya sendiri dengan memberikan pusakanya untuk membunuh seseorang yang dianggapnya akan dapat menyaingi kedudukannya! sahut seorang yang lain. Tetapi soerang yang lain lagi berkata ˜Justru itulah cerdik dan liciknya Kangjeng Adipati, Kangjeng Adipati tahu, banyak orang yang tidak percaya bahwa dirinya terlibat justru karena pusakanya yang tertancap di dada Raden Tumenggung?! Pendapat itu ternyata telah menggugah sikap yang berbeda menaggapi kenyataan bahwa pusaka Kangjeng Adipatilah yang tertancap di dada Raden Tumenggung Reksayuda!. Setelah pemakaman selesai, serta orang-orang yang mengiringinya sudah pulang ke rumah masing-masing, maka terasa keadaan Sendang Arum, terutama di lingkungan dinding kota, menjadi sepi, para penghuninya lebih banyak berada di dalam rumah mereka masing-masing. Berbincang tentang peristiwa yang sangat mengejutkan itu. Di rumahnya, Raden Ayu Reksayuda masih saja menangis, Ki Tumenggung Jayataruna dan Ki Tumenggung Reksabawa serta beberapa orang pemimpin kadipaten Sendang Arum, setelah pemakaman selesai, telah kembali ke rumah Raden Ayu Reksayuda untuk ikut menenangkan hati perempuan yang baru saja ditinggalkan oleh suaminya dengan cara yang tidak wajar, justru pada saat Raden Tumenggung pulang dari pengasingan. ˜Aku minta kakang Tumenggung berdua segera menemukan pembunuh suamiku! berkata Raden Ayu Reksayuda. ˜Kami akan berusaha dengan sungguh-sungguh, Raden Ayu! ˜Bagaimanapun juga aku tidak dapat menerima keadaan yang sangat buruk ini! ˜Kami mengerti, Raden Ayu,! jawab Ki Reksabawa, ˜Akupun tidak dapat membiarkan peristiwa ini berlalu begitu saja, peristiwa inikan dapat menimbulkan gejolak di kadepaten Sendang Arum yang selama ini terasa tenang! ˜Ya, kakang! sahut Ki Jayataruna, ˜Di makam tadi aku sudah mendengar bisik-bisik yang menggelitik, justru karena pusaka kangjeng Adipati yang berada di dada Raden Reksayuda! ˜Sudah aku katakan, di, justru karena keris itu pusaka Kangjeng Adipati, maka aku yakin bahwa Kangjeng Adipati tidak terlibat, sayang kita belum menemukan juru gedong yang bertugas di bangsal pusaka! ˜Kakang! berkata Ki Jayataruna, namun suaranya tertahan, namun perlahan-lahan iapun berkata ˜Ada orang berpendapat lain, seseorang yang berdiri di belakangku berkata kepada kawannya tentang pusaka di dada Raden Tumenggung! ˜Apa katanya?! ˜Sekali lagi aku katakan, bahwa ini adalah pendapat seseorang yang berdiri di belakangku di makam tadi, justru karena keris itu pusaka Kangjeng Adipati, maka tidak ada orang yang akan menuduhnya. Semua orang akan menganggap bahwa mustahil Kangjeng Adipati mempergunakan pusakanya sendiri untuk membunuh seseorang, apalagi keris itu sengaja atau tidak sengaja, tertinggal di tempat kejadian! Ki Reksabawa menarik nafas panjang, katanya ˜Setiap orang memang dapat saja mengemukakan jalan pikirannya masing-masing, tetapi baiklah, kita akan menjalankan perintah Kangjeng Adipati, kita mencari jejak pembunuh ini! ˜Ya, kakang! Ki Jayataruna mengangguk-angguk. Beberapa orang pemimpin yang masih berada di rumah itupun telah minta diri pula, hanya beberapa orang perempuan yang tinggal di sebelah menyebalah rumah Raden Ayu itu yang masih ada di rumah itu, sebagian membantu membersihkan rumah, sebagian membersihkan perabot dan bala pecah yang baru saja dipergunakan, sebagian lagi menemani Raden Ayu duduk di ruang dalam, wajahnya diliputi oleh perasaan duka yang mendalam, matanya masih selalu basah dan kadang-kadang Raden Ayu itupun terisak. ˜Sudahlah Raden Ayu! berkata seorang perempuan tua, ˜Setiap kehidupan akan bermuara pada kematian, tidak seorangpun akan dapat luput dai tangkapan maut, Yang Maha Agung sendirilah yang akan menentukan, kapan maut itu akan datang menjemput hambanya, tidak pandang derajat dan pangkat, bahkan tidak pandang umur tataran kehidupannya! ˜Ya. Bibi, tetapi cara yang telah ditrapkan atas kakangmas Tumenggung sangat mengejutkan.! Sahut Raden Ayu disela-sela tangisnya. ˜Aku dapat mengerti Raden Ayu, meskipun demikian, jangan larut dalam duka berkepanjangan! Raden Ayu itu mengangguk-angguk, dalam pada itu, Ki Jayataruna dan Ki Reksabawa tidak berhenti berusaha, mereka bekerja keras untuk dapat menemukan jejak pembunuh itu, tetapi mereka tidak segera dapat berhasil, satu-satunyanya arah penyelidikan mereka adalah keris pusaka Kangjeng Adipati. Namun keduanya tidak berhasil menemukan orang yang bertanggung jawab atas bangsal pusaka tempat pusaka Kangjeng Adipati itu disimpan, mereka tidak menemukan orang itu dirumahnya. *** ˜Sejak peristiwa kematian Raden Tumenggung Reksayuda suamiku tidak pulang, Ki Tumenggung! berkata isteri juru gedong itu. ˜Apakah malam itu ia pergi?! bertanya Ki Reksabawa. ˜Aku tidak tahu Ki Tumenggung, suamiku pergi seperti biasanya ke kadipaten untuk bertugas, tetapi sejak itu ia tidak pernah kembali.! ˜Apakah ada tanda-tanda atau isyarat yang dapat membantu kita untuk menemukan kita untuk menemukan suamimu?! bertanya Ki Jayataruna. ˜Tidak Ki Tumenggung! ˜Nyi, kami akan berusaha membantumu menemukan suamimu, tetapi kami memerlukan bantuanmu! ˜Sungguh, Ki Tumenggung, aku tidak tahu apa-apa! ˜Apakah suamimu sudah berpesan agar kau tidak mengatakan kepada siapapun tempat persembunyiannya?! ˜Tidak, Ki Tumenggung, seperti sudah aku katakan, malam itu ia pergi ke kadipaten, tetapi suamiku itu tidak pernah kembali! ˜Nyi, sebaiknya kau tidak berbohong agar kau tidak ikut terlibat dalam persoalan ini! ˜Sungguh Ki Tumenggung, aku tidak tahu apa-apa, justru aku menjadi sangat gelisah, bahwa suamiku tidak pulang! ˜Baiklah Nyi, tetapi mungkin pada kesempatan lain, kami masih akan datang lagi kemari! Ketika keduanya meninggalkan rumah juru gedong itu, maka Ki Tumenggung Jayatarunapun berkata ˜Kakang, maaf jika kita berbeda pendapat, aku semakin lama semakin yakin, bahwa Kangjeng Adipati terlibat dalam pembunuhan ini! Ki Tumenggung menarik nafas panjang, katanya ˜Aku masih belum berani mengatakan seperti itu, adi. Aku tidak melihat kepentingannya Kangjeng Adipati membunuh Raden Tumenggung, apalagi pada kedudukan Kangjeng Adipati yang sudah menjadi sangat kokoh seperti sekarang ini! ˜Tidak, kakang, kedudukan Kangjeng Adipati mulai goyah! ˜Karena itu, kita jangan ikut-ikut mengguncang kedudukan itu, adi. Kita justru harus ikut berusaha menegakkan wibawa Kangjeng Adipati! ˜Maaf kakang, tetapi bukankah kita harus menegakkan kebenaran dan keadilan?! ˜Ya, ingat adi, kebenaran dan keadilan, karena itu dasarnya tentu bukan sekedar berprasangka, tetapi kebenaran dan keadilan itu harus berlandaskan kenyataan yang terjadi, nah, kenyataan itulah yang harus kita temukan lebih dahulu! Ki Tumenggung Jayataruna mengangguk-angguk, katanya ˜Baik kakang, kita akan berusaha menemukannya! Namun ternyata bahwa untuk dapat menelusuri kenyataan atas peristiwa yang telah terjadi di rumah Raden Tumenggung Reksayuda itu adalah tugas yang sangat rumit. Di rumah, Ki Reksabawa masih saja selalu membicarakan tentang peristiwa yang mengejutkan itu. ˜Setelah beberapa waktu kakang mencoba menelusuri jejak pembunuhan ini, apakah masih belum ada tanda-tanda yang dapat menjadi petunjuk, kakang? Bertanya Nyi Tumenggung. ˜Belum Nyi, semuanya masih gelap! ˜Kakang memang harus telaten! mjbookmaker by: http://jowo.jw.lt